Putusan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan Indonesia melarang ekspor nikel dinilai jadi tantangan mengokohkan hilirisasi. Namun, terkait banding atas putusan itu, RI mesti menyiapkan argumen yang kuat.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG
Pekerja memeriksa produk feronikel hasil pengolahan bijih nikel di pabrik PT Aneka Tambang (Antam) di Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, Jumat (11/5/2011).
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia mesti memperkuat argumen untuk banding terkait putusan dalam dispute settlement body Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel. Sejumlah hal juga dapat dilakukan jika Indonesia tetap kalah dalam banding, antara lain dengan meningkatkan tarif ekspor, mengingat semua demi kepentingan nasional.
Sebelumnya, dalam pemaparan pada Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (21/11/2022), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, pelarangan ekspor dan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO.
Dalam laporan final panel yang dikeluarkan pada 17 Oktober 2022 disebutkan, WTO menolak pembelaan yang diajukan Pemerintah Indonesia terkait keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional dan untuk melaksanakan good mining practice. Laporan final itu akan didistribusikan kepada anggota WTO lainnya pada 30 November 2022 dan akan dimasukkan dalam agenda dispute settlement body (DSB) pada 20 Desember 2022.
Pengamat hukum pertambangan dari Universitas Tarumanagara, Ahmad Redi, saat dihubungi Selasa (22/11/2022) mengatakan, putusan dispute settlement body (DSB) WTO terkait nikel menjadi bagian dari tantangan Indonesia dalam mendorong kebijakan hilirisasi. Dalam banding, Indonesia harus mencari strategi lain agar argumen yang dibuat lebih meyakinkan WTO.
”Indonesia harus bisa meyakinkan majelis banding di WTO, misalnya bahwa ini bukan hanya kepentingan nasional semata, melainkan global. Ini terkait pengembangan industri baterai yang berbahan baku nikel. Jadi, bukan pembatasan, melainkan optimalisasi nikel untuk memberikan kontribusi bagi pengembangan kendaraan listrik di dunia, sebagai bagian dari transisi energi,” ujar Redi.
Redi menambahkan, kalapun pada akhirnya kebijakan itu tetap dinyatakan melanggar, pemerintah perlu memperbaiki sejumlah regulasi, baik dalam undang-undang maupun peraturan lainnya. Hal itu, bagaimanapun menjadi konsekuensi Indonesia sebagai negara anggota WTO, tinggal bagaimana dasar argumen yang dimiliki Indonesia bisa kuat saat menghadapi gugatan.
Selain itu, strategi yang bisa dilakukan Indonesia jika memang pada akhirnya keran ekspor ore nikel harus dibuka adalah dengan instrumen ekonomi. ”Misalnya, royalti ditinggikan, juga bea keluarnya. Kalau dipersoalkan digugat lagi, ya kita cari argumentasi kembali. Ini kan dalam rangka kepentingan nasional. Masa kita yang memiliki sumber daya alam, nikel, tetapi kemudian dipaksa ekspor?” kata Redi.
Komitmen yang ditunjukkan pemerintah dalam hilirisasi nikel, agar tak hanya menjadi komoditas mentah serta tidak memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional, sudah baik. Namun, di sisi lain, izin usaha pertambangan (IUP) sudah telanjur diberikan. Oleh karena itu, ke depan, perlu ada penataan di tingkat hulu pertambangan agar Indonesia tak terjebak dalam ekspor.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli menuturkan, pihaknya tetap mendukung upaya pemerintah dalam hilirisasi sumber daya alam. Upaya banding, dengan penguatan argumen, pun menjadi langkah tepat.
Apa pun keputusan akhir WTO nantinya, hal yang paling penting untuk dijaga adalah kepastian terhadap investasi yang ada saat ini. Pemerintah mesti mengamankan rantai pasok bijih nikel terhadap industri yang telah dan akan tumbuh, yakni pabrik peleburan (smelter) dan pemurnian (refinery).
Selain bisa dengan meningkatkan tarif ekspor, pemerintah juga dapat mengatur jumlah produksi melalui Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pemegang inzin pertambangan. Pembatasan produksi dapat dilakukan oleh Kementerian ESDM guna menjaga umur cadangan nikel dalam negeri.
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG
Pekerja mengoperasikan salah satu alat pengolahan bijih nikel PT Aneka Tambang (Antam) di Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, beberapa waktu lalu.
Daya saing
Pengaturan produksi lewat RKAB, lanjut Rizal, juga dapat dimanfaatkan dalam mengendalikan eksploitasi nikel sesuai arah kebijakan negara, yakni mengedepankan hilirisasi, yang juga akan menambah daya saing.
”Saat harga dalam negeri lebih bersaing, otomatis para pengusaha tambang lebih memilih menjual ke dalam negeri. Putusan WTO pun sebenarnya akan membawa dampak positif bagi industri hulu pertambangan. Yang utama, pemerintah harus dapat menjamin ketersediaan pasokan dalam negeri melalui berbagai instrumen regulasi, seperti DMO (pemenuhan kebutuhan domestik) yang diterapkan pada batubara,” ujarnya.
Mengenai rencana pelarangan ekspor komoditas pertambangan lainnya, seperti timah dan tembaga, Rizal menilai jangan sampai putusan WTO menghambat apa yang sedang disiapkan. ”Hanya perlu menyiasati strategi hilirisasi agar gugatan seperti (pada kasus) nikel tidak muncul kembali. Kita bisa belajar dari pengalaman yang ada. Banyak cara untuk memajukan bangsa,” katanya.
Sebelumnya, Arifin menuturkan, hilirisasi nikel diperlukan mengingat besarnya kebutuhan baterai di Indonesia. ”Tidak hanya untuk media transportasi, tetapi juga untuk storage system (penyimpanan daya). Ini diperlukan dalam program masuknya energi terbarukan, yang bersih dan intermiten (bergantung cuaca). Jadi banyak proses. Proses hilirisasi dari mineral-mineral ini masih yang harus kita isi penuh,” katanya.