Kolaborasi Lintas Batas Teknologi Finansial
Singapura menjadi negara terdepan dalam perkembangan teknologi finansial dan perbankan digital. Pada 2019, nvestasi tekfin di Singapura mencapai mencapai 3,9 miliar dollar AS. Indonesia pun berpeluang berkembang.

Suasana hari kedua Singapore Fintech Festival di Singapore Expo, Singapura, Kamis (3/11/2022). Pada acara yang dihelat Monetary Authority of Singapore (MAS) 2-4 November 2022 tersebut, terdapat sejumlah diskusi serta pameran yang diikuti berbagai perusahaan terkait dengan teknologi finansial (tekfin). Direktur Utama Bank Jago, Tbk Kharim Siregar menjadi salah satu pembicara dalam diskusi dengan topik "Driving New Digital Bank Profitability".
Ekosistem digital yang tumbuh dari kolaborasi, menjadi esensi penting dalam pengembangan layanan teknologi finansial. Dengan basis teknologi dan investasi yang kuat, Singapura menjadi kiblat perkembangan industri itu di Asia Tenggara, bahkan global. Di sisi lain, pasar yang kian terbentuk di Indonesia menjadi potensi besar untuk terus berkembang.
Dewasa ini, pola interaksi antarmanusia semakin melekat dengan digitalisasi, termasuk dalam layanan keuangan. Teknologi dan inovasi semakin memainkan peran, misalnya dalam transformasi digital perbankan yang semakin memudahkan. Teknologi pun menjadi salah satu pendorong utama untuk menjadi lebih produktif.
Antusiasme akan perkembangan teknologi finansial (tekfin) tampak pada hari kedua ajang Singapore Fintech Festival (SFF) 2022, Kamis (3/11/2022). Ribuan orang memadati Singapore Expo seluas 60.000 meter persegi. Sebagian pengunjung mendatangi booth-booth untuk bertanya hingga berdiskusi tentang teknologi apa yang ditawarkan perusahaan.
Sementara itu, di sejumlah sudut hall pameran, ratusan orang dengan saksama menyimak diskusi dengan berbagai topik. Mulai dari peluang dan tantangan tekfin; transformasi keuangan digital; environmental, social and governance (ESG) finance; profitabilitas bank digital; aset kripto, hingga pendanaan perubahan iklim.
Sejumlah perusahaan terkait dengan tekfin serta perbankan hadir sebagai peserta untuk memamerkan teknologi dan layanan mereka. Baik perusahaan top, menengah, maupun rintisan. Salah satunya ITRS, berbasis di Inggris, yang menyediakan layanan monitoring dan analisis teknologi informasi (TI) hingga meningkatkan performa aplikasi, termasuk dalam digitalisasi perbankan.
Baca juga: OJK Percepat Reformasi Industri Keuangan Nonbank
“Selama 25 tahun hadir, kami melayani lebih dari 1.000 klien dari berbagai belahan dunia dan mayoritas perbankan. Kami membantu memastikan performa aplikasi optimal dan sehatnya infrastruktur bank. Tekfin ini sangatlah luas dan lima tahun ke depan, saya pikir teknologi akan terus berkembang. Ekosistem ini akan terus tumbuh,” ujar Sales Engineering Manager ITRS Asia Pte Ltd, Anil Krishna Varikuti.

SFF 2022, yang diselenggarakan Rabu-Jumat (2-4/11), menghadirkan diskusi dengan lebih dari 850 pembicara serta pameran yang diikuti oleh lebih dari 500 peserta pameran. Turut serta yakni 52 persen dari top 50 perusahaan layanan finansial di dunia dan 48 persen dari top 50 bank global di dunia. Acara itu pun diikuti lebih dari 60.000 pengunjung.
Managing Director, Monetary Authority of Singapore (MAS) Ravi Menon menuturkan, perkembangan tekfin di Singapura terus mendorong adanya batas-batas baru. Kolaborasi, antara pelaku usaha, lembaga keuangan, usaha rintisan tekfin, bahkan hingga bank sentral, terus meningkat dan berkembang pesat. Kolaborasi menjadi salah satu kunci perkembangan.
Pada 2021, investasi tekfin di Singapura mencapai 3,9 miliar dollar AS atau jauh meningkat dibandingkan 2019 yang 900 juta dollar AS. Menurut Menon, yang terus pacu dalam kolaborasi tekfin yakni terkait instant remittance, programmable money, atomic settlement, tokenised assets, dan trusted sustainability data.
“Esensi penting untuk mencapai apa yang diinginkan adalah kolaborasi. Baik di antara sektor publik dan privat, maupun antara lembaga keuangan yang ada dan perusahaan tekfin yang tengah berkembang. Kolaborasi lintas batas,” ujar Menon.
Dalam helatan itu, Direktur Utama Bank Jago Tbk Kharim Siregar, menjadi perwakilan dari Indonesia sebagai pembicara diskusi bertema “Driving New Digital Bank Profitability” di SFF 2022, Kamis (3/11). Menurut dia, Asia Tenggara, dengan populasi sekitar 600 juta jiwa, menjadi pasar potensial terus berkembangnya tekfin dan bank digital. Dari sisi demografi, mayoritas penduduk di kawasan ini adalah anak muda yang digital savvy (melek teknologi). SFF pun kerap menjadi rujukan dari perkembangan tekfin dan layanan keuangan digital di tingkat global.
Baca juga: OJK Atur Bunga Tekfin Pinjaman
“Ada bermacam solusi yang ditawarkan (terkait bank digital) di SFF ini. Ada digital onboarding, penguatan keamanan, data, dan lainnya. Terlihat bahwa teknologi selalu lebih cepat dari yang dibtuhkan, dan akan seterusnya seperti itu,” ucap Kharim.
Adapun Bank Jago merupakan bank digital berbasis teknologi dengan sistem kemitraan dalam penyaluran kredit. Hingga triwulan III-2022, tercatat pertumbuhan penyaluran kredit dan pembiayaan syariah sebesar 119 persen secara tahunan atau Rp 8,16 triliun. Kolaborasi telah dilakukan dengan 32 mitra pembiayaan (lending partner).

Suasana hari kedua Singapore Fintech Festival di Singapore Expo, Singapura, Kamis (3/11/2022). Pada acara yang dihelat Monetary Authority of Singapore (MAS) 2-4 November 2022 tersebut, terdapat sejumlah diskusi serta pameran yang diikuti berbagai perusahaan terkait dengan teknologi finansial (tekfin). Direktur Utama Bank Jago, Tbk Kharim Siregar menjadi salah satu pembicara dalam diskusi dengan topik "Driving New Digital Bank Profitability".
Dari ajang SFF 2022, Kharim pun melihat masih ada sejumlah celah pengembangan dalam model bisnis yang dikembangkan Bank Jago, salah satunya terkait keamanan.
“Kami akan melihat kembali. Namun yang jelas, ke depan, kami yakin dengan ekosistem digital ini. Di sisi lain, fundamental kami juga harus terus kuat,” katanya.
Migrasi
Terpisah, Head of Center, Center of Innovation and Digital Economy, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda, menilai, perkembangan bank digital dan tekfin di Indonesia berkaitan dengan semakin banyaknya warga yang bermigrasi dari aktivitas luring ke daring, termasuk dalam layanan keuangan. Semain banyak pengguna online banking.
Menurut Huda, tren tersebut akan semakin meningkat. “Terlebih, didominasi gen Z atau milenial yang sangat cepat dalam mengadaptasi teknologi. Jadi, masih banyak peluang yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku bank digital. Bahkan, bank-bank konvensional juga ikut bikin bank digital. Ada juga bank digital yang mengakuisisi bank kecil untuk menjadi digital,” ujar Huda.
Indonesia, imbuh Huda, memiliki pasar yang sangat luas dan semakin bertambahnya kelompok milenial dan gen Z. Akan tetapi, tidak dipungkiri bahwa dari sisi penggunaan dan investasi, Singapura lebih maju. Itu juga dipengaruhi tingginya pemanfaatan digital di Negeri Singa tersebut. Mayoritas warga Singapura tak gagap teknologi dan sudah memiliki sistem perbankan yang mapan.
Integrasi dalam hal teknologi informasi komunikasi pun sudah jauh lebih maju. Begitu juga dalam hal kesadaran (melek) dalam hal finansial. Di Asia Tenggara, Singapura yang terdepan dan Indonesia bisa dikatakan berada di urutan setelahnya.
“Pasar di Indonesia sangat luas, tetapi untuk menarik investor, Singapura menjadi nomor satu. Akan tetapi, ke depan tidak ada yang tahu saat pangsa pasar yang sudah terbangun (di Indonesia) mampu menarik investor ke dalam negeri,” kata Huda.
Di samping pengembangan industri tersebut di dalam negeri, integrasi layanan antarnegara di Asia Tenggara juga akan menjadi hal positif. Hal itu tak terlepas dari semakin banyaknya pelancong ke Indonesia, Singapura, dan Thailand, maupun sebaliknya, yang membutuhkan layanan keuangan terintegrasi. Dengan demikian, transaksi dapat lebih efisien.
Baca juga: Ekonomi dan Keuangan Digital Indonesia Diprediksi Semakin Cerah
“Di Asia Tenggara sendiri, adopsi teknologi cukup tinggi. Hampir 80 persen menggunakan e-commerse. Dapat dikatakan, di tingkat ASEAN, Singapura, Malaysia, dan Indonesia menjadi lokomotif ekonomi digital,” jelas Huda.

Tahap matang
Khusus mengenai tekfin, kata Huda, sejauh ini yang matang ialah peer to peer lending dan payment (sistem pembayaran). Sementara yang lain, seperti security crowd funding, scoring, dan robo advisor, masih dalam tahap pengembangan. Peer to peer lending sendiri jumlah pemainnya sudah berkurang akibat seleksi alam.
“Kalau kita lihat, pada awal tahun 2020, ada 164 pemain dalam peer to peer lending. Namun, per Juli atau Agustus 2022, hanya ada 102 pemain. Artinya, berkurang cukup signfikan. Hal seperti ini terjadi saat pasar sudah matang. Siapa yang tidak mampu bersaing dengan yang lain, maka akan keluar. Ada sejumlah tekfin bangkrut dan diakuisisi tekfin lainnya,” kata dia.
Di tengah perkembangan saat ini, kolaborasi, termasuk antara bank digital dengan tekfin, misalnya terkait sistem pembayaran, tidak terhindarkan. Semua berkait dengan ekosistem. Ekosistem yang kuat akan menang. Kolaborasi tersebut tak terlepas dari kian banyaknya pemain digital. “Ekosistem yang akan menjadi penentu, termasuk di sistem keuangan,” ucapnya.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky menambahkan, performa bank digital di Indonesia saat ini cukup baik karena biaya operasional yang jauh lebih rendah ketimbang bank konvenasional. Apalagi, pandemi Covid-19 telah mempercepat digitalisasi.
Akan tetapi, yang perlu diperhatikan ke depan yakni terkait reputasi. “Saat performa menurun, kemudian bisa muncul bank lain sebagai kompetitor. Pada akhirnya nanti akan terlihat siapa yang memimpin pasar. Namun, dengan tingkat digitalisasi yang cepat, ini menjadi potensi untuk terus tumbuh di pasar domestik. Daya saing juga bisa terus tumbuh,” ujar Riefky.
Yang juga nanti perlu diperhatikan, imbuh Riefky, yakni sisi regulasi yang harus mampu mengejar perkembangan bank digital. Menurutnya, bank digital dan tekfin relatif masih banyak berada di dalam sandbox, oleh karena itu penting dalam menjaga efisiensi pasar. Pertumbuhan akan terus terjadi, tetapi dengan catatan jangan sampai menambah risiko.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Amin Nurdin mengemukakan, ia sependapat dengan pandangan yang menyebut bahwa perkembangan bank digital bakal berlaku seleksi alam. Pada akhirnya, hanya 1-2 bank yang akan bertahan. Dalam laporan keuangan perusahaan terakhir, misalnya, hanya 1-2 bank yang sudah membukukan untung atau laba.
“Meskipun kapitalisasi mereka lebih tinggi, tetapi belum mencetak laba. Ini akan menjadi tantangan berat ke depan. Apalagi, mereka mengandalkan suku bunga tinggi untuk mendapatkan itu. Sementara suku bunga Bank Indonesia sudah dipaksa naik, sehingga mereka otomatis harus menaikkan juga (suku bunga kredit). Ini akan membuat (bisnis) terasa lebih berat,” ucap Amin.
Namun demikian, secara keseluruhan, Amin menilai bank digital sudah cukup baik, seperti dalam hal infrastruktur dan prosedur operasi standar (SOP). Namun, ke depan yang perlu diperhatikan, antara lain dengan meninjau ulang standar untuk kredit dan risiko agar kualitas kredit terjaga. Juga, review mitra bisnis (dalam kemitraan), agar jangan sampai terjeblos.