Sepuluh asosiasi pengusaha resmi meminta Mahkamah Agung membatalkan regulasi tentang upah minimum 2023 karena dinilai melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
Pekerja berjalan kaki di jalur pedestrian Jalan Sudirman, Jakarta, saat jam pulang kerja, Selasa (23/8/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Sepuluh asosiasi pengusaha resmi mendaftarkan permohonan uji materi atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 ke Mahkamah Agung, Senin (28/11/2022). Selain melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, regulasi itu dinilai menimbulkan ketidakpastian yang memperburuk iklim investasi.
Sepuluh asosiasi itu adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI), Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), dan Perhimpuman Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
Selain itu, ada pula Himpunan Penyewa dan Peritel Indonesia (Hippindo), Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi), dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki). Mereka menunjuk firma Indrayana Centre for Government, Constitution, and Society (Integrity) sebagai kuasa hukum.
Dalam keterangan persnya, firma hukum Integrity menilai Permenaker No 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 melanggar sejumlah peraturan perundangan. Peraturan yang dilanggar itu antara lain Peraturan Pemerintah No 36/2021 tentang Pengupahan, Undang-Undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana diubah dengan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, serta Putusan Mahkamah Konstitusi No 91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-Undang Cipta Kerja.
Selain itu, Menteri Ketenagakerjaan dinilai tidak berwenang mengatur upah minimum yang sudah didelegasikan pengaturannya dalam PP Pengupahan. Pengubahan kebijakan melalui Permenaker No 18/2022 tersebut juga dinilai mendadak dan tanpa sama sekali melibatkan para pihak terkait, termasuk tanpa ada pembahasan dengan Dewan Pengupahan Nasional dan Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional. Hal itu dianggap membuat ketidakpastian yang memperburuk iklim investasi nasional.
Sementara itu, hingga Senin pukul 13.30, sedikitnya 15 provinsi dilaporkan telah menetapkan upah minimum provinsi (UMP) tahun 2023. UMP itu menggunakan formula yang tertuang dalam Permenaker No 18/2022.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Anwar Sanusi menyebutkan, rata-rata kenaikan UMP sementara 7,6 persen. Namun, dia tidak merinci provinsi yang telah menetapkan UMP.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, M Hadi Subhan, saat dihubungi terpisah, mengatakan, rencana Apindo mengajukan gugatan ke MA tidak menunda pelaksanaan keputusan pemerintah, baik Permenaker No 18/2022 maupun surat keputusan gubernur. Hal ini karena ada asas presumtio iustae causa yang berarti tindakan pemerintah dianggap benar sampai dicabut sendiri atau dibatalkan oleh pengadilan. ”Putusan MA tak berlaku surut. Jadi, apa yang sudah ditetapkan gubernur tetap sah,” ujarnya.
Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, seandainya gugatan ke MA dikabulkan tetapi UMP 2023 sudah berjalan, perusahaan tidak mungkin meminta lagi pekerja mengembalikan upah.
Dalam situasi yang tidak ideal ini, penentuan formulasi kenaikan upah minimum akan tetap menimbulkan pro dan kontra. Saat dihubungi terpisah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Agus Herta Sumarto, berpendapat, dalam situasi yang tidak ideal ini, penentuan formulasi kenaikan upah minimum akan tetap menimbulkan pro dan kontra.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menjembatani kedua kepentingan yang berbeda. Dalam menentukan tingkat upah minimum, setidaknya terdapat tiga dimensi yang harus dijadikan dasar pertimbangan pemerintah, pelaku usaha, dan para pekerja, yaitu dimensi jaring pengaman, insentif, dan produktivitas. Jika pemerintah lebih memilih ada di pihak pengusaha, pemerintah harus memberikan insentif bagi para pekerja dan demikian sebaliknya.
Sementara itu, sejumlah pemerintah provinsi telah mengumumkan UMP tahun 2023, Senin. Provinsi itu antara lain Daerah Istimewa Yogyakarta, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.
Pemprov DKI Jakarta menetapkan UMP 2023 sebesar Rp 4,9 juta atau naik 5,6 persen dibandingkan UMP 2022 yang sebesar Rp 4,64 juta. Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta Andri Yansyah menyatakan, penetapannya ditempuh setelah sidang Dewan Pengupahan.
Sementara Pemprov Sulawesi Utara mengumumkan UMP Rp 3,48 juta atau naik 5,42 persen dari UMP dua tahun terakhir. Kalangan buruh menyatakan kenaikan ini tak dapat ditunda lagi, sedangkan asosiasi pengusaha merasa keberatan tetapi akan tetap patuh.
Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey menyatakan, angka itu merupakan jalan tengah antara keinginan Apindo dan berbagai serikat pekerja. UMP yang baru pun disesuaikan dengan inflasi tahunan di Sulawesi Utara pada September 2022, yaitu 5,24 persen, serta pertumbuhan ekonomi.
Adapun Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi menyampaikan kenaikan UMP Sumatera Barat 2023 sebesar Rp 2,74 juta atau naik 9,16 persen. Kalangan pekerja dan pengusaha mempunyai sikap berbeda terkait kenaikan UMP tersebut.
Sementara NTB memutuskan kenaikan 7,44 persen menjadi Rp 2,37 juta. Sementara Jawa Tengah menaikkan UMP sebesar 8,01 persen menjadi Rp 1,95 juta. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyebut, penetapan UMP itu mengacu pada Permenaker No 18/2022 yang memperhatikan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan alfa. Nilai alfa adalah indeks yang menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi. (MED/HLN/EGI/XTI/ZAK/OKA/JOL/RAM)