Rencana Induk Dorong Kapasitas Industri Digital Domestik
Rencana Induk Pengembangan Industri Digital Indonesia 2023-2045 memerlukan detail regulasi pelaksana hingga mekanisme evaluasi. Pemerintah juga disarankan belajar dari pengalaman masa lalu dan negara lain.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Langkah pemerintah mengeluarkan Rencana Induk Pengembangan Industri Digital Indonesia 2023-2045 diapresiasi. Langkah ini dianggap sebagai awal yang positif menangkap potensi besar pasar produk teknologi digital. Meski demikian, pemerintah perlu menyiapkan detail regulasi pelaksana sampai mekanisme pengawasan dan evaluasi agar industrinya tumbuh berkelanjutan.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas meluncurkan Rencana Induk Pengembangan Industri Digital Indonesia 2023-2045 bersamaan dengan penyelenggaraan Indonesia Development Forum (IDF) 2022 hari pertama, Senin (21/11/2022), di Badung, Bali. Dalam dokumen dijelaskan bahwa keberadaan rencana induk itu sejalan dengan transformasi digital (digitalisasi) di enam sektor prioritas, yaitu pemerintahan, pendidikan, kesehatan, pengadaan dan logistik, perdagangan, serta industri. Transformasi digital tersebut diyakini telah memiliki potensi peningkatan aktivitas ekonomi digital yang besar.
”Masyarakat selama ini menggunakan produk digital, baik perangkat keras maupun perangkat lunak, dan selalu memunculkan pertanyaan siapa yang membuatnya. Kita selama ini relatif masih (banyak) mengimpor,” ujar Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti saat media gathering, Selasa (22/11/2022) malam, di Badung, Bali.
Salah satu tujuan Rencana Induk Pengembangan Industri Digital Indonesia 2023-2045 adalah peningkatan kapasitas industri digital dalam negeri. Misalnya, inovasi, riset, desain, pengembangan, dan peningkatan tingkat komponen dalam negeri.
”Dalam rencana induk itu, kami sertakan juga rencana menyiapkan sumber daya manusianya. Tidak perlu menyiapkan merek gawai baru, tetapi Indonesia (industri digital dalam negeri) bisa menyiapkan diri masuk ke dalam rantai pasok komponen untuk produk ponsel pintar,” katanya.
Ketua Bidang Aplikasi Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Djarot Subiantoro, yang dihubungi pada Rabu (23/11/2022), di Jakarta, berpendapat bahwa rencana induk yang holistik dan lengkap merupakan awal yang baik. Meski demikian, rencana induk perlu diikuti dengan implementasi nyata dan berkesinambungan. Pengalaman terdahulu menunjukkan, masalah utama rencana pembangunan nasional terletak pada implementasi.
Menurut dia, keberadaan rencana induk dan implementasi yang tepat akan membentuk atmosfer positif bagi perkembangan industri digital. Dokumen rencana induk semestinya juga sudah mencantumkan tujuan akhir dan target waktu, jumlah anggaran, serta siapa pihak yang akan terlibat mendanai.
”Implementasi transformasi industri ke arah digital memerlukan kerja sama pemerintah-badan usaha (public-private partnership/PPP) yang tertata. Tertata ini maksudnya diatur dalam regulasi. Dengan demikian, implementasi rencana induk lebih berkesinambungan,” kata Djarot yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Piranti Lunak Telematika Indonesia.
P3DN Assistant Vice President Infrastructure Strategic Business Division PT Surveyor Indonesia Sarjuni Adicahya berpendapat, hal terpenting adalah adanya mekanisme pengawasan dan evaluasi dari pemerintah. Jika mekanisme ini lemah dijalankan, industri digital dalam negeri tidak akan tumbuh pesat.
Indonesia memiliki potensi pasar produk industri digital, baik hardware maupun software, yang besar. Hal ini seharusnya bisa jadi pemantik bagi korporasi digital global untuk masuk mengembangkan industrinya di Indonesia dan tunduk dengan ketentuan konten lokal.
”Pemerintah tetap perlu back up melalui penerbitan regulasi, ketegasan pengawasan dan evaluasi, hingga terlibat dalam membantu penyerapan produk,” ujar Sarjuni.
Sementara itu, dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB), Adi Indrayanto, berpendapat, pemerintah perlu berkaca dari pengalaman pengembangan industri dalam negeri yang pernah dan sedang berjalan. Sebagai contoh, kebijakan industri manufaktur dan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk gawai. Kebijakan ini dibuat tahun 2014, tetapi implementasinya tidak optimal. Koordinasi lintas kementerian relatif belum berjalan, terutama berkaitan dengan kebijakan importasi komponen dan kesiapan industri komponen lokal.
Adi juga menceritakan, Indonesia terjebak dalam Perjanjian Teknologi Informasi (ITA) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). ITA WTO menetapkan seluruh pajak impor produk teknologi informasi, seperti komputer, semikonduktor, perangkat penyimpan data, dan perangkat lunak, wajib dihilangkan. Komponen elektronika yang tidak termasuk dalam cakupan ITA WTO tetap dikenai pajak impor 5–15 persen.
”Akibatnya, merakit dengan sebagian komponen lokal akan lebih mahal daripada merakit dengan seluruh komponennya masih impor. Belum lagi masalah ketersediaan lahan, listrik, dan pekerja yang andal,” ujarnya.
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Trio Adiono, memandang, pemerintah perlu belajar dari negara lain, termasuk negara tetangga, yang lebih dulu mengembangkan ekosistem industri digital dalam negeri dan realisasinya terbukti optimal. Sebagai contoh, Malaysia dengan Multimedia Super Corridor.
”Atau Pemerintah Singapura yang memberikan subsidi upah. Insentif pemerintah bisa menyasar di hulu ataupun hilir industri digital. Hal seperti ini seharusnya sudah sejak awal dipertimbangkan,” katanya.