Rancangan Perpres Cadangan Penyangga Energi Dimatangkan
Transisi energi yang dapat diakses, terjangkau, dan berkeadilan mesti terus diupayakan di Indonesia.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Ilustrasi kilang minyak
JAKARTA, KOMPAS — Ancaman krisis energi diantisipasi pemerintah dengan menyusun rancangan Peraturan Presiden tentang Cadangan Penyangga Energi, yang akan disinergikan di tingkat kementerian. Di sisi lain, transisi energi yang dapat diakses, terjangkau, dan berkeadilan mesti terus berjalan, terlebih Indonesia bakal menjadi tolok ukur di Asia Tenggara.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari kalangan akademisi, Agus Puji Prasetyono, mengatakan, krisis energi artinya kekurangan energi. Adapun darurat energi diartikan terjadinya gangguan seperti kilang minyak yang meledak ataupun transmisi jaringan kelistrikan akibat misalnya tertimpa pohon atau penyebab lainnya.
Seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, cadangan energi nasional meliputi cadangan strategis, cadangan penyangga energi, dan cadangan operasional. Saat ini, kata Agus, keperluan cadangan operasional terpenuhi. Adapun cadangan penyangga harus dimiliki dan dikelola pemerintah. Sementara, cadangan strategis terkait potensi untuk ketahanan jangka panjang.
”Perpres terkait cadangan penyangga ini sedang dalam proses untuk PAK (Panitia Antar Kementerian). Jadi, kami sinergikan di kementerian-kementerian agar dapat masukan,” ujar Agus dalam diskusi Kesiapan Energi Terbarukan dan Nuklir dalam Mendukung Net Zero Emission (NZE) yang digelar Badan Riset dan Invovasi Nasional (BRIN) secara hibrida, Senin (24/10/2022).
Salah satu yang tertuang dalam rancangan Perpres itu, kata Agus, yakni terkait proyeksi masa aman, misalnya selama 30 hari untuk cadangan penyangga energi. Dengan demikian, jika terjadi krisis, Indonesia dipastikan aman selama 30 hari.
Hal tersebut dirasa penting guna memastikan ketahanan energi di Indonesia. Terlebih, di tingkat global, pada 2022, terjadi gejolak yang menyebabkan krisis energi, seperti di Eropa. ”Mudah-mudahan Perpres Cadangan Penyangga Energi ini ada (diterbitkan). Sehingga kalau ada gejolak dan terjadi krisis, ada penyangganya,” kata Agus.
Seniof Officer of Sustainable Energy, Renewable Energy and Energy Efficiency (REE) Departement of ASEAN Centre for Energy (ACE), Zulfikar Yurnaidi menuturkan, negara-negara di dunia banyak melakukan diversifikasi energi, termasuk nuklir. Negara-negara di Eropa tampaknya bisa mengamankan energi untuk musim dingin 2022. Namun, cadangan akan sangat dibutuhkan, termasuk untuk persiapan tahun depan.
Kendati ada sejumlah tantangan, Indonesia memiliki peluang untuk tetap tumbuh dalam transisi energi. ”Bagaimanapun harus dijalankan. Ada pilar-pilar di ASEAN (terkait energi) yakni keamanan, terjangkau, dapat diakses dan berkelanjutan, juga untuk semua (berkeadilan). Untuk mencapai itu, ada dua yang harus dilakukan yakni meningkatkan efisiensi energi dan diversifikasi,” ucap Zulfikar.
Ia menuturkan, transisi energi diharapkan mulus, terlebih, target bauran energi terbarukan pada energi primer di Asia Tenggara sama dengan Indonesia, yakni 23 persen pada 2025. ”Indonesia adalah negara terbesar sehingga performa dalam pencapaian transisi energi akan berpengaruh besar pada Asia tenggara. Inovasi dan teknologi penting agar Indonesia tak sekadar menumpang transisi, tapi juga untuk kepentingan ekonomi (Indonesia),” lanjutnya.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Andriah Feby Misna menuturkan, kondisi saat ini memberi peluang bagi Indonesia. Sebab, Indonesia memiliki sumber energi yang sangat beragam, baik fosil maupun terbarukan.
Menurut dia, saat ini sejumlah negara berkeinginan untuk berinvestasi di Indonesia terkait energi terbarukan. ”Sumber daya kita luar biasa. Perlu terus didorong. Jika dulu devisa kita dari energi fosil, ke depan beralih jadi energi terbarukan,” kata Feby.
RIZA FATHONI
Teknisi sedang melakukan pemeriksaan akhir instalasi panel surya di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (3/9/2020).
Nuklir
Sementara terkait Nuklir, Agus menuturkan, perkembangan di dunia saat ini, negara-negara maju memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), sedangkan negara berkembang belum. PLTN memiliki keunggulan karena bersifat stabil, handal, dan volatilitas yang rendah.
Suparman, Pengembang Teknologi Nuklir Ahli Utama BRIN, mengemukakan, mengenai PLTN, saat ini posisi nasional masih lemah dan belum ada keputusan yang pasti dari pemerintah, apakah hendak membangunnya atau tidak. Apabila sudah ditentukan, nantinya akan dibentuk Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO).
”Untuk mendukung itu, kita harus siap dari sisi industri. Syarat utama (dalam pembangunan PLTN) ada tiga, yakni NEPIO sebagai organisasi yang mengoordinasikan implementasi (pemerintah); badan pengawas, yakni Badan Pengawas Tenaga Nuklir dan Kementerian ESDM; serta operating organization, yang saat ini belum ada. Nantinya bisa PLN atau lainnya,” ujar Suparman.
Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) pernah melakukan studi internal. Namun, keputusannya diminta untuk dihitung-hitung terlebih dulu. ”(Ke depan) jangan sampai diambangkan. Mudah-mudahan ada peluncuran PLTN, NEPIO ditetapkan, serta ada implementasi dan peta jalan. Juga disinkronkan dengan (target) NZE,” katanya.
Ada kekhawatiran PLTN tak bisa dibangun karena Indonesia terletak di cincin api (ring of fire), yang sering terjadi gempa dan letusan gunung berapi. Namun, menurut Suparman, dari studi, ada sejumlah tempat dianggap layak atau memenuhi persyaratan di antaranya Jepara (Jawa Tengah), Banten, Bangka, serta Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.