Apabila RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan disahkan sebelum KTT G20 di Bali, Indonesia dinilai mampu menunjukkan komitmen yang kuat terkait transisi energi di mata dunia. Komitmen pemerintah ditunggu.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat masih menunggu pemerintah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah Rancangan Undang-Undang atau RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan untuk segera dibahas. Target disahkannya RUU itu menjadi UU sebelum Konferensi Tingkat Tinggi G20, 15-16 November 2022 ,pun terancam meleset.
Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno, saat dihubungi Minggu (6/11/2022), di Jakarta, mengatakan, pihaknya sudah menerima Surat Presiden (Surpres) yang menginstruksikan untuk dilakukannya pembahasan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). Namun, Daftar Inventaris Masalah (DIM) belum diterima.
"Biasanya Surpres itu disertai dengan DIM, tapi sampai sekarang DIM-nya belum kami terima. Saat sudah menerima DIM, nanti tim yang dibentuk pemerintah akan duduk bersama dengan tim dari DPR untuk mengurai satu per satu DIM itu. Intinya, kami masih menunggu," ujar Eddy.
Sebelumnya, DPR menargetkan RUU EBET dapat disahkan sebelum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, 15-16 November 2022. Hal itu bakal menegaskan komitmen Indonesia akan transisi energi yang terus menggaung di tingkat global. Apalagi, transisi energi berkelanjutan juga menjadi satu dari tiga isu utama dalam G20 Presidensi Indonesia tahun ini.
Menurut Eddy, pihaknya tidak bisa memastikan kapan pembahasan RUU EBET itu bisa dimulai, juga terkait kepastian sudah disahkan sebelum KTT G20. "Terus terang, DIM di luar kontrol kami. Namun, kalau memang sudah diserahkan (pemerintah kepada DPR) lalu dibahas, jika dipercepat, saya pikir dalam 1-2 pekan bisa selesai," ucapnya.
Eddy menuturkan, RUU tersebut akan memberi panduan dan aturan terkait pengembangan energi baru dan energi terbarukan secara lebih cepat dan lebih mudah. Juga, memfasilitasi mereka yang berniat masuk ke sektor tersebut. DPR tak menutup diri bahwa tak hanya energi terbarukan yang diatur, tetapi energi baru, termasuk nuklir.
Ia juga menekankan bahwa tak sekadar disahkan, tetapi yang terpenting adalah peraturan turunan dari UU itu (jika sudah disahkan). "Lebih cepat kita membahas RUU EBET itu, lebih cepat juga peraturan turunannya bisa dilahirkan. Sebab, itu yang dibutuhkan para pemangku kepentingan untuk menentukan arah pengembangannya ke depan," kata Eddy.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana, saat dikonfirmasi lewat pesan singkat mengenai target penyerahan DIM kepada DPR serta kendala yang dihadapi, hingga Minggu malam, belum merespons.
Dikutip dari laman Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Jumat (4/11/2022), Dadan menilai RUU EBET disusun sebagai kebutuhan mendesak. Pasalnya, diperlukan kerangka regulasi yang komprehensif demi terjaganya ekosistem investasi energi terbarukan yang kondusif, adil, dan berkelanjutan. Dengan demikian, energi baru terbarukan dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Ia menambahkan, dengan potensi energi terbarukan yang melimpah dan beragam di Indonesia, saat ini baru termanfaatkan 0,3 persen atau sekitar 12,4 gigawatt (GW). Pemerintah pun harus bertindak dengan strategi taktis guna mencapai target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025.
Butuh penyesuaian
Pakar hukum sumber daya alam Universitas Tarumanegara Ahmad Redi, mengatakan, UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi telah menurunkan banyak peraturan pelaksanaan, seperti Peraturan Pemerintah (PP) terkait kebijakan energi nasional dan peraturan presiden tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Oleh karena itu, saat RUU EBET disahkan, kebijakan-kebijakan yang sebelumnya lahir berpotensi disesuaikan.
RUU EBET, imbuh Redi, akan menunjukkan komitmen Indonesia jika sudah disahkan sebelum KTT G20. "Sebab, ini menjadi isu global yang cukup penting. Salah satu komitmen terhadap transisi energi adalah lengkapnya infrastruktur hukum yang mengaturnya. Saya pikir perlu segera diketok. Memang dari penyusunan DIM kan butuh proses yang lumayan panjang, tetapi bisa sambil jalan dan nanti dilengkapi di peraturan pelaksanaannya," katanya.
Ketua Program Studi Magister Energi Sekolah Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, Jaka Windarta, menilai, pembahasan RUU EBET akan membutuhkan waktu. Terlebih ada pro dan kontra terkait nuklir yang dimasukkan sebagai energi baru. Menurutnya, hal itu bisa sebagai pembuka jalan, tetapi harus disesuaikan dengan kebijakan-kebijakan yang sudah ada agar tak rancu.
"Jangan sampai ada dua regulasi yang bertentangan. Yang penting, pemerintah dan DPR perlu lebih terbuka terkait apa yang tertuang dalam RUU tersebut. DIM-nya misalnya, dibuka saja. Bagaimana nanti misalnya, tindaklanjutnya dan dampaknya," ucap Jaka.