Optimistis Tetap Tumbuh di Tengah Ancaman Resesi Global
FMCG menjadi salah satu sektor yang berdaya tahan jika dibandingkan dengan tekstil atau komoditas lain yang mengandalkan pertimbangan konsumen dalam berbelanja. Konsumen tetap bertahan membeli produk-produk FMCG
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·5 menit baca
Di tengah perlambatan ekonomi dunia, industri barang konsumen bergerak cepat (fast moving consumer goods atau FMCG) menunjukkan daya tahannya. Dalam wawancara khusus di Jakarta, Jumat (11/11/2022), CEO Unilever Alan Jope berpendapat, bagaimanapun masyarakat masih membutuhkan produk-produk FMCG untuk kebutuhan harian, seperti mandi, sikat gigi, dan mencuci. Ketangguhan itu juga tampak dari kinerja PT Unilever Indonesia Tbk yang membukukan pendapatan dan penjualan usaha Rp 32,45 triliun pada triwulan III-2022 atau lebih tinggi 8,08 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya.
Menurut Anda, bagaimana situasi industri FMCG saat ini?
Tantangan nomor satu industri FMCG sekarang ialah tekanan inflasi. Inflasi kini berdampak pada semua kelas dan semua sektor, seperti petrokimia, pertanian, energi, transportasi, dan logistik. Sementara itu, sepanjang 2021, kinerja Unilever di tingkat global tergolong baik. Perusahaan membukukan pendapatan 52 miliar dollar Euro dengan cost of goods 24 miliar euro. Dampak inflasi tahun ini terhadap cost of goods diperkirakan 4,5 miliar euro. Imbasnya, perusahaan FMCG tengah berupaya mencari jalan yang tepat untuk menutup kerugian akibat tekanan inflasi dengan penghematan biaya produksi dan proses bisnis, menaikkan harga secara bertanggung jawab, serta untuk beberapa kasus, menurunkan margin bagi pemegam saham. Unilever hanya membebankan sekitar 75 persen dari cost of inflation dalam menentukan harga yang akan dibayar konsumen.
Melihat kondisi itu, tampaknya FMCG menjadi salah satu sektor yang berdaya tahan, jika dibandingkan dengan tekstil atau komoditas lain yang mengandalkan pertimbangan konsumen dalam berbelanja. Sepertinya konsumen tetap bertahan membeli produk-produk FMCG. Di pasar saham, perusahaan FMCG juga menunjukkan daya tahannya. Indikator-indikator ini merefleksikan sektor ini safe heaven bagi investor. Konsumen tetap harus menyikat giginya, mandi, mencuci baju, dan makan.
Sementara itu, harga produk kami di tingkat konsumen ditentukan oleh peritel. Kami dapat menaik-turunkan harga sehingga menurunkan harga ketika laju inflasi tergolong normal dapat dilakukan.
Apakah Anda memiliki prediksi sampai kapan harga-harga ini tinggi?
Sangat berbahaya bagi pelaku bisnis untuk memprediksi masa depan. Ketidakpastian masih menyelimuti dunia. Kami terbuka untuk melihat biaya inflasi pada semester I-2023, yakni sekitar 2 miliar euro. Laju inflasi mungkin akan menurun, tetapi kami belum berada di puncak biaya. Tentu saja biaya (akibat inflasi) akan meningkat pada semester I-2023 karena inflasi komoditas belum berakhir.
Bagaimana pandangan Anda terhadap pasar FMCG di Indonesia? Apakah juga memiliki daya tahan?
Indonesia adalah negara yang penting di dunia. Negara ini merupakan pasar yang besar dengan jumlah populasi yang tinggi, nilai produk domestik bruto tertinggi di Asia Tenggara, serta memiliki prospek pertumbuhan yang bagus. Kami sungguh berkomitmen penuh pada Indonesia.
Unilever juga memiliki posisi fantastis di Indonesia melalui bisnis kami sehingga kami akan melanjutkan investasi. Dari sisi konsumsi per kapita terhadap produk kami, Indonesia setara dengan sepertiga Brasil dan setengah dari China. Artinya, ruang pertumbuhan Indonesia masih luas.
Adapun investasi di Indonesia, kami akan menanam modal pada aset perusahaan. Kami membangun aset baru di Sei Mangkei untuk menopang operasional petrokimia di sana. Kami akan menambah investasi dalam penguatan merek sehingga belanja iklan akan meningkat. Tidak hanya itu, kami juga akan menambah investasi di sumber daya manusia (SDM). Pada akhirnya, yang kami miliki ialah SDM dan jenama yang menjadi dua sumber manfaat bagi perusahaan.
Terkait daya tahan industri FMCG di Indonesia, bisa dilihat bisnis kami bertumbuh tahun ini dan kami berekspektasi pertumbuhan ini berlanjut. Selain itu, terdapat pula kecenderungan jenama-jenama besar dapat bertahan di situasi perekonomian yang sulit. Misalnya, saat pandemi Covid-19, bisnis jenama-jenama besar tergolong baik-baik saja. Di Amerika Latin, saat Brasil dan Argentina diterpa krisis ekonomi, jenama besar cenderung tidak apa-apa. Ini menandakan, jenama besar yang kami miliki adalah sebuah aset.
Jika melihat portofolio Unilever secara global dan memperhatikan secara spesifik segmen premium, menengah, dan value segment, pasar premium kami tumbuh lebih cepat dibanding segmen menengah dan value segment. Dari segi kontribusinya, 35 persen pendapatan kami berasal dari segmen premium, 50 persen dari segmen menengah, dan 15 persen dari value segment.
Di Indonesia, kami melihat lebih banyak polarisasi, ada yang tetap bertahan dengan produk premium, tetapi ada yang membeli ukuran kemasan lebih kecil agar lebih terjangkau (secara harga). Selain itu, di Indonesia, kami memiliki pangsa lebih besar di segmen premium dibanding menengah. Oleh karena itu, kami optimistis dengan bisnis kami ke depan, apalagi kami memiliki portofolio yang baik di Indonesia pada segmen premium, menengah, dan value segment, baik dari segi jenama maupun kemasan. Inilah yang membuat kinerja perusahaan di sini berdaya tahan.
Proporsi kontribusi pendapatan dari tiap segmen di tataran global mirip dengan Indonesia. Kekuatan kami berasal dari portofolio yang seimbang. Kami meninjau segmen premium, tetapi tidak mengabaikan segmen menengah dan value segment. Banyak konsumen di Indonesia yang relatif memiliki pendapatan rendah sehingga membutuhkan produk berkualitas tinggi dengan harga terjangkau.
Dengan demikian, kelima pilar bisnis kami memiliki kapasitas untuk bertumbuh lebih cepat dibanding pertumbuhan total Unilever dalam lima tahun ke belakang yang berkisar 3-4 persen, termasuk di Indonesia. Setiap kelompok bisnis saat ini bisa tumbuh sekitar 5 persen. Kami menerapkan prinsip high growth high profitability.
Apakah Anda khawatir dengan resesi?
Dunia tidak datar. Di sisi lain, kinerja paling memukau pada bisnis kami berasal dari Asia Tenggara dan Asia Selatan. Negara-negara seperti Indonesia, Filipina, dan Vietnam cukup kuat, terlihat dari pertumbuhan PDB. Kinerja di India, Banglades, dan Pakistan juga baik. Afrika dan Amerika Latin juga demikian. Di sisi lain, kami cukup sulit melihat situasi ekonomi yang sebenarnya terjadi di China karena masih ada penerapan kebijakan karantina. Amerika bagian utara mulai tampak melambat dan kawasan Eropa tengah menghadapi masalah. Kekuatan Unilever ialah, 60 persen penjualan kami datang dari luar Eropa dan Amerika bagian utara. Saya optimistis, Unilever cukup kuat karena daya tahan di Asia Tenggara, Asia Selatan, Amerika Latin, dan Afrika.