Pemerintah Terbitkan Payung Hukum Antisipasi Krisis dan Darurat Energi
Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2022 tertuang kriteria penetapan krisis energi atau darurat energi pada empat jenis energi, yakni BBM, elpiji, tenaga listrik, dan gas bumi. Regulasi itu sebagai antisipasi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berkaca dari krisis energi yang melanda sejumlah negara serta kian besarnya beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara menanggung subsidi energi membuat Pemerintah Indonesia menyiapkan antisipasi. Regulasi yang mengatur ketentuan penetapan situasi di dalam negeri dan penanggulangannya pun diterbitkan. Bahan bakar minyak dan elpiji menjadi dua jenis energi yang rawan.
Hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 41 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan dan Penanggulangan Krisis Energi dan/atau Darurat Energi. Empat jenis energi yang diatur ialah bahan bakar minyak (BBM), elpiji, tenaga listrik, dan gas bumi.
Dalam beleid itu tertuang kriteria penetapan krisis energi atau darurat energi pada empat jenis energi, baik pada kewilayahan atau berdasarkan kondisi teknis maupun di tingkat nasional. Krisis/darurat energi atas kondisi teknis ditetapkan Menteri ESDM berdasarkan rekomendasi sidang anggota Dewan Energi Nasional (DEN), sedangkan pada tingkat nasional ditetapkan Presiden.
Secara rinci, dalam peraturan menteri itu disebutkan krisis BBM ditetapkan jika pemenuhan cadangan operasional mininum BBM diperkirakan tak terpenuhi dan tak tertanggulangi lebih dari 30 hari ke depan. Begitu juga dalam krisis elpiji. Adapun cadangan operasional minimum BBM ialah tujuh hari ketahanan stok pada wilayah distribusi, sedangkan elpiji tiga hari ketahanan stok.
Krisis tenaga listrik ditetapkan jika terjadi pemadaman tiga hari beruntun dan tidak terpenuhinya cadangan operasional minimum (1 unit pembangkit terbesar tersambung ke sistem setempat) selama satu tahun ke depan. Sementara krisis gas bumi ditetapkan jika pemenuhan kebutuhan minimum (70 persen dari kebutuhan normal) diperkirakan tak terpenuhi dan tak tertanggulangi lebih dari enam bulan ke depan.
Adapun darurat energi (BBM, tenaga listrik, elpiji, dan gas bumi) mempertimbangkan keadaan kahar (kondisi darurat), gangguan keamanan, dan/atau kecelakaan teknis pada sarana dan prasarana energi lebih dari tiga bulan ke depan. Situasi krisis/darurat energi atas kondisi teknis itu ditetapkan Menteri ESDM berdasarkan rekomendasi sidang anggota DEN.
Sementara krisis/darurat energi di tingkat nasional ditetapkan jika mengakibatkan terganggunya fungsi pemerintahan, kehidupan sosial masyarakat, dan/atau kegiatan perekonomian, dengan mempertimbangkan besarnya dampak eskalasi. Krisis/darurat energi nasional ditetapkan Presiden atas usulan Menteri ESDM berdasarkan rekomendasi sidang anggota DEN.
”Tindakan penanggulangan krisis/darurat energi harus dilakukan segera. Itu dengan memberi kemudahan seperti terkait perizinan, pengadaan barang dan jasa, serta pembebasan lahan. Misalnya, impor tak perlu lagi dengan rekomendasi atau izin menteri terkait,” kata Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (16/11/2022).
Djoko menuturkan, untuk pemenuhan kebutuhan BBM nasional, tingkat importasi sekitar 53 persen, sedangkan elpiji 75 persen. Adapun tenaga listrik relatif aman karena melimpahnya batubara di Indonesia yang juga terdapat alternatif substitusi seperti diesel dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Begitu juga gas bumi yang memiliki banyak cadangan. Meski demikian, perlu peningkatan infrastruktur untuk pemanfaatan gas bumi.
”Paling riskan dua yang impor itu, terutama elpiji, karena impornya 75 persen. Itu juga yang membuat subsidi energi tahun ini membengkak menjadi lebih dari Rp 500 triliun. Namun, kami juga berupaya untuk menahan laju impor bensin dengan meningkatkan kapasitas kilang. SPBG-SPBG (stasiun pengisian bahan bakar gas) juga diaktivasi kembali, serta percepatan kendaraan listrik,” katanya.
Diterbitkannya regulasi mengenai krisis/darurat energi, imbuh Djoko, sebagai bentuk antisipasi. Saat ini indeks ketahanan energi Indonesia di angka 6,57 atau termasuk kategori tahan (6-8). Indeks itu menghitung empat variabel terkait energi pada satu negara, yakni ketersediaan, harga, infrastruktur, dan lingkungan.
Koordinator Perencanaan dan Keuangan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Anwar Rofiq mengatakan, telah diatur penyediaan operasional BBM. Pada 2021, kewajiban ketahanan stok ialah minimal 11 hari, sedangkan pada 2022-2024 selama 17 hari. Setelah 2024, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), selama 23 hari.
BPH Migas juga melakukan monitoring dan evaluasi per triwulan setiap tahun kepada semua badan usaha di bidang BBM. ”Di situ akan terlihat kesiapannya. Kami memantau terus dan angka dalam ketentuan itu jauh lebih tinggi dari kondisi krisis. Saat ini, bensin, solar, dan avtur rata-rata di atas 30 hari. Terbanyak kerosin atau minyak tanah yang di atas 90 hari,” kata Anwar.
Anwar merinci, dari data Pertamina per 14 November 2022, ketahanan stok BBM jenis pertalite (RON 90) ialah 17,06 hari; pertamax (RON 92) 42,38 hari; pertamax turbo (RON 98) 61,66 hari; minyak solar (CN 48) 19,06 hari; dan pertadex (CN 53) 52,95 hari. Sementara ketahanan stok avtur 31,94 hari dan kerosin 90,43 hari.
Cadangan penyangga
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, cadangan energi nasional meliputi cadangan strategis, cadangan penyangga energi, dan cadangan operasional. Djoko mengatakan, Peraturan Menteri ESDM No 12/2022 mengatur terkait cadangan operasional. Adapun cadangan strategis yang berkaitan dengan sumber daya di perut bumi, seperti batubara, belum diatur karena dinilai relatif aman.
Adapun cadangan penyangga energi nasional bakal dituangkan dalam perpres. ”Draf perpresnya sudah final dan sekarang bolanya ada di Kementerian Hukum dan HAM serta pembahasan di Kementerian Keuangan. Sebab, itu menyangkut dana, baik infrastruktur maupun komoditasnya. Nanti, 100 persen uangnya dari negara dan komoditasnya milik negara,” kata Djoko.
Dalam draf perpres terkait cadangan penyangga energi tersebut, lanjut Djoko, konsep DEN adalah harus ada energi penyangga selama 30 hari dan harus dipenuhi selambatnya pada 2035. Namun, setiap tahun akan disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara. Dengan situasi energi global saat ini, DEN berharap ada percepatan dan diharapkan bisa terbit di sisa tahun ini.
Mengenai dana yang disiapkan, belum ada kepastian terkait besarannya. ”Pada 2016, Kemenkeu pernah menganggarkan Rp 600 miliar, lalu 2017 Rp 900 miliar, dan 2018 Rp 1 triliun. Namun, dana ini masih dibintang (belum disetujui) karena menunggu perpres cadangan penyangga energi,” jelas Djoko.