Soal Upah Minimum, Pelaku Usaha Minta PP 36/2021 Tetap Berlaku
Apabila pemerintah memutuskan sistem pengupahan kembali ke PP 78/2015, pelaku usaha khawatir, sentimen terhadap investasi akan berubah. Dampaknya, tingkat penyerapan tenaga kerja tidak optimal.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Meskipun kalangan buruh dan sejumlah serikat pekerja mengharapkan sistem pengupahan mengacu pada aturan lama, pelaku usaha minta pemerintah konsisten menerapkan regulasi anyar. Pelaku usaha menilai konsistensi itu penting untuk menjaga citra investasi Indonesia di panggung internasional.
Aturan lama yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang merupakan turunan dari Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Regulasi itu telah digugurkan oleh PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, perumusan pengupahan dalam PP 36/2021 sudah adil dan berpotensi tidak menimbulkan kesenjangan upah antarprovinsi. "PP 78/2015 tidak menggambarkan kondisi riil (nilai upah)," ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (16/11/2022).
Apabila pemerintah memutuskan untuk kembali ke PP 78/2015, Hariyadi khawatir, sentimen terhadap investasi akan berubah. Dampaknya, tingkat penyerapan tenaga kerja tidak optimal. Tenaga kerja angkatan baru akan sulit mengakses lapangan kerja.
Anggota Dewan Pertimbangan Apindo sekaligus Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Anne Patricia Susanto merinci, ketidakkonsistenan pemerintah dalam menerapkan formulasi pengupahan untuk 2023 dapat menimbulkan ketidakpastian regulasi dalam investasi. Padahal, tahun depan sudah dipenuhi ketidakpastian akibat perlambatan ekonomi global.
Selain itu, lanjut Anne, pelaku usaha sudah mempertimbangkan komponen biaya upah karyawan dalam keuangan tahun depan berdasarkan PP 36/2021. Jika pemerintah tidak konsisten, industri padat karya akan semakin terpukul.
Di sejumlah industri padat karya, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) telah terjadi seiring berkurangnya pesanan dari pasar ekspor. Di sektor tekstil, lebih dari 58.872 tenaga kerja telah mengalami PHK. Di sektor alas kali, laporan dari 37 perusahaan menunjukkan, terdapat 25.700 orang yang sudah terkena PHK dari total tenaga kerja sebanyak 337.192 karyawan.
Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia Eddy Widjanarko mengatakan, pelaku usaha berupaya untuk mempertahankan karyawan yang ada. "Sulit untuk PHK lalu mencari karyawan baru yang membutuhkan pelatihan. Kami juga mempertahankan karyawan yang ada agar tetap sesuai dengan standar sejumlah merek internasional. Oleh sebab itu, kami berharap pemerintah mempertahankan PP 36/2021 agar tidak mengganggu industri padat karya," ujarnya.
Dia menambahkan, penurunan permintaan dari jenama besar, seperti Nike dan Adidas, mencapai 50 persen. Padahal sebelumnya, jenama-jenama itu tidak pernah menurunkan pesanan hingga 10 persen, bahkan cenderung naik 10-30 persen per tahun.
Di tengah turunnya pesanan dan menahan laju gelombang PHK, Eddy mengatakan, pelaku usaha menyiasatinya dengan pengurangan jam kerja. Gaji pun disesuaikan dengan jumlah jam kerja.