Serikat pekerja dan buruh berharap UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dipergunakan kembali, tetapi upaya penegakan hukumnya diperkuat.
Oleh
MEDIANA
ยท4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Buruh berunjuk rasa di Kantor Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi di Jawa Barat, Selasa (29/11/2022). Mereka menuntut kenaikan upah minimum kota (UMK) 2023 sebesar 13 hingga 20 persen. Pemerintah Provinsi Jawa Barat sehari sebelumnya menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2023 sebesar Rp 1.986.670,17 atau naik 7,88 persen dari tahun sebelumnya.
JAKARTA, KOMPAS โ Desakan untuk menghapus kluster ketenagakerjaan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terus mencuat di kalangan kelompok pekerja atau buruh. Mereka berharap Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dikembalikan lagi fungsinya sembari penegakkan hukumnya diperkuat.
โKami dari dulu sangat menolak Undang-Undang tentang Cipta Kerja. Selama pembahasan UU tersebut, kami tidak dilibatkan. Isinya pun merugikan buruh,โ ujar Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia Mirah Sumirat, saat dihubungi Minggu (4/12/2022), di Jakarta.
Substansi kluster ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan antara lain menyangkut tenaga kerja asing (TKA), hubungan kerja antara perusahaan alih daya dan pekerja yang dipekerjaan, pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dipermudah, hingga sistem pengupahan. Terkait TKA, misalnya, UU Cipta Kerja menghapus ketentuan Pasal 46 UU No 13/2003. Isi Pasal 46 tersebut adalah TKA dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan-jabatan tertentu.
Contoh lain menyangkut hubungan kerja antara perusahaan alih daya dan pekerja yang dipekerjakan. UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 66 UU No 13/2003. Di pasal tersebut, salah satu ayat pentingnya berbunyi pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
Namun, lewat UU Cipta Kerja, ketentuan tersebut diganti menjadi hubungan kerja antara perusahaan alih daya dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
โApa yang mau diperbaiki dari kluster ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja? Tidak ada yang menguntungkan kami. Kembalikan saja ke UU No 13/2003,โ kata Mirah.
Mirah menekankan, pekerja/buruh harus cerdas dalam memahami regulasi ketenagakerjaan, termasuk UU Cipta Kerja. Keberadaan UU ini justru menurunkan kesejahteraan pekerja/buruh.
Sebelumnya, dalam acara Kompas100 CEO Forum, Jumat (2/12), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, menyampaikan, untuk menyikapi ketidakpastian ekonomi, pemerintah akan mempercepat pembahasan sejumlah regulasi di bidang ekonomi. Revisi UU No 11/2020, misalnya, dan Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK).
Sesuai putusan Mahkamah Konstitusi, UU Cipta Kerja harus direvisi paling lambat November 2023. Sementara itu, RUU P2SK saat ini mulai dibahas pemerintah bersama dengan DPR.
Meski revisi UU Cipta Kerja masih ada waktu hingga tahun depan, Airlangga menekankan bahwa pemerintah akan mengakselerasi perubahannya. Terkait kluster ketenagakerjaan yang ada di UU Cipta Kerja, ia menyebut pemerintah akan mengakselerasi perubahannya dengan UU No 13/2003 yang sudah disetujui.
FAKHRI FADLURROHMAN
Slogan Partai Buruh DKI Jakarta yang ditempel di mobil komando di depan Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Jumat (2/12/2022). Massa aksi yang terdiri dari organisasi Serikat Pekerja dan Partai Buruh Exco DKI Jakarta melakukan aksi menolak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2023 sebesar 5,6 persen. Kenaikan tersebut telah ditetapkan dalam Keputusan Gubernur Nomor 1153 tahun 2022 yang menetapkan besaran UMP DKI Jakarta Tahun 2023 sebesar Rp 4.901.798. Peserta aksi menilai kenaikan tersebut sangat kecil. Mereka meminta kenaikan UMP menjadi 10,55 persen.
Pengawasan
Saat dihubungi terpisah, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI) Indra Munaswar berpendapat, UU No 13/2003 nyaris memenuhi seluruh ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 ataupun sejumlah konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO). Kekurangan UU tersebut terletak pada lemahnya penegakkan hukum dari pemerintah. Sebagai contoh, perjanjian kerja waktu tertentu atau alih daya di banyak profesi dan sebenarnya menyalahi hukum, tetapi tidak dilakukan penindakkan oleh pengawas ketenagakerjaan.
Analis Indonesia Labor Institute, Rekson Silaban, berpandangan senada. Sejumlah substansi dalam UU No 13/2003 bagus, tetapi karena sulit diimplementasikan di lapangan sehingga terjadi pengemplangan hukum. Sebagai contoh, jika terjadi PHK, pesangon untuk pekerja dibuat tinggi. Akan tetapi, dalam kenyataannya hanya segelintir pekerja pernah mendapat pesangon sesuai ketentuan UU itu. Rata-rata pekerja/buruh lebih memilih damai dari pada ke pengadilan hubungan industrial yang tidak jelas kapan hasilnya diputuskan.
โJadi, pekerja atau buruh beranggapan lebih baik perusahaan menetapkan jumlah pesangon lebih rendah, tetapi bisa mereka terima,โ ujarnya.
Contoh lain adalah mengenai pekerja alih daya. Rekson menjelaskan, sesuai dengan UU No 13/2003, industri bisa melakukan alih daya, tetapi dibatasi hanya untuk lima jenis kegiatan. Kenyataannya, alih daya terjadi hampir semua jenis industri karena salah penafsiran hubungan kerja. Pada saat bersamaan, pekerja/buruh terdesak ingin segera mendapat pekerjaan.
Rekson juga mencontohkan amanat sistem pengawasan ketenagakerjaan yang diatur dalam UU No 13/2003. Realitanya, sistem pengawasan dijalankan tanpa mengikutsertakan serikat pekerja sehingga hasil pengawasan sering dicurigai sebagai praktik korupsi terselubung.
โLalu, pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh tenaga pengawas, tetapi jumlah personelnya kurang,โ kata Rekson.