Ekonomi Kian Gelap, Pemerintah Pilih Main Aman soal Pajak
Beberapa kebijakan untuk memperluas basis penerimaan pajak ditunda sementara di tengah kondisi ekonomi yang tak pasti. Langkah itu dilematis di tengah kebutuhan untuk mendongkrak pendanaan fiskal yang lebih memadai.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi ekonomi global yang diprediksi akan semakin gelap membuat pemerintah memilih ”main aman” dan tidak terlalu banyak mengutak-atik kebijakan pajak. Strategi fiskal diarahkan untuk menjaga perekonomian domestik tetap stabil di tengah guncangan ketimbang mendongkrak penerimaan negara lewat langkah perluasan basis pajak.
Beberapa wacana yang sebelumnya sempat digaungkan untuk memperluas basis penerimaan pajak, seperti penerapan pajak karbon (carbon tax) serta penurunan ambang batas (threshold) pengusaha kena pajak (PKP), bakal dikaji ulang sampai kondisi perekonomian kembali stabil.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, kondisi perekonomian dunia yang diprediksi akan gelap, bahkan semakin ”pekat”, membuat pemerintah harus berhati-hati dalam mengambil keputusan agar tidak berbalik mencederai ekonomi dalam negeri. Oleh karena itu, beberapa kebijakan terkait perluasan basis pajak belum akan diterapkan dalam waktu dekat.
”Kita tidak akan banyak mengubah kebijakan pajak dalam situasi yang sangat tidak pasti ini. Sehingga, terkait threshold (PKP) dan segala macam, itu belum kami pikirkan dulu. Lebih baik kita menjaga agar perekonomian kita yang momentumnya sedang baik ini tetap steady (stabil),” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN Kita, Jumat (21/10/2022) lalu.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197 Tahun 2013 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai, batas PKP ditetapkan senilai Rp 4,8 miliar. Artinya, pengusaha yang omzetnya pada satu tahun buku melebihi Rp 4,8 miliar wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha yang dikenai pajak (PKP).
Pelaku usaha yang omzetnya di bawah itu dianggap pengusaha kecil yang tidak dikenai pajak (non-PKP). Non-PKP tidak harus memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau menerbitkan faktur pajak meski tetap harus membayar Pajak Penghasilan Final (PPh Final).
Belakangan sempat muncul wacana untuk menurunkan ambang batas PKP karena dianggap mempersempit basis penerimaan pajak. Kajian Bank Dunia pada 2021 menyoroti, threshold yang terlalu tinggi itu membuat pengumpulan PPN di Indonesia tidak bisa mencapai potensi yang sebenarnya. Pemerintah pun disarankan untuk menurunkan ambang batas PKP dari Rp 4,8 miliar menjadi Rp 600 juta seperti yang pernah diterapkan pada tahun 2010.
Kita tidak akan banyak mengubah kebijakan pajak dalam situasi yang sangat tidak pasti ini.
Menunggu ”timing”
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Asral mengatakan, pemerintah masih tetap akan melakukan kajian terkait perubahan ambang batas PKP, tetapi implementasinya akan mencermati kondisi perekonomian global dan domestik serta mempelajari kebijakan yang diterapkan otoritas pajak di negara lain.
”Timing menjadi hal yang sangat penting supaya nanti kalau itu diimplementasikan tidak akan memberi dampak yang merugikan,” ujar Yon.
Kebijakan lain yang ditahan adalah pajak karbon. Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu, meski pajak karbon tetap akan disiapkan untuk mencapai target pengurangan emisi karbon sesuai komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia, implementasinya akan menunggu kondisi perekonomian lebih kondusif.
Pemerintah juga masih perlu membuat peta jalan dan mekanisme yang lebih jelas agar implementasi pajak karbon dan pasar karbon kelak benar-benar efektif. ”Kita akan perhatikan timing yang pas agar dampaknya bisa seminimal mungkin dan kesiapannya sudah seefektif mungkin,” katanya.
Pemerintah sudah beberapa kali menunda implementasi pajak karbon. Sebelum ini, pajak karbon hendak diimplementasikan pada 1 April 2022, lalu mundur ke 1 Juli 2022. Pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pajak karbon baru akan berlaku pada tahun 2025.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai, pemerintah tidak perlu terlalu takut. Sebab, di tengah ambang resesi global, negara justru seharusnya memiliki bantalan yang kuat dalam menghadapi guncangan ekonomi. Pemerintah perlu memiliki pendanaan fiskal yang lebih memadai untuk menjalankan program-program yang dapat menjaga daya beli dan menggerakkan ekonomi domestik, salah satunya melalui penerimaan pajak.
Dalam konteks ambang batas PKP, ia menilai threshold yang diterapkan saat ini sudah terlalu tinggi, bahkan di atas negara-negara lain. Ambang batas PKP yang terlalu tinggi itu kerap disalahgunakan oleh wajib pajak yang ”nakal” untuk menghindar dari status PKP. Salah satunya dengan cara menahan omzet dalam satu tahun agar di bawah ambang batas.
”Jadi, selama ini ada inefisiensi akibat ambang batas yang terlalu tinggi. Justru ketika pemerintah menurunkan ambang batas PKP, output ekonomi bisa meningkat,” ujar Fajry.
Beban tambahan
Namun, di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, di tengah kondisi ekonomi yang sedang dilanda krisis, berbagai bentuk kebijakan ekspansi basis pajak memang sebaiknya ditunda untuk sementara.
Sebab, jika upaya untuk mendongkrak penerimaan pajak itu diterapkan di waktu yang salah, dampaknya bisa semakin memberatkan sektor riil dan menghambat laju perekonomian domestik. ”Sudah pasti harus di-hold. Dunia usaha juga sudah mulai susah, apalagi UMKM (yang akan terdampak jika threshold PKP diturunkan). Jangan dulu memberi beban tambahan pada sektor riil,” ucapnya.
Di tengah ambang resesi global, negara justru seharusnya memiliki bantalan yang kuat dalam menghadapi guncangan ekonomi.
Menurut Hariyadi, pelaku usaha mulai merasakan imbas dari ketidakpastian ekonomi dunia. Selain penurunan permintaan ekspor yang mulai kentara, melemahnya nilai tukar rupiah akibat kebijakan pengetatan moneter telah menambah beban biaya produksi, yang ujung-ujungnya akan ditransmisikan dalam bentuk naiknya harga akhir di level konsumen.
Ia menambahkan, pemerintah tetap perlu memberi insentif pajak meski harus lebih selektif dan tajam ke sektor yang bisa menggerakkan perekonomian dalam negeri. ”Misalnya, sektor padat karya dan UMKM yang menyerap banyak tenaga kerja. Intinya, sektor-sektor yang bisa menopang income masyarakat dan menggerakkan ekonomi, itu yang jadi prioritas,” tuturnya.
Sampai September 2022, performa penerimaan pajak masih terpantau baik. Realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 1.310,5 triliun, setara 88,3 persen dari target Rp 1.485 triliun. Pada Januari-September 2022, penerimaan pajak tumbuh 54,2 persen, ditopang penerimaan PPN dalam negeri dengan kontribusi 22 persen terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan.
Adapun pada tahun 2023, pemerintah mematok penerimaan pajak yang lebih menantang sebesar Rp 1.718 triliun, naik 35 persen dari target pada APBN 2022 sebesar Rp 1.265 triliun. Target itu diklaim telah memperhitungkan berbagai faktor eksternal, termasuk ketidakpastian ekonomi dunia saat ini.