RI Bidik Celah Ekspor Negara-negara yang Alami Stagflasi
Masih ada celah menjaga kinerja positif ekspor ke negara-negara pasar utama Indonesia yang tengah mengalami inflasi. Sementara pemulihan ekonomi China masih berlanjut meskipun masih ada sejumlah kendala.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stagflasi tengah melanda sejumlah negara pasar ekspor tradisional Indonesia, seperti Amerika Serikat, China, dan kawasan Uni Eropa. Kendati begitu, Indonesia tetap berupaya menjaga kinerja ekspor ke dua negara dan kawasan tersebut dengan membidik sejumlah celah yang ada.
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) Kementerian Perdagangan Kasan Muhri, Rabu (26/10/2022), mengatakan, AS, China, dan kawasan UE merupakan pasar utama ekspor Indonesia. Kendati kedua negara dan kawasan itu tengah mengalami stagflasi, masih ada sejumlah celah yang bisa dibidik dan dimasuki Indonesia.
Di AS, meskipun ekonominya tengah terkontraksi, serapan tenaga kerjanya cukup tinggi. Tingkat pengangguran di AS pada September 2022 sebesar 3,5 persen atau turun dari bulan sebelumnya yang mencapai 3,7 persen.
”Hal ini mengindikasikan daya beli masyarakat AS masih relatif terjaga meski tingkat inflasinya tinggi. Selain mengekspor sejumlah produk pertanian, perikanan, dan minyak nabati, Indonesia masih berpeluang menjaga kinerja ekspor alas kaki dan produk-produk tekstil,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
AS, China, dan UE merupakan pasar utama ekspor Indonesia. Kendati kedua negara dan kawasan itu tengah mengalami stagflasi, masih ada sejumlah celah yang bisa dibidik dan dimasuki Indonesia.
Menurut Kasan, kondisi itu berbeda dengan China. Ekonomi China pada triwulan III-2022 tumbuh 3,9 persen atau di atas ekspektasi pasar yang memperkirakan pertumbuhannya 3,4 persen. Kendati tumbuh tinggi, tingkat pengangguran di China justru naik menjadi 5,5 persen secara bulanan.
Pertumbuhan itu lebih ditopang oleh pemulihan produksi industri-industri untuk memenuhi ekspor, bukan oleh permintaan domestik. Hal itu sejalan dengan ekspor China yang masih tumbuh 5,7 persen secara tahunan dan pada triwulan III-2022.
”Permintaan domestik di China masih rendah karena kebijakan nol Covid-19 masih diterapkan. Meskipun begitu, masih ada peluang untuk mengekspor produk makanan-minuman, batubara, minyak kelapa sawit mentah (CPO), dan bahan baku/penolong industri berbasis ekspor di China, seperti besi dan baja,” ujarnya.
Untuk kawasan UE, kata Kasan, tantangannya lebih kompleks karena tengah mengalami krisis pangan dan energi. Tingkat inflasi di kawasan tersebut sangat tinggi karena kenaikan harga pangan dan energi akibat imbas perang Rusia-Ukraina dan pembatasan pasokan gas oleh Rusia.
Kendati begitu, Indonesia juga masih memiliki celah menjaga ekspor ke sejumlah negara di UE yang tengah memasuki musim dingin. Selain produk-produk kebutuhan primer, Indonesia dapat membidik peningkatan ekspor batubara dan biodiesel.
Per September 2022, ekspor Indonesia ke AS, China, dan UE turun. Badan Pusat Statistik mencatat, nilai ekspor RI ke UE pada Agustus-September 2022 turun atau minus 21,47 persen, AS -18,26 persen, dan China -0,09 persen.
Sementara itu, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, pada 2022, ekonomi AS tumbuh 1,6 persen, China 3,2 persen, dan kawasan Eropa 3,1 persen. Perlambatan pertumbuhan ekonomi itu masih akan berlanjut pada 2023. Pada tahun depan, ekonomi AS diperkirakan tumbuh 1 persen, China 4,4 persen, dan UE 0,5 persen.
Ekonomi China
Ekonom HSBC Global Research China, Erin Xin, menuturkan, pemulihan ekonomi di China terus berlanjut. Meskipun begitu, sejumlah hambatan masih ada. Pertumbuhan ekonomi China yang mencapai 3,9 persen pada triwulan III-2022 lebih ditopang oleh peningkatan penawaran atau produksi, bukan permintaan atau konsumsi domestik.
Hal itu terutama terjadi pada industri manufaktur berteknologi menengah dan tinggi yang tumbuh 6,4 persen secara tahunan. Sejalan dengan itu, kinerja ekspor juga relatif masih resilien, yakni tumbuh 5,7 persen secara tahunan pada September 2022, melambat dari Agustus 2022 yang sebesar 7,1 persen.
”Pelonggaran di sektor properti dan peningkatan aktivitas untuk investasi infrastruktur kemungkinan juga mendorong produksi domestik bahan konstruksi utama seperti logam besi dan logam nonbesi yang masing-masing tumbuh 10,6 persen dan 7,8 persen secara tahunan,” tuturnya melalui siaran pers.
Adapun di sektor konsumsi domestik, kata Xin, pertumbuhannya melambat. Hal itu terindikasi dari penjualan ritel, terutama di kota-kota yang meningkatkan pembatasan mobilitas menuju nol Covid-19, seperti Shenzhen, Chengdu, dan Guiyang.
Per September 2022, penjualan restoran dan katering turun 1,7 persen secara tahunan setelah tumbuh 8,8 persen pada Agustus 2022. Begitu juga dengan penjualan pakaian dan perhiasan yang melambat masing-masing 0,9 persen dan 1,3 persen.
Kami berharap pembuat kebijakan akan melonggarkan pembatasan dan kembali fokus pada kebijakan mendorong pertumbuhan ekonomi setelah Kongres Ke-20 Partai Komunis China berakhir.
Menurut Xin, pemulihan konsumsi yang lebih lemah tersebut kemungkinan disebabkan oleh bertambahnya pengangguran. Tingkat pengangguran di China per September 2022 naik menjadi 5,5 persen.
”Kami berharap pembuat kebijakan akan melonggarkan pembatasan dan kembali fokus pada kebijakan mendorong pertumbuhan ekonomi setelah Kongres Ke-20 Partai Komunis China berakhir,” katanya.