Harga BBM dan Bahan Pangan Impor Masih Pengaruhi Inflasi
Dampak lanjutan atau ”second-round effects” kenaikan harga BBM sudah mulai terjadi di sejumlah sektor, terutama pertanian. Indikatornya adalah kenaikan harga beras dan biaya produksi pertanian.
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM dan masih tingginya harga bahan pangan impor masih memengaruhi inflasi nasional. Dampak lanjutan kenaikan harga BBM itu bahkan sudah terjadi di sektor pertanian yang berimplikasi terhadap kenaikan harga beras dan biaya produksi.
Badan Pusat Statistik (BPS), Kamis (1/12/2022), merilis, tingkat inflasi pada November 2022 sebesar 0,9 persen secara bulanan, 5,42 persen secara tahunan, dan 4,82 persen secara tahun kalender. Adapun tingkat inflasi inti sebesar 0,15 persen secara bulanan, 3,3 persen secara tahunan, dan 3,13 persen secara tahun kalender.
Secara umum, penyumbang utama inflasi bulanan, antara lain, telur ayam ras (0,02 persen), serta beras, tahu, dan tempe masing-masing 0,01 persen. Sementara kontributor utama inflasi tahunan adalah bensin (1,15 persen), bahan bakar rumah tangga (0,31 persen), tarif angkutan udara (0,3 persen), dan beras (0,13 persen).
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto mengatakan, penyesuaian harga BBM memang menjadi pemicu utama kenaikan inflasi terlebih di kelompok pengeluaran transportasi. Namun, dampak lanjutan (second-round effects) sudah mulai terjadi di sejumlah sektor, terutama pertanian.
Hal itu tecermin dalam harga beras dan biaya produksi pertanian. Dalam empat bulan terakhir ini, kenaikan harga beras tidak hanya dipengaruhi oleh efek musiman atau penurunan produksi beras menjelang akhir tahun, tetapi juga penyesuaian harga BBM.
”Sejak Juli 2022, beras terus mengalami inflasi meskipun tekanan inflasinya semakin melemah. Pada Juli 2022, beras mengalami inflasi sebesar 0,05 persen; pada Agustus 2022 sebesar 0,54 persen; pada September 2022 sebesar 1,44 persen; serta pada Oktober 2022 dan November 2022 masing-masing sebesar 1,13 persen dan 0,37 persen,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar secara hibrida di Jakarta.
Sejak Juli 2022, beras terus mengalami inflasi meskipun tekanan inflasinya semakin melemah.
Baca juga: Hati-hati, Harga Beras dan Tahu-Tempe Merangkak Naik
Imbas kenaikan harga BBM itu juga terindikasi dari nilai tukar usaha tani (NTUP). NTUP pada November 2022 sebesar 107,25 atau naik 0,46 persen secara bulanan. Kenaikan NTUP ditopang oleh kenaikan indeks harga yang diterima petani dan kenaikan indeks biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM). Kenaikan harga BBM itu disebabkan oleh kenaikan ongkos angkut, pupuk, dan upah buruh tani.
Selain penyesuaian harga BBM, bahan pangan impor juga memengaruhi inflasi. Kedelai impor, misalnya. Kendati turun, harga kedelai global masih lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Faktor depresiasi atau pelemahan rupiah juga turut memengaruhi pembentukan harganya di dalam negeri.
Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, harga kedelai impor per 30 November 2022 sudah tembus Rp 14.900 per kg. Sejak Rusia menginvansi Ukraina pada 24 Februari 2022, kenaikan harganya mencapai 12,03 persen.
Menurut Setianto, hal itu menyebabkan produk turunan kedelai, seperti tahu dan tempe, harganya naik dalam tiga bulan terakhir. Bahkan, jika dilihat secara tahunan, harga tahu meningkat 12,43 pesen dan tempe 13,56 persen.
BPS mencatat, harga tempe dan tahu pada November 2022 masing-masing Rp 12.949 per kg dan Rp 11.680 per kg. Harga tempe dan tahu tersebut sudah di atas harga pada September 2022 yang masing-masing Rp 12.421 per kg dan Rp 11.330 per kg.
Baca juga: ”Hunger Games” dan Bola Krisis Pangan
Waspadai kenaikan inflasi
Setianto menuturkan, tekanan inflasi pada November 2022 mulai melandai. Kenaikan inflasi pada komponen barang yang diatur pemerintah dapat diredam oleh penurunan inflasi pada komponen barang yang mudah bergejolak.
”Kendati begitu, pemerintah tetap perlu mewaspadai kenaikan inflasi pada Desember 2022. Pola kenaikan inflasi pada akhir tahun, biasanya disebabkan oleh kenaikan harga komoditas kelompok pengeluaran makanan dan transportasi,” tuturnya.
Analis Ekonomi Makro PT Bank Danamon Indonesia Tbk Irman Faiz berpendapat senada. Penurunan tingkat inflasi pada November 2022 didorong oleh penurunan harga barang yang mudah bergejolak, terutama cabai. Upaya pemerintah untuk mestabilkan harga pangan, penurunan harga pangan global, dan musim panen akan membuat inflasi tumbuh moderat.
Pada akhir tahun ini, tingkat inflasi diperkirakan sebesar 5,3 persen secara tahunan, lebih rendah dari ekspektasi sebelumnya yang sebesar 6,5 persen. Sementara inflasi komponen inti diperkirakan meningkat menjadi 3,5 persen, seiring dengan lonjakan permintaan pada masa Natal dan Tahun Baru.
”Biaya produksi juga masih akan naik sehingga produsen masih memiliki ruang untuk membebankan biaya tersebut ke harga produknya,” kata Irman.
Biaya produksi juga masih akan naik sehingga produsen masih memiliki ruang untuk membebankan biaya tersebut ke harga produknya.
Baca juga: Industri Cari Alternatif Impor dan Berencana Naikkan Harga Produk
Untuk menekan inflasi, pemerintah berupaya meningkatkan penyaluran bantuan sosial (bansos) dan stimulus untuk meredam dampak demam dunia dengan mengunakan sebagian pos anggaran yang belum dibelanjakan. Salah satunya adalah belanja wajib untuk penanganan dampak inflasi yang diambil sebesar 2 persen dari dana transfer umum (DTU) pemerintah daerah.
Namun, realisasi belanja wajib dalam rangka penanganan dana inflasi yang diambil sebesar 2 persen dari DTU pemerintah daerah masih terhitung rendah. Sampai 20 Oktober 2022, realisasinya baru 7,9 persen atau senilai Rp 277,6 miliar dari total Rp 3,5 triliun yang dianggarkan.
Terkait itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Kamis, mengatakan, pemerintah daerah (pemda) sudah diberi arahan untuk fleksibel menggunakan alokasi anggaran tersebut sesuai kebutuhan masing-masing. ”Mungkin pemda masih melihat dan menyesuaikan kebutuhan mereka, apakah bentuk bantuannya itu ke transportasi atau untuk pengendalian harga makanan. Dari pusat sebenarnya sudah diberi arahan yang cukup fleksibel,” ujarnya.
Mungkin pemda masih melihat dan menyesuaikan kebutuhan mereka, apakah bentuk bantuannya itu ke transportasi atau untuk pengendalian harga makanan.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menambahkan, penyaluran belanja wajib penanganan inflasi memang baru dimulai pada Oktober 2022 setelah kenaikan harga BBM pada September 2022. Oleh karena itu, realisasinya memang masih rendah.
”Di awal-awal banyak daerah yang masih mencari model, siklus perencanaan anggarannya perlu agak panjang. Data penerima (bansos) juga harus dirapikan dulu, apalagi tidak bisa bentrok dengan bansos yang dari pusat. Sekarang mudah-mudahan setelah ada benchmark dari daerah lain yang sudah menyalurkan, yang lain bisa lebih cepat,” katanya.
Baca juga: Belanja Pemerintah Belum Optimal di Tengah Krisis
Menurut Yustinus, tingkat kecepatan dan kebutuhan dalam menyerap anggaran di setiap daerah berbeda-beda. Ada daerah yang fokusnya memberikan bantuan langsung tunai (BLT), ada yang fokusnya menjalankan program padat karya untuk menyediakan lapangan kerja bagi warga.
”Ini karakteristiknya beda-beda, kemampuan menyerapnya juga beda-beda,” ujar Yustinus.
Ia berharap, anggaran khusus penanganan inflasi itu bisa diakselerasi pada akhir Desember 2022 meskipun kemungkinan besar tidak bisa disalurkan sepenuhnya sesuai alokasi. Kendati mungkin tidak dapat dibelanjakan 100 persen agak berat, Kementerian Keuangan akan mendorong terus.
Yustinus menilai, sejauh ini laju inflasi masih terkendali. Tingkat inflasi per November 2022 sebesar 5,42 persen secara tahunan dan 0,09 persen secara bulanan masih di bawah proyeksi pemerintah.
”Inflasi komponen harga yang diatur pemerintah dipastikan akan tetap aman. Subsidi dan kompensasi BBM akan terus diberikan. Ini akan terus kita jaga, terutama menjelang akhir tahun nanti,” kata Yustinus.
Baca juga: BLT BBM Rp 150.000 Dinilai Terlalu Kecil