Presiden Meminta Investasi di Daerah Tidak Dipersulit
Ikhtiar mengejar target realisasi investasi senilai Rp 1.400 triliun tahun depan dinilai akan lebih sulit di tengah kondisi ekonomi global yang terus melambat.
Oleh
agnes theodora, NINA SUSILO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Melambatnya perekonomian global bisa berdampak pada arus investasi sektor riil. Merespons hal itu, pemerintah akan memperkuat investasi dalam negeri serta mendorong kolaborasi antara investor besar dan pengusaha mikro, kecil, menengah di daerah. Hambatan investasi juga makin mendesak untuk segera diatasi.
Dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Investasi 2022 di Jakarta, Rabu (30/11/2022), Presiden Joko Widodo meminta agar investasi di daerah tidak dipersulit. Ia mengatakan, di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini, semua negara sedang saling berebut investor.
Oleh karena itu, berbagai kendala investasi, termasuk pelaksanaan sistem Online Single Submission (OSS) atau sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik, harus segera dibenahi untuk memberi kemudahan bagi investor.
Presiden mengatakan, arus modal masuk memainkan peran yang sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. ”Investasi ini akan memengaruhi growth. Begitu target Rp 1.200 triliun itu tidak tercapai, pertumbuhan ekonomi kita akan ikut tergeret turun. Hati-hati, investasi menjadi kunci,” katanya.
Presiden Joko Widodo meminta agar investasi di daerah tidak dipersulit. Ia mengatakan, di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini, semua negara sedang saling berebut investor.
Sejauh ini, realisasi investasi masih berjalan sesuai target. Kementerian Investasi mencatat, sampai triwulan III-2022 (Juli-September), capaian investasi sudah mencapai Rp 892,4 triliun atau mencakup 74,4 persen dari target tahun 2022 sebesar Rp 1.200 triliun.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia meyakini, target investasi tahun ini masih bisa tercapai. Selain konsumsi rumah tangga, capaian investasi juga akan diandalkan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik tetap di kisaran 5 persen sampai akhir tahun.
Meski demikian, ikhtiar mengejar target realisasi investasi tahun depan dinilai akan lebih sulit di tengah kondisi ekonomi global yang terus melambat akibat dampak pandemi Covid-19 yang belum berakhir dan ketegangan geopolitik yang semakin meruncing.
Pemerintah memasang target investasi senilai Rp 1.400 triliun untuk tahun 2023, naik 16,6 persen dari sebelumnya. Menurut Bahlil, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menjamin target itu bisa tercapai tahun depan.
Pertama, stabilitas politik dalam negeri harus terjaga menjelang Pemilihan Umum 2024. Kedua, perang Rusia-Ukraina harus segera berakhir. Ketiga, ketegangan politik antara China dan Taiwan harus disudahi. Syarat-syarat itu relatif sulit dicapai mengingat faktor geopolitik ada di luar kendali pemerintah dan dinamika menjelang pemilu di dalam negeri akan sulit dihindari.
Kalau stabilitas kita kurang bagus, mohon maaf, target ini penting untuk kita diskusikan kembali.
”Mereka (investor) mengatakan bahwa harapan ekonomi Indonesia itu akan baik kalau stabilitas global dan dalam negeri bisa baik. Kalau stabilitas kita kurang bagus, mohon maaf, target ini penting untuk kita diskusikan kembali,” ujar Bahlil.
Memperkuat PMDN
Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi Yuliot mengatakan, mengingat arus investasi asing (penanaman modal asing/PMA) akan terdampak langsung oleh ketidakpastian ekonomi dunia, pemerintah akan memperkuat investasi dari dalam negeri (penanaman modal dalam negeri/PMDN).
”Kita tentu tetap berusaha menjaga PMA, tapi kita usahakan memberdayakan yang di dalam negeri untuk mendorong potensi investasi. Jangan sampai investor dalam negeri tidak terperhatikan. Keberpihakan dalam negeri itu harus kita dorong, termasuk kolaborasi antara investor besar dan usaha kecil di daerah,” kata Yuliot.
Infografik Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
Lewat Peraturan Menteri Investasi Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kemitraan di Bidang Penanaman Modal Antara Usaha Besar dengan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Daerah, pemerintah mewajibkan investor asing dan besar untuk berkolaborasi dengan pengusaha UMKM di daerah.
Pengusaha besar harus menggandeng UMKM lokal untuk masuk dalam rantai pasok mereka agar efek pengganda (multiplier effect) investasi untuk menggerakkan ekonomi daerah bisa tercapai.
”Jangan sampai pengusaha yang dijadikan mitra dari Jakarta terus. Pengusaha daerah harus diberi ruang, dengan catatan pengusahanya harus profesional, jangan pengusaha ‘proposal’. Misalnya karena tim sukses bupati, wali kota, gubernur, lalu diajak berkolaborasi,” kata Bahlil.
Meski demikian, Bahlil mengakui, aturan itu belum benar-benar ditegakkan di lapangan. Ada banyak investor ”nakal” yang mengaku sudah mengajak UMKM dan pengusaha daerah untuk berkolaborasi, tetapi ternyata mereka hanya sebatas meminjam nama.
”Sahamnya tetap mereka (investor besar) yang punya. Ini perlu kita luruskan. Investor memang kita layani baik, tapi mereka juga punya kewajiban untuk mengangkat ekonomi daerah,” tuturnya.
Menurut Yuliot, investor-investor ”nakal” itu telah ditegur dan dibina. ”Kami luruskan bahwa pelaku usaha di daerah ini justru akan jadi pagar bagi pelaksanaan investasi mereka. Kalau orang di daerah menjaga, investasinya aman. Akhirnya pelan-pelan mereka mau,” katanya.
Pengusaha daerah harus diberi ruang, dengan catatan pengusahanya harus profesional, jangan pengusaha ‘proposal’.
Peneliti Center of Industry, Trade and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, saat ini iklim investasi memang sudah dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global yang melambat dan mengarah ke resesi.
Strategi hilirisasi yang awalnya dijadikan andalan pemerintah untuk mengejar target investasi pun kini sedikit terhambat setelah Indonesia kalah dalam gugatan terkait larangan ekspor nikel di Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pemerintah sekarang sedang berupaya mengajukan banding ke Badan Banding (AB) WTO.
”Meski sebenarnya tanpa sengketa WTO pun, investor mulai berhati-hati dalam menanamkan modal. Apalagi, sekarang ini ongkos operasional dan overhead cost semakin membengkak dengan adanya kebijakan pengetatan moneter dan kenaikan suku bunga,” katanya.
Sementara itu, berbeda dari investasi langsung di sektor riil, Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menilai, investasi pasar modal akan lebih aman. Meski tetap terimbas volatilitas ekonomi global, ketidakpastian itu masih bisa dikelola. Ia memperkirakan kinerja saham berbagai perusahaan komoditas akan naik karena mereka ”menunggangi” tren kenaikan harga dan inflasi saat ini.
”Saham itu lebih fleksibel. Investor bisa menyiapkan exit strategy, kapan bisa mengambil untung, misalnya melirik perusahaan penghasil valuta asing (valas) seperti perusahaan komoditi karena tren ke depan kemungkinan dollar AS masih akan kuat,” katanya.