Erajaya Bertransformasi Ke Ritel Produk Gaya Hidup
PT Erajaya Swasembada Tbk atau Erajaya melebarkan sayap ke bisnis ritel penunjang gaya hidup, selain gawai. Pada jangka panjang, Erajaya ingin menjadi pemimpin di pasar ritel gaya hidup.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
Berdiri tahun 1996, PT Erajaya Swasembada Tbk (Erajaya) tumbuh menjadi perusahaan yang lebih banyak dikenal masyarakat sebagai perusahaan di balik retailer gawai, seperti Erafone dan iBox. Kendati demikian, Erajaya sebenarnya telah melebarkan sayap ke bisnis ritel lain yang menunjang gaya hidup sehari-hari. Di antaranya adalah kafe-toko roti Paris Baguette, apotek Wellings, kosmetik The Face Shop, serta toko benda terhubung internet (IoT) Urban Republic.
Eraspace Pte Ltd, perusahaan yang dimiliki oleh Erajaya, melalui anak usahanya Erajaya Holding Pte Ltd, juga telah mengumumkan kerja sama joint venture dengan PT Perjuangan Anak Muda (PAM). Penandatanganan joint venture ini melanjutkan dan melengkapi kerja sama joint venture yang terbentuk sebelumnya antara Erajaya Food & Nourishment dan Grand Lucky Group. Joint venture ini membentuk perusahaan baru dengan nama PT Mitra Belanja Anda (MBA). MBA memiliki dan mengelola seluruh jaringan supermarket bernama Grand Lucky.
Vice President Director Erajaya Hasan Aula menyempatkan berbincang dengan Kompas, Kamis (17/11/2022), di Jakarta. Berikut cuplikan wawancara tersebut. Hasan Aula antara lain menuturkan bagaimana Erajaya akhirnya memutuskan merambah ritel aneka produk gaya hidup sehari-hari, di luar gawai.
Kami ‘menguasai’ bisnis penjualan device karena kami melihat itu sebagai pondasi untuk masuk ke semua produk gaya hidup lainnya. Kami masuk ke bisnis gaya hidup berupa produk kecantikan, farmasi, IoT, supermarket, sampai kafe-toko roti.
Bagaimana pandangan Erajaya terhadap pasar gawai di Indonesia saat ini? Apa benar pasarnya sedang lesu ?
Pasar gawai, terutama ponsel, masih menarik karena pasar sangat haus akan produk-produk baru. Pemilik merek ponsel pintar masih aktif mengeluarkan inovasi baru sehingga kami yakin industri ataupun pasar gawai masih terus tumbuh.
Perkembangan teknologi gawai pun semakin canggih. Ini membuat kami mampu menjual produk lebih mahal yang artinya rata-rata nilai penjualan (average selling price) naik. Misalnya, dari Rp 1,5 juta per unit ponsel menjadi Rp 1,7 — Rp 2 juta per unit ponsel.
Konsumen juga terus memperbarui kebutuhan teknologi ponsel pintar. Sebagai gambaran, dari segi segmen konsumen low-end, mereka dulunya cukup menggunakan memori dua gigabit (GB), kini kapasitas seperti itu tidak cukup. Konsumen sekarang memakai beragam aplikasi yang berarti mereka butuh kapasitas memori ponsel pintar yang besar. Tren ini justru menguntungkan kami.
Lantas, apa yang melatarbelakangi Erajaya terjun ke bisnis retailer di luar gawai?
Gawai, terutama ponsel pintar, telah menjadi sentral dalam gaya hidup. Lebih dari sekadar alat komunikasi. Apalagi, pada saat pembatasan sosial karena pandemi Covid-19, belajar, bekerja, dan penyelenggaraan pertemuan bisa dilakukan daring. Konsumen belanja daring ataupun luring dan bayar barang belanjaan memakai dompet elektronik yang ada di ponsel pintar.
Dengan ponsel pintar, konsumen bisa menggerakkan dan terkoneksi dengan IoT. Jauh sebelum ada pandemi Covid-19, kami telah mengamati perilaku konsumen ini. Misalnya, berolahraga memakai jam tangan cerdas dan rumah dipasang perangkat cerdas (smarthome). Maka, sebelum pandemi, kami sudah buka retailer, seperti Urban Republic, untuk menangkap peluang bisnis dari tren perilaku itu.
Kami ‘menguasai’ bisnis penjualan device karena kami melihat itu sebagai pondasi untuk masuk ke semua produk gaya hidup lainnya. Kami masuk ke bisnis gaya hidup berupa produk kecantikan, farmasi, IoT, supermarket, sampai kafe-toko roti.
Bagaimana pencapaian dari diversifikasi bisnis tersebut? Apa dampak lanjutan yang Erajaya harapkan?
Tingkat kesadaran konsumen terhadap merek-merek ritel baru kami luar biasa. Namun, ini baru permulaan. Gerai-gerai ritel baru, seperti Paris Baguette, masih berada di Jabodetabek. Kontribusi penjualan terhadap total pendapatan perusahaan masih relatif kecil, dibanding bisnis inti kami (ritel gawai) yang masih menyumbang 85 persen.
Kami optimis, strategi diversifikasi ini membuat kami memiliki posisi tawar yang kuat di pasar. Kepada mal, misalnya.
Total gerai ritel kami telah mencapai di atas 1.000. Untuk gerai retail gawai, khususnya, telah sampai ke kabupaten/kota tier tiga. Kami ingin bisnis ritel lain juga bisa seperti itu, keluar Jabodetabek.
Dengan strategi O2O, konsumen bisa pesan barang terlebih dulu, lalu mengambil barang di toko. Konsumen bisa pula datang ke toko, tetapi jika barang yang diinginkan habis, kami bisa kirim dari gudang
Sebelum pandemi Covid-19, Erajaya juga telah mengembangkan dan memiliki kanal penjualan daring yaitu Eraspace. Bagaimana pandangan Erajaya terhadap prospek mekanisme penjualan daring ke luring ataupun sebaliknya (O2O/omnichannel) pada masa depan?
Strategi itu justru membantu kami pada saat pembatasan sosial karena pandemi Covid-19. Karyawan toko bisa tetap melayani penjualan yang berarti pelayanan kami kepada konsumen tetap bisa maksimal. Apabila jarak tempat tinggal konsumen berkisar 5–10 kilometer, karyawan toko bisa langsung kirim menggunakan Era Express, lini bisnis logistik Erajaya. Tiga jam bisa sampai ke tempat konsumen.
Dengan strategi O2O, konsumen bisa pesan barang terlebih dulu, lalu mengambil barang di toko. Konsumen bisa pula datang ke toko, tetapi jika barang yang diinginkan habis, kami bisa kirim dari gudang. Kami juga mengembangkan conversational commerce sehingga semakin memudahkan akses pembelian barang konsumen. Setelah pandemi usai, kami menilai strategi O2O akan tetap relevan.
Apa visi atau impian dari Erajaya pada jangka panjang?
Kami ingin menjadi pemimpin di pasar produk gaya hidup cerdas (smart lifestyle). Kami ingin jadi rekan dan mitra konsumen yang membutuhkan dan menginginkan produk itu. Bagaimana agar kami bisa mewujudkan itu? Salah satunya adalah memiliki tenaga kerja yang piawai.
Kami berinvestasi di sumber daya manusia dengan memberikan pelatihan kerja, termasuk pelatihan secara daring. Sebab, karyawan kami telah mencapai belasan ribu sampai ke daerah-daerah. Harapannya, mereka bisa piawai dalam melayani konsumen yang berkonsultasi produk.
Lalu, kami mengembangkan program Erafone Cloud Retail Partner program. Ini merupakan program kemitraan untuk membangun gerai Erafone di daerah. Pihak ketiga bisa jadi mitra kami. Sekarang, hasilnya sudah ada 50 gerai.
Tidak ingin terjun ke ranah manufaktur ?
Kami sudah ada. Dulu, kami mengerjakan manufaktur ponsel pintar dari Xiaomi. Kini, kami bersama ponsel pintar Nokia. Terjun ke ranah manufaktur bukan berarti harus bangun pabrik. Kami kerja sama dengan pelaku industri manufaktur gawai — elektronik yang sudah ada.