Tekan Angka Perokok Anak, Cukai Rokok Naik 10 Persen Tahun Depan
Instrumen cukai disusun dengan mempertimbangkan sejumlah aspek dari tenaga kerja pertanian hingga industri rokok.Pemerintah juga memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memutuskan untuk menaikkan cukai hasil tembakau untuk rokok rata-rata sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024. Selain menurunkan angka perokok aktif di usia anak-anak, kenaikan cukai juga ditetapkan untuk menekan konsumsi rokok yang kini menjadi konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras.
Kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) untuk rokok ini diputuskan dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Kamis (3/11/2022). ”Seperti diketahui bahwa penetapan cukai hasil tembakau ditetapkan setiap tahun dan di dalam Undang-Undang APBN Tahun 2023 telah ditetapkan juga mengenai target pendapatannya,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati seusai rapat terbatas.
Sri Mulyani memaparkan, kenaikan tarif CHT pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT) akan berbeda sesuai dengan golongannya. ”Rata-rata 10 persen, nanti akan ditunjukkan dengan SKM I dan II yang nanti rata-rata meningkat 11,5 hingga 11,75 (persen), SPM I dan SPM II naik di 12 hingga 11 persen, sedangkan SKP I, II, dan III naik 5 persen,” tuturnya.
Bukan hanya CHT, Presiden Jokowi juga meminta agar tarif cukai rokok elektrik juga dinaikkan. Sri Mulyani mengatakan, tarif cukai rokok elektrik akan dinaikkan setiap tahun selama lima tahun ke depan. ”Hari ini juga diputuskan untuk meningkatkan cukai dari rokok elektronik, yaitu rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk HPTL (hasil pengolahan tembakau lainnya). Ini berlaku, setiap tahun naik 15 persen, selama lima tahun ke depan,” tambahnya.
Dalam penetapan CHT, Menkeu mengatakan, pemerintah menyusun instrumen cukai dengan mempertimbangkan sejumlah aspek, mulai dari tenaga kerja pertanian hingga industri rokok. Pemerintah juga memperhatikan target penurunan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024.
Namun, pemerintah juga memahami bahwa industri rokok memiliki aspek tenaga kerja. Dari sisi pertanian, hasil tembakau juga harus dipertimbangkan secara proporsional. Selain itu, penetapan cukai tembakau juga perlu memperhatikan mengenai penanganan rokok ilegal yang akan semakin meningkat apabila terjadi perbedaan tarif.
Konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin, yaitu 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat perdesaan,
Pertimbangan selanjutnya, tambah Menkeu, mengenai konsumsi rokok yang menjadi konsumsi rumah tangga terbesar kedua setelah beras. Bahkan, konsumsi tersebut melebihi konsumsi protein seperti telur dan ayam serta tahu dan tempe yang merupakan makanan-makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
”Yang kedua mengingat bahwa konsumsi rokok merupakan konsumsi kedua terbesar dari rumah tangga miskin, yaitu 12,21 persen untuk masyarakat miskin perkotaan dan 11,63 persen untuk masyarakat perdesaan,” kata Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, rokok juga meningkatkan risiko stunting atau tengkes dan kematian. Lebih lanjut, Menkeu menyampaikan bahwa pemerintah memutuskan untuk menaikkan tarif cukai guna mengendalikan konsumsi dan produksi rokok.
Belum optimal
Sri Mulyani berharap kenaikan cukai rokok dapat berpengaruh terhadap menurunnya keterjangkauan rokok di masyarakat. ”Pada tahun-tahun sebelumnya, di mana kita menaikkan cukai rokok yang menyebabkan harga rokok meningkat, sehingga affordability atau keterjangkauan terhadap rokok juga akan makin menurun. Dengan demikian diharapkan konsumsinya akan menurun,” ucapnya.
Saat ini, pemerintah akan terus menggunakan instrumen cukai dalam rangka untuk bisa mengendalikan produksi. Hal ini juga sekaligus untuk meningkatkan edukasi serta sosialisasi pada masyarakat mengenai bahaya merokok.
Direktur Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda mengapresiasi keputusan pemerintah untuk menaikkan cukai rokok dan mengenakan pada semua jenis rokok. ”Karena mengingat kemungkinan masyarakat beralih ke produk lain yang lebih murah/terjangkau,” ujarnya.
Selain itu, wacana kenaikan cukai dengan jumlah yang sama selama 5 tahun ke depan memberikan kejelasan pada industri untuk mengantisipasi kenaikan akan terjadi. Namun, Olivia memberi beberapa catatan terkait kesehatan masyarakat.
Kenaikan rerata sebesar 10 persen itu masih belum optimal dan terlalu kecil untuk mengendalikan konsumsi tembakau di masyarakat. ”Kenaikan dua tahun terakhir yang sebesar 11-12 persen yang lebih tinggi saja tidak tampak menurunkan konsumsi,” tambahnya.
Pemerintah juga didorong agar proses simplifikasi tarif cukai tetap dilakukan seperti rencana. Karena dengan kenaikan tarif hanya sekitar rerata 10 persen itu, masih tersedia opsi rokok lebih murah dengan banyaknya strata tarif yang berlaku. ”Kebijakan yang setengah-setengah akan kurang efektif menurunkan konsumsi tembakau di masyarakat,” ujar Olivia.