Ekspor komoditas rumput laut didorong berupa produk olahan. Pemerintah mengkaji pengurangan ekspor bahan baku rumput laut.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengkaji pengurangan ekspor bahan baku rumput laut. Hilirisasi rumput laut akan didorong guna menghasilkan produk olahan rumput laut yang bernilai tambah. Meski demikian, industrialisasi rumput laut dalam negeri masih dihadang sejumlah kendala.
Asisten Deputi Pengembangan Perikanan Budidaya Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Rahmat Mulianda mengemukakan, tren global untuk pengembangan ekonomi biru atau pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan merupakan peluang bagi industri rumput laut Indonesia yang memiliki potensi pasar besar.
Dari data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) 2018, potensi ekonomi biru secara global senilai 1,5 triliun dollar AS per tahun dan diprediksi mencapai lebih dari 3 triliun dollar AS pada tahun 2030. Ini antara lain karena pemanfaatan bahan laut untuk produksi pangan, kosmetik, dan obat semakin meningkat.
Produksi rumput laut dunia mencapai 35,8 juta ton yang bersumber dari 49 negara. Dari jumlah itu, 27,86 persen produksi datang dari Indonesia. Indonesia menempati peringkat kedua produsen rumput laut tropis setelah China. Meskipun demikian, nilai ekspor rumput laut Indonesia masih rendah karena sebagian besar produk yang diekspor berupa bahan baku, yakni rumput laut kering.
Dalam peta jalan rumput laut yang disusun Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, penguatan industri hilir ditargetkan pada 2021, yakni 20 persen ekspor berupa rumput laut olahan. Namun, target tidak tercapai karena ekspor produk olahan hanya sekitar 7 persen. Oleh karena itu, penguatan industri pengolahan dalam negeri perlu dilakukan serius dan bertahap.
”Akan dikaji upaya mengurangi ekspor rumput laut kering dan memperkuat industri dalam negeri secara bertahap. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus siap menguasai industri (rumput laut) dalam negeri sehingga tidak hanya langsung dengan mudah menjual bahan baku ke luar negeri meskipun pasar di luar besar,” kata Rahmat, Selasa (25/10/2022), di Jakarta.
Rahmat menambahkan, pemasaran produk rumput laut olahan akan mendatangkan nilai tambah lebih besar ketimbang ekspor bahan baku. Oleh karena itu, pembangunan kapasitas industri hulu-hilir mutlak diperlukan, serta penetrasi teknologi. Tidak mungkin mengundang investor luar negeri sebatas membeli bahan baku untuk selanjutnya diekspor serta diolah di luar negeri.
”Secara bertahap, kita harus mampu menguasai teknologi turunan dan industrialisasi rumput laut. Tidak hanya usaha-usaha skala kecil, tapi industri besar untuk rumput laut perlu digarap serius,” ujarnya.
Kendala industrialisasi
Rahmat mengakui masih terdapat sejumlah kendala industrialisasi rumput laut, antara lain suplai dan kualitas rumput laut tidak merata. Keterbatasan bahan baku dan harga tinggi menyebabkan utilitas unit pengolahan rumput laut (UPRL) di bawah 30 persen dari kapasitas. Di sisi lain, pelarangan ekspor bahan baku rumput laut dikhawatirkan menyebabkan UPRL tidak mampu menyerap seluruh hasil produksi rumput laut. Sementara itu, basis data produksi rumput laut masih tidak sinkron antarlembaga dan institusi. Akurasi pencatatan dinilai harus segera dibenahi.
Kepala Bidang Komunikasi dan Humas Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Indra S Santoso menambahkan, suplai rumput laut hingga kini masih belum bisa memenuhi permintaan dunia. Sementara itu, pasar rumput laut dunia pada tahun 2021-2018 diprediksi tumbuh rata-rata 12 persen per tahun. Peluang pasar ini harus dipenuhi dulu.
Indra menyoroti masih ada ketidaksikronan data produksi dan ekspor antarinstitusi dan lembaga pemerintah. Dicontohkan, pada tahun 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan merilis data produksi rumput laut 9,05 juta ton; Badan Pusat Statistik 5,01 juta ton; Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (Astruli) 4,19 juta ton; sedangkan Asosiasi Rumput Laut Indonesia 3,51 juta ton. Data riil produksi rumput laut perlu divalidasi untuk menyusun peta jalan industrialisasi rumput laut di Indonesia.
Di sisi lain, industrialisasi di dalam negeri harus dibarengi peningkatan daya saing dengan industri-industri pengolahan di luar negeri. Industri dalam negeri terbebani biaya logistik yang mahal, biaya bahan bakar/listrik, kualitas bahan baku tidak merata, serta bahan kimia yang sebagian harus diimpor. Perlu dibuat kajian agar industri bisa bersaing dari segi biaya dan kualitas sehingga bisa menyerap bahan baku rumput laut untuk diolah dan diekspor sebagai produk bernilai tambah.
Saat ini, terdapat 35 UPRL di Indonesia. Sementara itu, dari sembilan industri pengolahan rumput laut yang diinisiasi pemerintah, tujuh industri di antaranya tidak operasional dan hanya dua industri yang beroperasi. Sejumlah kendala itu dinilai menghambat pengembangan dan daya saing industri rumput laut.
”Ada yang perlu dibenahi sebelum menetapkan target-target mengurangi ekspor bahan baku. (Pemerintah) tidak bisa menetapkan target-target tanpa membereskan, mendata, dan menyelesaikan persoalan,” kata Indra.
Hal senada dikemukakan PT Ocean Carrageenan Indonesia Rakhmadin Endra Saputra. Pelaku industri menghadapi kendala anggaran sangat besar untuk bahan baku dan bahan bakar. ”Harga dan kualitas bahan baku tidak stabil, bahan baku belum tentu memiliki kualitas yang sama,” ujarnya.
Sementara itu, dukungan pemerintah masih sangat kurang untuk mendapatkan investor, merealisasikan hilirisasi industri tanpa didukung pihak kementerian terkait, serta birokrasi masih panjang dan belum terintegrasi. Sementara itu, logistik di area budidaya masih sangat terbatas karena akses yang sulit.
”Akibatnya, sebagian investor yang masuk adalah investor luar negeri sehingga banyak pembelian (bahan baku) untuk diolah di luar negeri,” kata Rakhmadin.
Direktur Perencanaan Sumber Daya Alam Kementerian Investasi Ratih Purbasari menyampaikan, pada tahun 2021, volume ekspor rumput laut sebesar 225.612 ton dengan nilai ekspor 222,6 juta dollar AS. Negara tujuan utama, yakni China, Vietnam, dan Amerika Selatan.
Upaya mengakselerasi investasi rumput laut antara lain penguatan industri rumput laut nasional dalam beberapa program, yakni penelitian dan pengembangan budidaya jenis baru, inovasi teknologi pengolahan produk setengah jadi dan produk akhir, serta penguatan pasar produk rumput laut nasional dan global.