Beberapa isu yang perlu diantisipasi agar presidensi G20 benar-benar berpihak pada kepentingan negara berkembang, seperti perdagangan pangan yang adil dan hilirisasi untuk memperkuat struktur ekonomi negara berkembang.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekerjaan rumah terbesar presidensi G20 tidak berhenti sampai perhelatan konferensi tingkat tinggi November mendatang, tetapi tindak lanjut lewat kebijakan yang konkret dan inklusif di dalam negeri. Di tengah pusaran kepentingan global, jangan sampai pemerintah menciptakan jebakan baru yang justru memperparah persoalan domestik.
Ekonom Senior Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Hendri Saparini, Kamis (27/10/2022), mengatakan, bekas luka (scarring effect) yang ditinggalkan oleh krisis bertubi-tubi setelah pandemi Covid-19 dan stagflasi saat ini berbeda-beda di setiap negara.
Sebagai presidensi tahun ini, Indonesia dalam posisi pelik untuk menyeimbangkan antara kepentingan pemulihan global sekaligus menyelesaikan persoalan dan bekas luka di dalam negeri. Hal itu semakin menantang mengingat forum G20 didominasi negara maju, yang kepentingannya di saat krisis ini berbeda dengan negara berkembang seperti Indonesia.
”Kita harus cerdas menerjemahkan peluang ini, tidak hanya untuk mendukung pemulihan ekonomi global, tetapi juga menyelesaikan persoalan domestik. Jangan sampai kita malah menciptakan trap (jebakan) baru dan memperparah masalah untuk kita sendiri,” kata Saparini di acara diskusi ”Indonesia’s Strategic Role in the G20: Expert Perspectives” di Jakarta.
Oleh karena itu, menurut Saparini, pekerjaan rumah terbesar pemerintah tidak berhenti sampai pada perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, November ini. Tantangan besar berikutnya terletak pada tindak lanjut pemerintah menerjemahkan komitmen yang diambil di forum tersebut menjadi kebijakan yang konkret, riil, dan inklusif di dalam negeri.
Ada beberapa isu penting yang perlu diantisipasi agar presidensi G20 benar-benar berpihak pada kepentingan negara berkembang. Pertama, isu ketahanan pangan, khususnya dalam mendorong perdagangan pangan yang lebih adil bagi negara berkembang dan mendorong kedaulatan pangan yang menyejahterakan petani.
Guru Besar IPB University Dwi Andreas Santosa mengatakan, saat ini, perdagangan pangan dunia dikuasai oleh lima perusahaan multinasional besar. Lebih dari 70 persen pangan yang diperdagangkan di dunia diproduksi oleh negara maju, sementara 90 persennya diimpor oleh negara berkembang.
”Kita harus hati-hati menyikapi isu ancaman krisis pangan global yang sering digaungkan. Itu sarat muatan kepentingan karena konteks perdagangan pangan global sangat tidak seimbang. Kalau harga pangan dunia meningkat, yang diuntungkan segelintir negara maju yang menguasai rantai pasok perdagangan pangan, yang rugi negara berkembang,” katanya.
Jangan sampai kita malah menciptakan trap (jebakan) baru dan memperparah masalah untuk kita sendiri.
Perdagangan adil
Ia mencontohkan, saat krisis pangan global tahun 2008, para pemain besar perdagangan pangan menikmati keuntungan hingga 120 persen, industri benih dan pestisida besar diuntungkan 40 persen, dan pedagang pupuk besar diuntungkan 600 persen.
Oleh karena itu, dorongan untuk menciptakan perdagangan pangan yang lebih seimbang dan adil harus menjadi prioritas Indonesia di forum G20. Implikasinya secara domestik adalah mendorong kebijakan pangan di dalam negeri supaya lebih berpihak kepada petani.
Andreas menilai, kebijakan pangan yang sejauh ini fokus pada kepentingan konsumen membuat Indonesia sangat bergantung pada impor pangan. Sebab, disparitas harga antara produk pangan impor dan domestik sangat besar.
Ia mencontohkan kebijakan pemerintah untuk tidak mengenakan tarif impor atau mengenakan tarif nyaris 0 persen (unregulated) bagi dua komoditas pangan utama seperti kedelai dan gandum. Itu membuat produk petani lokal kalah saing dengan produk impor yang lebih murah.
Di satu sisi, konsumen aman dan pemerintah senang karena inflasi pangan bisa ditekan. Namun, di sisi lain, petani terpuruk. ”Kalau mau mendorong kedaulatan pangan, kita harus berani pilih, mana yang mau kita bela? Kalau pembelaan kita ke konsumen, impor akan semakin tinggi. Saya berharap ada pernyataan pemerintah bahwa tarif impor pangan akan dinaikkan. Kalau tidak, bohong besar seluruh jargon kedaulatan pangan kita,” kata Andreas.
Dorongan untuk menciptakan perdagangan pangan yang lebih seimbang dan adil harus menjadi prioritas Indonesia di forum G20.
Hilirisasi
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal menambahkan, isu penting berikutnya adalah memperjuangkan kepentingan negara berkembang untuk mengelola sumber daya alam yang bernilai tambah lewat kebijakan hilirisasi yang selektif di tengah banjir tudingan dan gugatan proteksionisme dari negara maju.
Seperti diketahui, setelah larangan ekspor bijih nikel, Indonesia digugat di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) oleh Uni Eropa. Hal serupa dirasakan oleh negara berkembang lain di G20, seperti India dan Brasil. Agenda ini diperkirakan akan alot diperdebatkan di forum yang lebih didominasi oleh negara maju.
”Ini harus jadi aksi kolektif yang disuarakan oleh negara-negara berkembang di G20. Kita harus berkaca dari kegagalan forum G7 yang dikritik karena terlalu bias pada negara maju. Kebetulan kita sebagai negara berkembang kini menjadi presidensi G20 sehingga ada posisi tawar lebih,” katanya.
Namun, ia mengingatkan, kebijakan hilirisasi tidak bisa asal dipukul rata, tetapi harus benar-benar selektif untuk memperkuat struktur ekonomi Indonesia. ”Hilirisasi itu penting, tetapi jangan sekadar jadi tren yang diseragamkan. Lihat-lihat dulu komoditasnya, seperti apa potensi demand dan pasarnya. Nikel itu berhasil karena pasarnya jelas di tengah meningkatnya tren pemakaian kendaraan listrik,” katanya.