RI Cari Sumber Pertumbuhan Ekonomi Baru, Hilirisasi Tetap Jadi Andalan
Di tengah bergulirnya sengketa WTO, insentif fiskal dan pengembangan pasar di dalam negeri perlu dimaksimalkan untuk menjaga laju investasi hilirisasi nikel ataupun komoditas lainnya.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di ambang ketidakpastian ekonomi global, pemerintah terus mencari dan mengembangkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru. Kendati baru-baru ini Indonesia kalah dalam kasus gugatan larangan ekspor nikel di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO, hilirisasi akan tetap diandalkan untuk memberi nilai tambah pada ekonomi.
Indonesia dinilai masih memiliki celah ruang dan waktu untuk mengembangkan hilirisasi mengingat proses sengketa masih akan dibawa ke proses banding selanjutnya di Badan Banding (AB) WTO. Insentif fiskal dan pengembangan pasar di dalam negeri perlu dimaksimalkan untuk menjaga laju investasi pada sektor hilirisasi nikel ataupun komoditas lainnya.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara memastikan, lepas dari gugatan yang berjalan di WTO, program hilirisasi akan terus berjalan. Sebelumnya, sentimen serupa bahwa Indonesia akan tetap mengedepankan hilirisasi untuk mengolah sumber daya alamnya juga sempat dikemukakan Presiden Joko Widodo dan menteri lainnya pasca-kekalahan Indonesia di Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO.
”Apakah (kekalahan) itu menyetop hilirisasi? Tidak, kita akan tetap dorong hilirisasi, nanti kita atur sektor-sektornya. Biar nanti proses di WTO ditangani oleh negosiator dagang kita yang akan mendudukkan posisi kita di dunia internasional,” kata Suahasil pada sesi Economic Outlook di acara Wealth Wisdom Permata Bank di Jakarta, Selasa (29/11/2022).
Di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini, ujar Suahasil, Indonesia harus terus mencari dan mengembangkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru. Kekayaan sumber daya alam (SDA) di dalam negeri harus dikelola agar lebih bernilai tambah melalui kebijakan hilirisasi serta larangan atau pembatasan ekspor komoditas mentah.
Untuk tetap menjaga arus investasi di sektor hilirisasi tambang dan komoditas lainnya, pemerintah akan menyiapkan berbagai insentif fiskal, baik dalam bentuk keringanan pajak maupun relaksasi impor. Lepas dari gugatan yang masih bergulir di WTO, investasi hilirisasi nikel serta komoditas lainnya diyakini akan tetap mengalir.
”Karena posisi kita sudah jelas, yaitu butuh sumber pertumbuhan ekonomi baru, tidak apa-apa. Seluruh instrumen fiskal bisa kita kerahkan untuk mendorong pengembangan hilirisasi SDA di dalam negeri,” ujar Suahasil.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyatakan, Indonesia kalah melawan Uni Eropa dalam gugatan terkait larangan ekspor nikel di DSB WTO. Kebijakan larangan ekspor itu sudah dijalankan Indonesia sejak tahun 2020.
Apakah (kekalahan) itu menyetop hilirisasi? Tidak, kita akan tetap dorong hilirisasi, nanti kita atur sektor-sektornya.
Dalam laporan final putusan panel WTO atas sengketa bernomor DS 592 pada 17 Oktober 2022, kebijakan larangan ekspor nikel serta kewajiban pengolahan dan pemurnian nikel RI dinilai melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994.
Dalam putusannya, panel WTO menolak pembelaan yang diajukan Indonesia terkait keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional dan pelaksanaan tata kelola penambangan berbasis lingkungan. Namun, keputusan itu belum berkekuatan hukum tetap sehingga Indonesia masih bisa mengajukan banding (Kompas, 23/11/2022).
Lebih agresif
Menurut peneliti Center of Industry, Trade and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, untuk mengakselerasi investasi di sektor hilirisasi nikel dan lainnya, pemerintah perlu lebih agresif dalam mengeluarkan terobosan paket stimulus dan insentif bagi investor.
”Kita lihat, negara tetangga juga banyak mengeluarkan paket kebijakan stimulus untuk melancarkan investasi. Kita jangan kalah, harus lebih agresif lagi menjemput bola. Kita butuh akselerasi karena berpacu dengan waktu akibat sengketa di WTO,” kata Heri.
Insentif yang dimaksud bukan hanya fiskal dan nonfiskal, melainkan juga jaminan kepastian pasar bagi investor. Dengan adanya sengketa di WTO, potensi pengembangan pasar ekspor otomatis menjadi tidak pasti.
Insentif yang dimaksud bukan hanya fiskal dan nonfiskal, melainkan juga jaminan kepastian pasar bagi investor.
Pasar domestik pun harus lebih dikembangkan, baik melalui belanja pemerintah lewat BUMN, BUMD, dan pemerintah daerah, maupun memperkuat struktur industri turunan hilirisasi tambang di dalam negeri.
”Pemerintah harusnya bisa meyakinkan investor bahwa pasar domestik ini juga meyakinkan. Ibaratnya, barang Anda pasti akan kami beli, pasti bakal terserap. Jadi, bukan hanya insentif fiskal atau apa pun yang sudah umum, tapi lebih penting itu menciptakan pasar,” kata Heri.
Ekonomi hijau
Selain hilirisasi, potensi sumber pertumbuhan ekonomi baru yang akan dikembangkan adalah ekonomi hijau. Terkait ini, Suahasil mengatakan, pemerintah sedang memaksimalkan potensi investasi dan kerja sama untuk mendorong transisi energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT).
Salah satu program utama yang sedang dikejar adalah memensiunkan dini sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Baru-baru ini, lewat presidensi forum G20, sejumlah komitmen pendanaan sudah didapat dari negara-negara maju, seperti melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM) Country Platform.
”Ini sekarang prosesnya kita sudah pada level membicarakan PLTU mana saja dan berapa gigawatt yang bisa dipensiunkan lebih cepat. Lalu, berapa opsi-opsi kompensasinya untuk melakukan pensiun dini itu, semua lagi dihitung,” ucap Heri.