Indonesia Miliki Pondasi Kuat Hadapi Tantangan Resesi Global
Ekonomi Indonesia tidak akan terpuruk akibat resesi global lantaran neraca perdagangan yang surplus. Neraca perdagangan yang cenderung surplus dinilai berdampak positif pada peningkatan ekonomi.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·4 menit baca
AYU OCTAVI ANJANI
Konferensi pers Economic Outlook & Pemaparan Kinerja Keuangan Citibank Indonesia Triwulan III-2022 di Hotel Alila SCBD, Jakarta Selatan, Kamis (10/11/2022).
JAKARTA, KOMPAS - Indonesia dinilai memiliki pondasi yang cukup kuat dan memadai untuk menghadapi tantangan resesi global. Pondasi itu datang dari tingginya harga komoditas batubara yang berdampak pada neraca perdagangan yang surplus.
”Keadaan ekonomi Indonesia dan dunia memang tidak akan sepenuhnya stabil karena akan menghadapi berbagai tantangan, yakni resesi global itu sendiri, kenaikkan biaya perusahaan seluruh dunia, serta penurunan penanaman modal langsung. Namun, saya cukup optimis Indonesia mampu menghadapi resesi pada 2023 salah satunya dari kontribusi tingginya harga komoditas batubara yang berdampak pada surplusnya neraca perdagangan,” kata Ekonom Citibank Indonesia Helmi Arman dalam konferensi pers Economic Outlook & Pemaparan Kinerja Keuangan Citibank Indonesia Triwulan III-2022 di Jakarta Selatan, Kamis (10/11/2022).
Helmi memperkirakan resesi global terjadi bergilir mulai dari negara-negara maju. Menurut dia, negara-negara di Eropa akan mengalami resesi terlebih dahulu, bahkan mulai akhir tahun 2022. Hal ini disebabkan oleh tingginya inflasi dan ketegangan geopolitik yang sedang melanda Eropa.
Amerika Serikat juga diperkirakan akan mengalami gejolak resesi, setelah Eropa di semester II-2023, sebagai dampak dari pengetatan moneter. Adapun suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat diperkirakan meningkat menjadi 5,5 persen pada Mei 2023.
”Selain gejolak resesi yang merambat, tantangan lain yang dihadapi ialah naiknya biaya dana perusahaan di seluruh dunia. Saat ini biaya dana perusahaan semakin mahal dan sulit,” ucap Helmi.
AYU OCTAVI ANJANI
Sesi tanya jawab dengan awak media terkait resesi global saat konferensi pers Economic Outlook & Pemaparan Kinerja Keuangan Citibank Indonesia Triwulan III-2022 di Hotel Alila SCBD, Jakarta Selatan, Kamis (10/11/2022).
Suku bunga acuan yang semakin tinggi, membuat pemilik dollar AS cukup menaruh uang mereka ke instrumen jangka pendek di Amerika Serikat. Mereka mendapatkan imbalan yang cukup menguntungkan, sehingga tidak perlu repot membeli obligasi di pasar negara berkembang (emerging market/EM) saat suku bunga Amerika Serikat sangat rendah, hingga mendekati nol persen.
Meskipun begitu, Indonesia memiliki pondasi cukup kuat untuk menghadapi tantangan tersebut, sebab kenaikan suku bunga acuan di luar negeri masih relatif terukur. Kenaikkan suku bunga perbankan deposito dollar AS pada dua bulan terakhir mengharuskan Bank Indonesia (BI) mengendalikan gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dengan menaikkan suku bunga acuan dari sebelumnya 3,5 persen menjadi 4,7 persen.
Selain itu, penurunan penanaman modal langsung sudah mulai terjadi pada triwulan II-2022. Penurunan signifikan terjadi di Eropa, sedangkan Asia juga ikut melemah, namun masih terkendali dibandingkan dengan Eropa.
Country Head of Corporate Affairs Citibank Indonesia Puni Ayu Anjungsari menambahkan, Indonesia tidak akan terpuruk dalam menghadapi gejolak resesi global pada 2023. Salah satunya dapat dilihat dari kenaikan tingkat inflasi di Indonesia yang relatif terukur dan rendah dibandingkan dengan negara lain.
”Saya rasa Indonesia tidak akan terpuruk dan tetap dapat bermanuver di 2023 nanti,” ucapnya.
Adapun Helmi Arman, mengatakan, sudah dua bulan sejak kenaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada awal September 2022. Dampak lanjutan terhadap inflasi dinilai lebih kecil dibandingkan dampak kenaikan harga BBM pada tahun 2013 dan 2014.
”Menurut saya, dampak lanjutan dari naiknya harga BBM pada awal September 2022, relatif kecil. Karena dampaknya yang tidak besar, perkiraan saya awal tahun ini tingkat inflasi akan menjadi 6,5 persen, kemudian diperkirakan turun menjadi 6 persen,” ucap Helmi.
Indonesia juga memiliki pondasi yang kuat di bidang ekspor. Porsi komoditas mentah untuk ekspor Indonesia masih cukup besar, salah satunya batubara. Meskipun harga batu bara menurun di bulan ini, namun penurunan itu terhitung tipis.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), harga batubara acuan (HBA) pada November 2022 dipatok sebesar 308,2 dollar AS per ton. Nilai tersebut turun 7,39 persen atau 22,77 dollar AS per ton dari bulan sebelumnya sebesar 330,97 dollar AS per ton.
Helmi mengatakan, masih tingginya harga batubara diperkiraan mengacu pada ketatnya suplai gas di Eropa. Hal itu membuat banyak negara berpindah dari energi gas ke batubara, sehingga menahan harga batu bara dunia tetap tinggi.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menambahkan, selain faktor harga batubara, Indonesia juga tidak akan terpuruk akibat resesi global lantaran neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus. Neraca perdagangan yang cenderung surplus dinilai berdampak pada peningkatan ekonomi.
”Neraca perdagangan Indonesia meningkat selama tiga tahun terakhir ini. Surplusnya neraca perdagangan mampu menstabilkan penawaran dan permintaan valuta asing di dalam negeri,” ucapnya saat dihubungi, Kamis.