Pemindahan pengawasan aset kripto ke Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia diharapkan tak menimbulkan kerancuan persepsi. Kripto tetap merupakan komoditas, bukan mata uang.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·5 menit baca
”
KOMPAS/BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Ilustrasi seorang investor jual beli aset kripto sedang memantau pergerakan harga aset kripto dari aplikasi jual beli kripto yang terpasang di ponselnya.
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau RUU P2SK menyebutkan aktivitas terkait aset kripto akan berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. Ketentuan ini mengubah pengawasan industri aset kripto yang saat ini dilakukan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Kementerian Perdagangan.
Pada RUU P2SK Bab XV tentang Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) Pasal 202 Butir h disebutkan bahwa aktivitas terkait aset kripto termasuk dalam salah satu ruang lingkup ITSK. Berikutnya, pada Pasal 205 disebutkan, ITSK wajib menyampaikan menyampaikan data dan informasi ke Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
Hal ini diperkuat pada Pasal 207 yang berbunyi BI dan OJK melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK sesuai dengan ruang lingkup kewenangannya”.
Adapun dalam Pasal 208 Ayat 1 disebutkan, ”BI dan OJK dapat berkoordinasi dan/atau bekerja sama dengan kementerian/lembaga dan atau pihak lain dalam rangka pengaturan, pengawasan, dan penyelenggaraan ITSK”.
Pasal-pasal yang diusulkan di RUU P2SK ini akan mengubah pengawasan industri aset kripto yang selama ini berada di bawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan.
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Perkembangan Industri Aset Kripto. Sumber: Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan
Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira berpendapat, pemindahan pengawasan aset kripto yang sejatinya berwujud komoditas ke OJK dan BI adalah kekeliruan. Ini mengingat OJK merupakan pengawas industri keuangan dan BI merupakan otoritas moneter. Kendati tidak ada aturan yang secara gamblang menyebutkan kripto menjadi mata uang, pemindahan pengawasan ini bisa menimbulkan kerancuan persepsi di pasar bahwa kripto akan dianggap sebagai mata uang.
”Pasar bisa memahaminya keliru. Kripto ini mau dianggap sebagai mata uang atau komoditas? Ini masalah,” ujar Bhima dalam diskusi bertajuk ”Arah Pengaturan Aset Kripto yang Ideal di Indonesia”, Jakarta, Rabu (2/11/2022).
Bhima juga menegaskan, aset kripto harus bertahan dalam kodratnya sebagai komoditas yang diperdagangkan, bukan sebagai mata uang di Indonesia. Apabila aset kripto berubah jadi mata uang, hal itu berpotensi menciptakan gejolak stabilitas keuangan. Sebab, industri aset kripto sangat fluktuatif, sedangkan mata uang menuntut kestabilan.
Ia menambahkan, rencana pemindahan pengawasan aset kripto ini juga terjadi pada saat BI tengah mengembangkan rupiah digital atau mata uang digital bank sentral (central bank digital currency/CBDC). Artinya, akan ada potensi tumpang tindih kelak antara penggunaan rupiah digital atau CBDC dan aset kripto jika menjadi mata uang.
Pasal-pasal yang diusulkan di RUU P2SK ini akan mengubah pengawasan industri aset kripto yang selama ini berada di bawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan.
Pemindahan pengawasan tersebut memperluas kewenangan pengawasan OJK, tetapi juga menambah beban OJK. Regulator keuangan itu mesti menambah kapasitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) agar bisa optimal mengawasi industri aset kripto. Lebih baik, lanjut Bhima, pengawasan industri aset kripto oleh Bappebti dioptimalkan dan diperkuat saja.
Bhima mengusulkan, Bappepti dimasukkan pada Pasal 205, 207, dan 208 RUU P2SK bersama dengan BI dan OJK dalam pengawasan ITSK. Ketiga institusi ini bisa beroperasi sesuai kewenangannya masing-masing. BI mengawasi ITSK sistem pembayaran, OJK mengawasi industri teknologi finansial, dan Bappebti mengawasi industri aset kripto.
DOK BAPPEBTI
Skema mekanisme perdagangan aset kripto melalui pasar fisik yang terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka dan Komoditi.
Pelaksana Tugas Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko mengatakan, sebagai bagian dari pemerintah, pihaknya tetap menghormati usulan pemindahan pengawasan industri aset kripto ke OJK dan BI. Ia mengatakan, pemerintah telah mengusulkan masa transisi selama 5 tahun mengenai pemindahan pengawasan industri aset kripto itu ke OJK dan BI, bila RUU itu diresmikan. Hal itu, lanjut Didid, terdapat dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) yang dikirimkan pemerintah kepada DPR mengenai RUU P2SK pada akhir Oktober lalu.
Selama lima tahun itu, Didid mengatakan, pengawasan industri aset kripto tetap akan dilakukan Bappebti sambil perlahan dilakukan transisi ke OJK dan BI. Masa peralihan itu akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Ia pun sepakat bahwa kripto tetap harus sesuai kodratnya sebagai aset atau komoditas yang diperdagangkan bukan sebagai mata uang. ”Kripto adalah aset, bukan mata uang. Itu yang harus kita sepakati bersama-sama,” ujar Didid.
Pembagian tugas
Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) Teguh Kurniawan Harmanda mengusulkan, OJK, BI, dan Bappebti berbagi peran dalam pengawasan industri ini. Ia mengatakan, OJK dan BI bisa berperan mengawasi pihak-pihak yang menerbitkan token atau aset kriptonya sendiri.
Di sini, lanjut Harmanda, OJK dan BI bisa berperan mengawasi karena pada tahap itu ada dana masyarakat yang dihimpun. Dua lembaga negara ini bisa mengawasi agar pengumpulan dana masyarakat betul-betul digunakan untuk proyek sesuai yang dijanjikan penerbit token, bukan sekadar penghimpunan dana tanpa proyek yang jelas.
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Perkembangan Nilai Transaksi Aset Kripto 2021. Sumber: Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti)
Sementara itu, pengawasan aktivitas perdagangan industri aset kripto bisa tetap dilakukan oleh Bappebti yang selama ini sudah memiliki perangkat serta regulasinya.
”Jadi, pada tahap pembentukan penerbitan token kripto bisa diawasi oleh OJK dan BI, tetapi pada tahap perdagangan bisa diawasi oleh Bappebti. Saya rasa ini bisa menjadi pembagian tugas untuk semuanya,” ujar Harmanda.
Ketua Indonesia Crypto Consumer Associaton (ICCA) Rob Rafael Kardinal menegaskan, siapa pun pengawasnya, ia berharap perlindungan konsumen di industri aset kripto ini bisa terus makin baik dan optimal.
Mengutip data Bappebti, sampai dengan Oktober 2022 telah ada 16,1 juta masyarakat Indonesia yang memiliki akun perdagangan aset kripto. Transaksi industri ini pada 2021 sekitar Rp 860 triliun. Adapun tahun ini sampai dengan September, nilai transaksi Rp 260 triliun.