Kewenangan BI Membeli SBN di Pasar Perdana Perlu Diperjelas
Perlu penjelasan lebih detail mengenai kriteria krisis atau darurat ekonomi seperti apa yang memungkinkan BI bisa membeli SBN di pasar perdana.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA, AGNES THEDOORA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) mengatur bahwa Bank Indonesia (BI) dapat membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana selama terjadi krisis yang mengguncang stabilitas sistem keuangan dan perekonomian. Agar pasal ini tidak disalahgunakan, perlu ada penjelasan mengenai kriteria suatu kondisi bisa dikatakan sebagai krisis.
Dalam kondisi normal atau tidak dalam kondisi krisis, BI hanya bisa membeli SBN di pasar sekunder dan tidak diperbolehkan membeli SBN di pasar perdana. Ini dilakukan agar bank sentral tidak mudah dimanfaatkan penguasa untuk membiayai anggaran negara, yang ujungnya akan melonjakkan inflasi. Namun, dalam kondisi krisis yang membutuhkan dana besar untuk penanganannya, bank sentral bisa membantu menyediakan pendanaan dengan cara membeli SBN yang diterbitkan pemerintah.
Hal ini pernah dilakukan BI selama kurun 2020-2022 saat Indonesia mengalami krisis akibat pandemi Covid-19. Ketentuan tersebut termaktub dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan atau stabilitas sistem keuangan.
Aturan tersebut kemudian diadopsi dalam RUU P2SK. RUU ini memberi kewenangan BI membeli Surat Utang Negara (SUN)/Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) di pasar perdana untuk mendukung pelaksanaan kewenangan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan. Ini dalam rangka penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menjelaskan, pemberian kewenangan BI untuk membeli SBN di pasar perdana saat krisis ini masih perlu diatur lebih detail. Sebab, tidak dijelaskan kapan dan kriteria kondisi ekonomi seperti apa yang bisa digolongkan sebagai krisis atau permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional.
Menurut Tauhid, jika kriteria krisis tidak dijelaskan, ini akan menjadi celah yang bisa disalahgunakan.
”Bisa-bisa pembelian SBN oleh BI di pasar perdana ini memanfaatkan alasan krisis ekonomi terus-menerus, padahal kondisinya tidak demikian,” ujar Tauhid dihubungi Selasa (15/11/2022).
Ketentuan lebih detail
Ia mengatakan, semestinya RUU P2SK mengatur lebih jelas kapan BI bisa secara sah membeli SBN di pasar perdana. Selain itu, perlu diatur juga kriteria krisis seperti apa yang membolehkan BI bisa membeli SBN di pasar perdana.
”Perlu ada penjelasan lebih detail krisis ekonomi seperti apa yang dimaksud? Apakah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi dua triwulan atau lebih berturut-turut terkontraksi atau bertumbuh negatif? Ataukah ada asuransi atau perbankan yang wanprestasi yang mengakibatkan guncangan stabilitas sistem keuangan?” ujar Tauhid.
Ia menjelaskan, jika tidak ada penjelasan lebih detail mengenai hal itu, ada potensi pasal tersebut disalahgunakan dengan mengatasnamakan krisis sehingga pemerintah jadi cenderung terbiasa memanfaatkan BI untuk membiayai APBN. Pendalaman pasar keuangan pun menjadi semu karena SBN toh pada ujungnya akan dibeli oleh BI sehingga tidak menambah investor baru.
”Seakan-akan kalau ada apa-apa tinggal minta BI,” ujar Tauhid.
Senada dengan Tauhid, peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan, mengatakan, tanpa penjelasan lebih detail dan transparan tentang kapan BI bisa membeli SBN di pasar perdana, pasal tersebut berpotensi disalahgunakan dan mengganggu independensi BI.
”Ketentuan ini dapat menjadikan BI sebagai ’sapi perah’ pembangunan dan sumber pembiayaan politik anggaran pemerintah yang memaksa BI untuk mencetak uang lebih banyak tanpa memikirkan keberlanjutan stabilitas perekonomian seperti inflasi tinggi dan krisis beban utang negara yang meningkat,” ujar Deni.
Menanggapi RUU P2SK yang sedang dibahas di DPR, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, Bank Indonesia terus berkoordinasi dengan pemerintah. Tanggapan sikap dari BI sudah dimasukkan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diserahkan pemerintah kepada DPR.
Terkait dengan beberapa pasal yang menjadi sorotan publik, misalnya terkait tugas BI untuk membeli SBN di pasar perdana untuk mendukung pelaksanaan kewenangan KSSK dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan, Perry menegaskan, fungsi tersebut seharusnya hanya dijalani BI di saat kondisi darurat, seperti saat pandemi Covid-19 lalu.
”Kolaborasi koordinasi fiskal moneter melalui pembelian SBN secara langsung itu, kan, dasarnya adalah kondisi darurat, seperti waktu pandemi. Keharusan itu akan berakhir akhir tahun ini. Dengan demikian, seharusnya wajar ketika krisisnya sudah tidak ada, itu tidak perlu ada lagi,” kata Perry.