Sektor Padat Karya Melemah, Pemberian Insentif Mulai Dicermati
Pemulihan belum merata. Ada sektor yang masih memikul ”scarring effect” pascapandemi dan semakin tertekan oleh krisis ekonomi global saat ini. Insentif untuk sektor-sektor itu perlu dipertahankan, bahkan ditambah.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah munculnya sejumlah kasus pemutusan hubungan kerja, capaian penerimaan pajak penghasilan karyawan atau PPh 21 masih tumbuh signifikan. Namun, kinerja pajak semata bukan patokan bahwa kondisi sektor riil masih aman dari efek pelambatan ekonomi global. Insentif untuk mencegah PHK lebih lanjut pun mulai dicermati.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sepanjang Januari-Oktober 2022, realisasi penerimaan pajak secara umum mencapai Rp 1.448,2 triliun, tumbuh 51,8 persen secara tahunan (year on year) dan telah mencapai 97,5 persen dari target.
Penerimaan pajak penghasilan karyawan (PPh 21) menyumbang 9,9 persen dari total realisasi pajak pada periode tersebut. Pph 21 tercatat tumbuh 21 persen secara tahunan, naik signifikan dibandingkan pertumbuhan 2,7 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Secara triwulanan, realisasi PPh 21 juga meningkat, dari pertumbuhan 18,8 persen pada triwulan I-2022 menjadi 19,8 persen (triwulan II-2022), dan 26,1 persen (triwulan III-2022).
Meski demikian, pertumbuhan PPh 21 tidak bisa dijadikan patokan bahwa kondisi sektor riil saat ini masih aman dari efek pelambatan ekonomi global.
Menurut peneliti Center of Macroeconomics and Finance di Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan, Minggu (20/11/2022), ada dua faktor yang membuat pertumbuhan pajak masih terkesan tinggi di tengah pelambatan ekonomi dan fenomena PHK.
Pertama, faktor efek basis yang rendah (low base effect) akibat penerimaan pajak yang rendah pada tahun 2021 otomatis membuat capaian pajak tahun ini tumbuh lebih signifikan. Kedua, ada peningkatan tarif pajak yang berlaku pada pertengahan tahun 2021 sehingga membuat nilai penerimaan pajak lebih tinggi dari sebelumnya.
Pada kenyataannya, Abdul menegaskan, meski pajak tumbuh kuat, pemutusan hubungan kerja (PHK) tetap terjadi. Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Indonesia, sampai November 2022, sebanyak 79.316 karyawan perusahaan tekstil di Jawa Barat terkena PHK dan 58.572 karyawan dirumahkan.
Pertumbuhan PPh 21 tidak bisa dijadikan patokan bahwa kondisi sektor riil saat ini masih aman dari efek pelambatan ekonomi global.
Sementara, di sektor alas kaki, berdasarkan laporan dari 37 pabrik sepatu dengan total karyawan 337.192 orang, 25.700 karyawan di-PHK akibat menurunnya permintaan pesanan sampai 45 persen pada Juli-Oktober 2022.
”Riilnya, sektor padat karya ini mulai tidak bisa mempertahankan tenaga kerjanya. Walaupun penerimaan perpajakan naik, itu memang sudah jelas karena faktor low base effect dan tarif yang naik,” katanya saat dihubungi.
Indikator melambatnya kinerja sektor riil juga sebenarnya bisa dilihat dari realisasi penerimaan pajak dari industri pengolahan yang secara triwulanan mulai menunjukkan tren melambat. Pada triwulan II-2022 tercatat 59,9 persen, kemudian menjadi 39,7 persen di triwulan III-2022 dan 13,4 persen di bulan Oktober 2022 meski pertumbuhan tahunannya masih kuat di 43,7 persen.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers kinerja APBN KiTA, Kamis (24/11/2022), sempat menyoroti tren realisasi PPh 21 yang masih tinggi di tengah gelombang PHK di sektor padat karya, khususnya tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki. Ia juga menyoroti pertumbuhan kinerja kedua sektor itu yang masih positif sampai triwulan III-2022.
Menurut Sri, realisasi pajak sejauh ini tidak selaras dengan tren gelombang PHK yang marak diberitakan. ”Pertumbuhan pajak karyawan masih positif. Berarti ada karyawan yang bekerja, menerima pendapatan, dan perusahaannya membayar pajak. Jadi, kita harus menyikapi berbagai berita soal PHK ini dalam konteks apakah terjadi perubahan yang harus kita dalami dan kita waspadai untuk merumuskan respons kebijakan yang tepat?” katanya.
Kambing hitam
Abdul mengatakan, solusi kebijakan insentif dari pemerintah tidak cukup hanya yang berjangka pendek. Sebab, problem di sektor TPT sudah menahun, terutama akibat faktor kalah bersaing dengan produk tekstil impor. Pelambatan ekonomi global akibat pandemi dan ketegangan geopolitik saat ini hanya memperparahnya.
”Jadi, pelambatan ekonomi global sekarang jangan dikambinghitamkan. Itu hanya salah satu faktor, tetapi akar masalahnya lebih dalam dari itu, industrinya dari awal sudah rapuh, jadi solusinya juga harus long-term,” ujarnya.
Insentif yang bisa diberikan antara lain memberikan pengurangan pajak (super deduction tax) untuk perusahaan yang rentan terpukul efek pelambatan ekonomi global. Selain itu, restrukturisasi kredit untuk meringankan beban utang perusahaan di sektor padat karya, serta memaksimalkan serapan belanja pemerintah untuk menciptakan pasar di dalam negeri.
Pelambatan ekonomi global jangan dikambinghitamkan. Akar masalahnya lebih dalam dari itu, karena industrinya dari awal sudah rapuh, jadi solusinya juga harus long-term.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menambahkan, meski ruang fiskal tahun depan lebih sempit, pemerintah harus berhati-hati dalam menghapus kebijakan insentif.
Sebab, tidak semua sektor saat ini sudah mulai pulih. Ada yang masih memikul efek luka pascapandemi dan semakin tertekan oleh krisis ekonomi global. Insentif untuk sektor-sektor itu harus dipertahankan, bahkan ditambah.
Insentif juga perlu diarahkan secara kuratif dan preventif, untuk menyubsidi pekerja yang sudah terkena PHK, serta untuk meringankan beban biaya operasional perusahaan yang mulai melambat. ”Jadi, kita tidak hanya mengobati setelah sudah terjadi PHK, tetapi juga mencegah terjadinya PHK,” ujar Faisal.
Sri Mulyani mengatakan, pemerintah tetap akan menyikapi kasus PHK yang mulai banyak bermunculan meski akan dengan berhati-hati. Sebab, menurut dia, pertumbuhan tahunan sektor tekstril dan alas kaki sampai triwulan III-2022 sebenarnya masih kuat meski sektor tekstil mulai merasakan pelambatan karena permintaan ekspor yang menurun.
”Kita akan lihat data, kita monitor kondisi perusahaan, bagaimana kinerja ekspor-impornya, pembayaran pajaknya, itu semua akan menggambarkan apakah perusahaan bekerja atau tidak. Baru nanti kita formulasikan kebijakannya untuk merespons,” katanya.