Gerakan dekarbonisasi industri menjadi upaya menyelamatkan industri serta perekonomian Indonesia dari ancaman kebangkrutan. Jangan sampai, gerakan tersebut dianggap sekadar tren global.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan iklim menjadi ancaman nyata bagi industri-industri di Indonesia yang masih bergantung pada energi fosil sebagai sumber pasokan energinya. Oleh karena itu, gerakan menekan emisi karbon bukanlah tren, melainkan sesuatu yang mendesak dilakukan karena prosesnya yang panjang. Apabila tidak segera dilakukan, perekonomian nasional menjadi pertaruhan.
Ketua Komite Tetap Energi Terbarukan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sekaligus Koordinator Kadin Net Zero Hub Muhammad Yusrizki saat dihubungi, Rabu (9/11/2022), mengatakan, perubahan iklim menjadi risiko bisnis yang nyata. Terutama bagi mereka yang sudah go global, ekspor, dan menjadi bagian dari rantai pasok global. Mereka telah mendapat ancaman, antara lain dari prinsipal, pembeli, dan krediturnya.
“Industri tekstil-garmen misalnya, dengan 3-4 juta pekerja dengan (nilai) ekspor 13 miliar dollar AS per tahun. Kalau sampai kehilangan order karena tak mampu memenuhi target pengurangan emisi yang dituntut, order akan dipindah ke negara-negara lain,” ujar Yusrizki.
Gerakan dekarbonisasi industri, lanjut Yusrizki, juga menjadi upaya menyelamatkan industri serta perekonomian Indonesia dari ancaman kebangkrutan. Jangan sampai gerakan tersebut dianggap sekadar tren global belaka.
Kadin Net Zero Hub pun menjadi upaya dalam mendorong sektor swasta menjadi perusahaan emisi nol bersih (NZE), selambatnya di tahun 2060, sejalan dengan target NZE Indonesia. Yusrizki menekankan, dalam Kadin Net Zero Hub, prinsip yang dijalankan ialah Science Based Targets initiatives (SBTi). Artinya perencanaannya harus sesuai dengan kaidah internasional.
“Harus ada kredibilitas dalam menghitung emisi dan merencanakan penurunannya hingga mencapai NZE. Perencanaannya butuh waktu 8-16 minggu. Itu yang kami bantu, pro bono. Setelah itu, mereka menyurati SBTi, berwenang untuk memvalidasi atau verifikasi rencana-rencana itu. Setelah bersurat itu, (perusahaan) kami anggap lulus dari Kadin Net Zero Hub,” katanya.
Validasi itu, imbuh Yusrizki memakan waktu 24 bulan (baru eksekusi). “Jadi, ini adalah perjalanan panjang, bukan sekadar 1-5 tahun, tetapi puluhan tahun ke depan. Kami menemani mereka memulai perjalanan. Saat ini ada 60 perusahaan (tergabung di Kadin Net Zero Hub). Tahun depan belum tahu. Mereka sudah berbondong-bondong (hendak ikut), karena ancaman ini nyata,” lanjutnya.
Kadin mencatat, dari total konsumsi energi pada industri yang dipasok dari kelistrikan sebesar 23 persen. Sementara itu, sisanya dipenuhi energi fosil secara langsung, seperti batubara, gas, bahan bakar minyak, dan elpiji. Seiring pertumbuhan ekonomi, permintaan energi pasti akan meningkat dan yang menjadi tantangan ialah dekarbonisasinya.
Energi terbarukan
Yusrizki menuturkan, industri yang sebagian besar atau sepenuhnya mengonsumsi listrik, misalnya pusat data dan footwear, terus diupayakan agar mendapat pasokan dari energi terbarukan. Sebab, saat ini, yang mayoritas mendapat pasokan dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), kandungan emisi dalam grid hampir 800 gram per kilowatt jam (KWh), yang juga salah satu tertinggi di dunia.
Hal itu pun menjadi catatan bersama Kadin dan RE100 Climate Group. “Jadi, kalau Indonesia mau menarik investasi di sektor tadi (kelistrikan), maka perlu membuka struktur pasarnya, dengan memberi ruang agar procurement (pembelian) energi terbarukan yang lebih beragam,” tuturnya.
Ia mencontohkan, perusahaan bisa melakukan dengan model direct investment. Artinya, perusahaan membuat sendiri sumber energi dari energi terbarukan. Misalnya, membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untuk dikonsumsi sendiri. Artinya, perusahaan tinggal membayar toll fee kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), karena tetap menggunakan jaringan milik PLN.
Adapun yang diperjuangkan Kadin dan RE100 Climate Group, kata Yusrizki, ialah model procurement dengan green tariff (tarif hijau). Misalnya, ada (badan usaha) energi terbarukan di Jawa Timur. Listrik yang dihasilkan lalu diserap oleh perusahaan atau pabrik di Jawa Barat. Perusahaan pun tinggal membayar toll fee kepada PLN karena pakai jaringan mereka.
“Di atas itu, silakan PLN meminta margin, tidak apa-apa. Itulah tarif hijau yang kami perjuangkan, agar kelistrikan juga bisa membantu industri dalam penurunan emisi. Dengan demikian, akan ada banyak industri yang terselamatkan, tanpa harus masuk dalam dinamika supply-demand dalam sistem kelistrikan, yang saat ini katanya sedang kelebihan pasokan,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, dalam diskusi “Menuju G20 Summit: Sudah Tepatkah Aksi Iklim G20?” secara daring, Rabu, menuturkan, ada pekerjaan rumah bagi negara-negara anggota G20 untuk semakin membatasi kenaikan rata-rata suhu global. Indonesia sebagai Presidensi G20 tahun ini bisa menyerukannya.
“Kuncinya ada dua. Pertama, kita harus segera mengurangi PLTU batubara dan memiliki rencana melakukan phase out PLTU, dan ini (pengakhiran dini PLTU) harus sudah tuntas sebelum 2040. Kedua, mempercepat peningkatan energi terbarukan untuk menggantikan energi fosil dan mendorong efisiensi energi,” ucap Fabby.
Tidak kalah penting, lanjut Fabby, ialah agar negara-negara anggota G20 secara kolektif memangkas subsidi energi fosil. Di Indonesia, meski harga energi tak bergejolak signifikan seperti di Eropa dan Inggris, nilai subsidi bahan bakar minyak (BBM) sangatlah tinggi. Tahun ini, subsidi BBM telah meningkat hingga Rp 650 triliun, seperti yang disampaikan Kementerian Keuangan.