Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah Masih Rendah
Tingkat inklusi keuangan syariah berada pada level 9,10 persen. Adapun tingkat literasi keuangan syariah berada pada level 8,93 persen. Capaian itu lebih rendah dibandingkan literasi dan inklusi keuangan konvensional.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat literasi keuangan syariah dan inklusi keuangan syariah di Indonesia masih rendah apabila dibandingkan dengan tingkat inklusi dan literasi keuangan konvensional. Hingga kini, masih banyak masyarakat yang belum mengakses dan belum memahami manfaat dari layanan jasa keuangan syariah. Padahal, dengan jumlah penduduk Muslim terbesar dunia, keuangan syariah bisa dimanfaatkan menjadi motor baru pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal tersebut mengemuka dalam acara edukasi keuangan syariah yang diprakarsai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bertajuk ”SAKINAH, Santri Cakap Literasi Syariah” dan diselenggarakan secara hibrida di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sabtu (22/10/2022). Acara itu bertepatan dengan Hari Santri Nasional yang jatuh pada tanggal hari ini.
Turut hadir dalam acara itu, antara lain, Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Friderica Widyasari Dewi, Sekretaris Jenderal Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Iggi Haruman Achsien, dan Pengasuh Utama Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak, Kabupaten Bantul, Provinsi DIY, Abdul Hamid AQ.
Friderica menjelaskan, berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dirilis OJK pada tahun 2019, tingkat literasi keuangan syariah pada 2019 mencapai 8,93 persen. Tingkat literasi keuangan syariah Indonesia memiliki selisih 28,79 persen dari tingkat literasi keuangan konvesional yang berada pada level 37,72 persen.
Sementara tingkat inklusi keuangan syariah berada pada level 9,10 persen. Tingkat inklusi keuangan syariah ini juga masih jauh di bawah inklusi keuangan konvesional yang berada pada level 75,28 persen. Artinya, ada selisih 66,18 persen antara keduanya.
Literasi keuangan adalah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang mempengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dalam rangka mencapai kesejahteraan. Adapun inklusi adalah ketersedaiaan akses pada berbagai lembaga, produk, dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.
Produk keuangan syariah dengan literasi tertinggi adalah pada perbankan syariah, yakni 7,92 persen. Adapun setelahnya ada layanan pergadaian syariah dengan literasi 4,51 persen, lembaga pembiayaan syariah dengan literasi 4,01 persen, perasuransian syariah dengan literasi 3,99 persen, dana pensiun syariah 2,97 persen, lembaga keuangan mikro syariah 0,25 persen, dan pasar modal syariah yang sebesar 0,02 persen.
Friderica menjelaskan, masih rendahnya tingkat inklusi dan literasi keuangan syariah merupakan pekerjaan rumah bersama semua pemangku kepentingan. Edukasi tentang keuangan dan ekonomi syariah perlu terus dilakukan di berbagai lingkup masyarakat, terutama di lingkungan pendidikan pesantren.
”Para santri yang tengah mengenyam pendidikan ini kelak akan berperan signfikan ketika kembali ke tengah masyarakat. Bayangkan betapa besar potensi yang bisa dibawa ketika mereka telah memiliki ilmu dan pemahaman mendalam soal keuangan syariah,” ujar Friderica.
Potensi besar
Menurut Iggi, berdasarkan data Kementerian Agama, pada 2022 terdapat 4,1 juta santri yang tersebar di 30.000 pesantren di seluruh Indonesia. Pasar ekonomi dan keuangan syariah untuk memenuhi kebutuhan ekosistem pesantren saja sudah besar. Apalagi apabila para santri ini dibekali ilmu dan keterampilan memanfaatkan ekonomi dan keuangan syariah. Hal itu tentu akan memberikan dampak luar biasa bagi ekonomi.
Iggi mengatakan, mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak di dunia, ekonomi dan keuangan syariah sejatinya punya potensi sangat besar. Edukasi terus-menerus perlu terus dilakukan untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah menjadi salah satu motor pertumbuhan baru ekonomi nasional. ”Kita punya potensi besar dari ekonomi dan keuangan syariah yang bisa jadi penggerak ekonomi umat,” ujar Iggi.
Hal senada juga dikemukakan oleh Abdul Hamid AQ. Ia mengatakan, sejarah membuktikan, santri punya peran besar dalam kemajuan bangsa. Mulai dari bergerak bersama pada zaman kemerdekaan hingga di era modern saat ini santri pernah berhasil menduduki posisi strategis di negeri ini, mulai dari presiden, wakil presiden, menteri, anggota DPR, dan sejumlah lembaga negara lainnya.
Untuk membekali mereka di kemudian hari, lanjut Abdul Hamid, santri kini perlu juga menguasai ilmu dan pemahaman tentang ekonomi dan keuangan syariah. ”Kelak harapannya para santri ini bisa berkontribusi bagi pengembangan pertumbuhan ekonomi umat dan masyarakat secara keseluruhan,” ujar Abdul.