Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target emisi nol bersih pada 2060 atau bahkan lebih cepat. Upaya itu perlu ditindaklanjuti pemangku kepentingan dalam menekan emisi karbon.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
SEKAR GANDHAWANGI UNTUK KOMPAS
Eksterior gedung Sinar Mas Land Plaza yang menerapkan konsep bangunan hijau di Tangerang. Bangunan ini mendapat penghargaan ASEAN Energy Award pada 2014. Foto diambil pada Rabu (25/7/02018).
JAKARTA, KOMPAS — Sektor properti diperkirakan menyumbang sekitar 40 persen dari emisi karbon global. Korporasi di sektor properti dinilai perlu menerapkan perencanaan strategis dalam upaya mengurangi emisi karbon.
Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai target emisi nol bersih pada 2060 atau bahkan lebih cepat. Upaya itu perlu ditindaklanjuti pemangku kepentingan dalam menekan emisi karbon.
CEO Indonesia Property Watch Ali Tranghanda menilai, permintaan pasar akan bangunan hijau semakin berkembang, terutama properti segmen menengah ke atas. Tren permintaan pasar ini tidak hanya untuk gedung perkantoran dan apartemen, tetapi juga hunian tapak. Pengembang harus siap menyesuaikan proyek properti dengan tren permintaan pasar.
“Termasuk, bertambahnya investasi yang dikeluarkan pengembang,” katanya, saat dihubungi, Jumat (11/11/2022), di Jakarta.
Country Head JLL Indonesia James Allan, dalam siaran pers, mengemukakan, properti adalah salah satu sektor penyumbang emisi karbon tertinggi. Salah satu inisiatif yang dapat dilakukan korporasi adalah mengurangi emisi karbon di sektor properti, baik untuk bangunan baru maupun bangunan yang sudah ada.
“Para pemangku kepentingan, termasuk pemilik bangunan, perlu menyeimbangkan upaya dari bangunan baru hingga renovasi perbaikan, karena bangunan baru saja tidak cukup membantu Indonesia dalam mencapai target nol karbon,” ujarnya.
Dalam laporan terbaru JLL bertajuk “Indonesia’s journey towards sustainable real estate”, Jakarta diharapkan mengambil langkah terdepan melalui Jakarta 30:30 Commitment. Ini sejalan dengan posisi Jakarta yang menjadi kota yang lebih sehat, sejalan dengan perbaikan infrastruktur.
Sementara itu, menurut Head of Research, JLL Indonesia Yunus Karim, hingga triwulan II-2022, terdapat sekitar 1,9 juta meter persegi area gedung perkantoran hijau (green office) di Jakarta. Sejumlah 42 persen diantaranya merupakan gedung perkantoran grade A yang telah memperoleh sertifikasi hijau.
Permintaan akan gedung dengan konsep berkelanjutan sudah menjadi tren global. “Dengan arahan pemerintah untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia, diharapkan para pemilik gedung, baik gedung baru maupun lama, akan berupaya menerapkan konsep bangunan hijau,” kata Yunus.
Energy and Sustainability Lead, JLL Indonesia, Prisca Winata, menambahkan, perbaikan bangunan tua yang belum memenuhi aspek keberlanjutan sangat penting untuk memenuhi permintaan pasar dan dapat menghindari penurunan nilai bangunan di masa mendatang. ”Bangunan yang hemat energi berpotensi dapat menghemat biaya operasional yang cukup signifikan,” katanya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Petugas satuan pengamanan berjaga di pintu masuk proyek pembangunan sebuah apartemen baru di kawasan Cilandak Timur, Jakarta, Jumat (28/10/2022).
Mengutip data Green Building Council Indonesia (GBCI), implementasi gedung hijau di Jakarta per Mei 2016 sebesar 15 juta meter persegi telah mampu menghasilkan penghematan energi 853.914 megawatt jam (MWh) setiap tahun. Selain itu, timbul penghematan biaya operasional sekitar 68,31 juta dollar AS per tahun, serta pengurangan emisi karbon sebesar 605.425 ton per tahun.
Ali menilai, pengembang yang menggarap properti hijau bakal mengeluarkan biaya lebih besar di awal. Oleh karena itu, diperlukan kejelasan kriteria yang jelas terkait konsep bangunan hijau, terutama untuk hunian tapak. Disamping itu, insentif bagi pengembang untuk bisa mendorong implementasi konsep bangunan hijau secara lebih luas.
“Tanpa insentif, banyak pengembang rumah tapak tidak tertarik (bangunan hijau). Yang dipentingkan mereka bisa jualan,” katanya.