Pelemahan Rupiah yang Lebih Dalam Perlu Diantisipasi
Bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin sehingga menjadi 3,75-4 persen. Ini bisa berdampak pada pelemahan rupiah yang lebih dalam.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Bank Indonesia perlu mengantisipasi kemungkinan terjadinya arus modal keluar dalam jumlah lebih besar yang bisa memperdalam pelemahan nilai tukar rupiah. Ancaman tersebut muncul seiring langkah bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed), yang kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin sehingga menjadi 3,75 persen-4 persen.
Mengutip pernyataan resmi The Fed yang dirilis pada Rabu (2/11/2022) waktu Washington DC, Amerika Serikat, rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang berlangsung pada 1-2 November 2022 memutuskan menaikkan Fed Fund Rate (FFR) sebesar 75 basis poin menjadi 3,75 persen–4 persen.
Ini merupakan keempat kali berturut-turut The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin. Adapun sepanjang tahun ini, The Fed telah menaikkan suku bunga total sebesar 375 basis poin. Posisi suku bunga The Fed saat ini adalah yang tertinggi sejak 2008.
The Fed menjelaskan, keputusan ini diperlukan untuk mengembalikan inflasi sesuai targetnya, yakni pada level 2 persen.
”Dalam menentukan kenaikan kisaran target suku bunga mendatang, komite akan mempertimbangkan pengetatan kebijakan moneter yang kumulatif, jeda kebijakan moneter yang memengaruhi aktivitas ekonomi dan inflasi, serta perkembangan ekonomi dan keuangan,” demikian tulis The Fed.
Dihubungi pada Kamis (3/11/2022), ekonom Bank Mandiri, Faisal Rachman, menjelaskan, kenaikan suku bunga The Fed itu sudah diduga sebelumnya. Kebijakan itu memang bertujuan untuk menurunkan inflasi di AS yang tak kunjung mereda.
Ia menambahkan, selama inflasi global tetap tinggi, secara khusus di kawasan Eropa dan AS, maka kebijakan moneter akan terus diperketat dan kenaikan suku bunga dari bank sentral akan tetap agresif.
Dampaknya di Indonesia, semakin tinggi suku bunga dinaikkan, maka hal itu akan memicu arus modal keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia secara khusus di pasar Surat Berharga Negara (SBN). ”Situasi ini akan memberi tekanan pada nilai tukar rupiah,” ujar Faisal.
Kendati demikian, masih tingginya harga komoditas dunia bisa membantu kinerja ekspor. Surplus neraca perdagangan ini bisa membantu menjaga kestabilan nilai tukar rupiah.
Untuk merespons kenaikan suku bunga The Fed, Faisal memperkirakan, Bank Indonesia (BI) juga akan menaikkan suku bunga acuannya. Dengan kenaikan suku bunga BI, imbal hasil di pasar SBN juga akan meningkat sehingga selisih dari bunga The Fed ikut kembali melebar. Harapannya, ini bisa menahan laju arus modal keluar sehingga bisa menjaga stabilitas nilai tukar.
Sampai dengan akhir tahun, ia memperkirakan tingkat suku bunga acuan BI berada di posisi 5,50 persen. Adapun nilai tukar rupiah hingga akhir tahun berada di kisaran Rp 15.080–Rp 15.186.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teuku Riefky, menuturkan, risiko arus modal keluar kemungkinan akan bertahan hingga akhir 2022 karena The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga lagi pada sisa pertemuan tahun ini.
Karena arus keluar modal, banyak mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, kehilangan nilainya terhadap dollar AS. Depresiasi diperkirakan akan berlanjut hingga akhir tahun mengikuti tren arus modal keluar.
Namun, menurut Riefky, pelemahan nilai tukar rupiah akan relatif terkendali selama BI terus melakukan langkah-langkah untuk menjaga stabilitas rupiah. Langkah-langkah itu adalah intervensi pasar valas melalui transaksi spot, domestic non-deliverable forward (DNDF), dan pembelian SBN di pasar sekunder.
Selain itu, surplus neraca perdagangan akibat lonjakan harga energi yang tidak terduga sejak awal tahun 2022 telah membantu BI tetap memiliki cadangan devisa yang cukup untuk meredam gejolak dalam waktu dekat. Sampai dengan 30 September 2022, cadangan devisa Indonesia berada pada posisi 130,78 miliar dollar AS, yang setara dengan pembiayaan 5,9 bulan impor atau 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Mengutip Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), perdagangan nilai tukar rupiah Kamis ditutup pada level Rp 15.681, melemah dibandingkan posisi Rabu yang sebesar Rp 15.652.
Sampai dengan 31 Oktober 2022, rupiah terdepresiasi 8,62 persen, relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lain, seperti India 10,20 persen, Malaysia 11,86 persen, dan Thailand 12,23 persen
Menjaga kestabilan
Dalam jumpa pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, keputusan BI menaikkan suku bunga 125 basis poin sejak Agustus 2022 menjadi 4,75 persen, salah satunya, adalah untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah.
Perry menjelaskan, BI juga memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah dengan tetap berada di pasar sebagai bagian dari upaya pengendalian inflasi, terutama inflasi impor, melalui intervensi di pasar valas serta pembelian/penjualan SBN di pasar sekunder.
”BI juga melanjutkan penjualan/pembelian SBN di pasar sekunder untuk memperkuat transmisi kenaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate dalam meningkatkan daya tarik imbal hasil SBN bagi masuknya investor portofolio asing guna memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah,” ujar Perry.
Pada kesempatan berbeda, dalam jumpa pers bulanan anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK), Ketua DK OJK Mahendra Siregar mengatakan, di tengah tingginya ketidakpastian ekonomi global akibat pengetatan kebijakan moneter bank-bank sentral di sejumlah negara dan berlanjutnya konflik geopolitik, pihaknya menilai stabilitas jasa keuangan terjaga dan kinerja intermediasi sektor jasa keuangan tetap konsisten bertumbuh seiring dengan kinerja perekonomian nasional.