Pengembangan Energi Terbarukan Perlu Langkah Terobosan
Perlu ada reformasi dari sisi perencanaan, pasar ketenagalistrikan, ataupun kebijakan harga pada sektor energi agar target energi bersih tercapai.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Teknisi memantau suhu serapan di atas permukaan panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Cirata yang dikelola PT Pembangkitan Jawa Bali di kawasan Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Kamis (23/9/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Upaya Indonesia dalam pengembangan energi terbarukan dinilai mesti lebih optimal, dengan terobosan serta cara-cara yang tak biasa. Hal tersebut dirasa perlu, terutama untuk bisa sejalan dengan Persetujuan Paris. Berbagai upaya penyelarasan mesti dilakukan agar target dalam menekan emisi gas rumah kaca bisa dicapai.
Dalam laporan Institute for Essential Services Reform (IESR) berjudul ”Enabling High Share of Renewable Energy in Indonesia’s Power System by 2030” yang diluncurkan secara daring, Kamis (24/11/2022), ditemukan, energi terbarukan di jaringan listrik pada tahun 2030 dapat menjadi 129 gigawatt (GW). Porsi terbesar berupa pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebesar 112,1 GW.
Temuan dari kajian ini jauh lebih besar dibandingkan rencana pengembangan energi terbarukan di Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang hanya menargetkan 20,9 GW.
Di samping itu, bauran energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan diproyeksi mencapai 32 persen di sistem Jawa-Bali, 35 persen Sumatera, 35 persen Kalimantan, dan 51 persen Sulawesi. Sementara itu, bauran listrik dari PLTU batubara akan menurun signifikan menjadi hanya 39 persen pada 2030.
Kajian itu berdasarkan skenario sistem energi Indonesia mencapai emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2050, yang selaras dengan target membatasi kenaikan temperatur di bawah 1,5 derajat sesuai dengan Persetujuan Paris. Pada skenario itu, pertumbuhan listrik diasumsikan mencapai 4,5 persen, ditambah permintaan dari akselerasi elektrifikasi di sektor transportasi dan industri (heating).
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa pada peluncuran itu mengatakan, dari kajian itu dapat disimpulkan bahwa energi terbarukan dapat mencapai porsi besar dalam sistem energi kelistrikan di PLN pada 2030, yang mencakup Jawa-Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Bahkan, porsinya bisa mencapai 42 persen.
”Dari hasil pemodelan ini, sebenarnya tak ada masalah dengan keandalan dan juga biaya penyediaan listrik yang mengakomodasi bauran energi terbarukan. Ini sangat relevan dengan (komitmen) Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diumumkan pada G20 (di Bali), pekan lalu, yakni emisi puncak 290 juta ton (CO2) dan bauran energi terbarukan minimal 34 persen pada 2030,” katanya.
Menurut dia, perlu ada upaya dalam peningkatan bauran energi terbarukan dengan melihat keekonomian dari semua kandidat pembangkit secara lebih fair. Pasalnya, harga listrik dari PLTU saat ini sejatinya bukan yang sebenarnya karena masih ada kebijakan subsidi dalam pemenuhan kebutuhan domestik (DMO) pada batubara yang digunakan.
Ia mengatakan, hal-hal seperti itu perlu diubah. ”Ini memang bukan hal sederhana, tetapi untuk mencapai NZE, kita tak bisa dengan business as usual. Perlu ada reformasi dari sisi perencanaan, pasar ketenagalistrikan, ataupun kebijaan harga pada sektor energi,” ujar Fabby.
Regulasi dan peta jalan
Power System Researcher IESR Akbar Bagaskara mengemukakan, upaya dalam mencapai target yang sejalan dengan Persetujuan Paris perlu, khususnya dalam transformasi sektor pembangkitan. Hal itu termasuk penambahan pembangkit energi terbarukan dengan mempertimbangkan kemampuan sistem.
Adapun pemanfaatan storage (tempat penyimpan daya) hingga memperbolehkan operasi PLTU secara fleksibel bisa dilakukan sebagai antisipasi ketergantungan terhadap cuaca pada energi terbarukan. ”Untuk memberi ruang penetrasi masif dan mengurangi emisi, pensiun dini PLTU perlu dipertimbangkan dan telah tertuang dalam Perpres (Nomor 112 Tahun 2022),” ujarnya.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Ilustrasi PLTU
Ia menambahkan, regulasi yang mengatur pola operasi fleksibel dari PLTU juga diperlukan. Regulasi dan peta jalan yang jelas juga dibutuhkan dalam mendukung upaya peningkatan energi terbarukan, termasuk industri panel surya (solar PV).
EVP Energy Transition PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Kamia Handayani menuturkan, ada perbedaan angka permintaan antara yang tertuang dalam RUPTL 2021-2030 yang di atas 400 terawatt jam (TWh) dan laporan dari IESR sekitar 700 TWh. Selisih itu bisa diisi dengan energi terbarukan, tetapi PLN akan fokus pada pertumbuhan permintaan lebih dulu.
Mengenai kompatibilitas dengan Persetujuan Paris, yakni pembatasan kenaikan temperatur 1,5 derajat celsius, kata Kamia, perlu diakui RUPTL 2021-2030 belum selaras sepenuhnya. ”Namun, perlu dilihat juga apakah skenario dalam laporan ini juga sudah kompatibel. Karena pada joint statement di G20 lalu, target emisi puncak adalah 290 juta (ton CO2) pada 2030,” ucapnya.
Tahun ini, Indonesia sudah memutakhirkan target Nationally Determined Contribution (NDC) menjadi lebih ambisius dengan Enhanced NDC (ENDC). Pada 2030, penurunan emisi ditargetkan 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional.