Butuh Energi Fosil untuk Mengoptimalkan Energi Terbarukan
Transisi Indonesia menuju penggunaan energi baru terbarukan atau EBT yang optimal, dilihat harus tetap memaksimalkan penggunaan energi fosil.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
KOMPAS/DAHLIA IRAWATI
Paiton Energy membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untuk mendukung penyediaan sumber energi terbarukan. Perusahaan membangun PLTS dari stasiun photovoltaic (PV) untuk keperluan konsumsi sendiri dengan total kapasitas terpasang 1.013 kW dengan Sistem Tenaga Surya on-Grid. Proyek PLTS ini dipasang di area pembangkit Paiton (689KW), atap gedung administrasi (65KW), dan atap balai rekreasi di perumahan Paiton (289KW). Listrik yang dihasilkan ini juga digunakan untuk mengisi daya bus listrik yang berfungsi sebagai transportasi karyawan sehari-hari. Hal itu dilakukan untuk menekan penggunaan batubara.
JAKARTA, KOMPAS — Misi besar Indonesia mewujudkan emisi nol bersih belum berjalan mulus. Sejatinya, dalam peta jalan 2025, pemerintah menargetkan porsi energi baru dan terbarukan atau EBT sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional, tetapi faktanya realisasi saat ini baru sekitar 12 persen. Butuh persiapan yang terintegrasi, termasuk dalam hal sumber daya manusia, untuk benar-benar meninggalkan energi fosil.
Peta jalan 2025 tersebut tertuang dalam dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang dirumuskan oleh Dewan Energi Nasional (DEN) dan disahkan Presiden dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang kebijakan Energi Nasional. Tiga poin dalam PP tersebut adalah target bauran EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen pada tahun 2050, konsumsi listrik per kapita sebesar 2.500 kilowatt jam (kWh) per tahun pada tahun 2025, dan 7.000 kWh per tahun pada tahun 2050.
”Untuk mengoptimalkan bauran EBT, Indonesia harus tetap memanfaatkan energi fosil berupa minyak dan gas bumi sebagai transisi sekaligus penopang bahan bakar pembangkit EBT,” kata anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha, dalam Webinar Anugerah DEN, Kamis (20/10/2022), di Jakarta.
Transisi tersebut bisa memanfaatkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau carbon capture and storage (CCS), yakni teknologi yang mampu memitigasi lepasnya emisi gas rumah kaca (GRK) dari aktivitas pemanfaatan bahan-bahan fosil.
”Dengan demikian, energi fosil akan tetap berkontribusi positif menemani EBT seperti pembangkit listrik tenaga angin, pembangkit listrik tenaga air, dan pembangkit listrik tenaga panas bumi hingga bisa memenuhi beban listrik dasar kita,” ujar Satya.
Di sisi lain, lanjut Satya, penyebab belum optimalnya EBT juga disebabkan oleh intermitensi atau ketidaksinambungan. Ketidaksinambungan yang dimaksud adalah ketika panas matahari mereda, daya pada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan berkurang. Begitu pula pada tenaga hidrolik, ketika debit air tidak stabil, tenaga turbin air tidak akan maksimal. Oleh karena itu, dia menganjurkan untuk memasifkan penggunaan geotermal atau energi panas bumi untuk mengatasi persoalan ini.
”Jika menggunakan panas bumi, EBT akan terus berproduksi, mulai dari pagi, siang, hingga malam. Apalagi Indonesia memiliki banyak potensi energi panas bumi dari gunung berapi,” ucap Satya.
Pada acara yang sama, Kepala Pusat Kebijakan Keenergian Institut Teknologi Bandung (ITB) Retno Gumilang Dewi mengatakan, cukup dilematis jika Indonesia harus berpindah ke EBT secara total. Menurut dia, transisi perlu memperhatikan sejumlah faktor dan dibutuhkan transisi yang berkesinambungan.
Retno menambahkan, sejumlah daerah masih menggantungkan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor tambang minyak dan gas bumi. Belum lagi banyak orang yang mengandalkan pekerjaan dari industri ini. Selain itu, aset negara di industri pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) cukup tinggi. Harus diperhatikan pula biaya yang dikeluarkan untuk mengganti nilai kesepakatan jual beli PLTU batubara yang kini masih beroperasi.
Hal ini sesuai dengan analisis TransitionZero yang memperkirakan Indonesia membutuhkan dana 37 miliar dolar AS atau setara Rp 568 triliun untuk menghentikan lebih dini operasi 118 PLTU di dalam negeri.
Sejauh ini sekitar 60 persen sektor ketenagalistrikan Indonesia dihasilkan dari batubara (PLTU). Industri batubara yang mempekerjakan sekitar 250.000 orang menjadikan Indonesia sebagai pengekspor batubara terbesar di dunia. Apabila hendak bertransisi ke energi bersih dan meninggalkan batubara, pemerintah harus menyiapkan sumber daya manusia secara maksimal.
”Dalam riset kami, kesiapan pekerja Indonesia pada bidang EBT menjadi salah satu terendah di Asia Tenggara, jauh di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Singapura,” ujar Retno.