Konsumen telah berupaya menghadapi spam ponsel selama bertahun-tahun. Situasi ini dimanfaatkan oleh perusahaan teknologi untuk mengembangkan solusi penangkal, tetapi malah berakhir sebagai bisnis komersial.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
Merespons protes terhadap fitur No Spam viral di media sosial pekan ini, operator telekomunikasi Telkomsel memutuskan untuk menghentikan sementara fitur untuk penangkal spam yang masuk melalui nomor telepon seluler itu. Tidak disebutkan kapan fitur itu dioperasikan kembali. Menarik untuk menyimak bagaimana warga merespons aplikasi penangkal/pencegah spam yang marak di pasaran ini.
Fitur No Spam ditawarkan oleh Telkomsel melalui SMS interaktif (UMB) *500*45#. Pelanggan Telkomsel yang ingin memblokir nomor telepon seluler bisa mendaftarkan nomor yang dituju dengan cara itu. Setelah terblokir, komunikasi pelanggan dengan pemilik nomor tujuan secara otomatis terblokir dalam sistem jaringan telekomunikasi milik Telkomsel.
Fitur No Spam mendapat protes keras dari warganet dan menjadi viral karena fitur tersebut berbayar. Ada dua pilihan berlangganan, yaitu berlangganan mingguan dengan tarif Rp 2.200 per minggu dan berlangganan bulanan dengan tarif Rp 8.800 per bulan. Warganet merasa fitur itu seharusnya tidak dikomersialkan karena menjadi kewajiban operator telekomunikasi seluler menyediakan fitur seperti itu.
Warganet merasa fitur itu seharusnya tidak dikomersialkan karena menjadi kewajiban operator telekomunikasi seluler menyediakan fitur seperti itu.
Vice President Corporate Communications Telkomsel Saki Hamsat Bramono, Kamis (20/10/2022), di Badung, Bali, menjelaskan, fitur No Spam merupakan solusi layanan untuk membantu pelanggan mengelola panggilan telepon masuk dengan mengarahkan panggilan dari nomor-nomor yang dipilih pelanggan ke mesin penerima panggilan. Kemudian, pesan yang ditinggalkan penelepon dapat didengarkan pelanggan di lain waktu.
”Kami menyampaikan permohonan maaf apabila terjadi kesalahpahaman atas informasi layanan bernilai tambah untuk fitur No Spam. Fitur No Spam telah kami hentikan sementara hingga pemberitahuan selanjutnya,” ujar Saki.
Praktisi Forensik Digital Ruby Alamsyah saat dihubungi berpendapat, warganet sebagai pengguna layanan telekomunikasi seluler kerap menjadi korban atas spam, baik melalui SMS maupun panggilan telepon. Ketika muncul fitur atau aplikasi penangkal spam dikomersialkan, warganet kesal. Padahal, operator telekomunikasi seluler bisa bekerja sama dengan aparat penegak hukum.
infografik Sejumlah Kasus Kebocoran Data Pribadi Dimas
Warga telah berjuang menghadapi spam ponsel selama bertahun-tahun. Apalagi, spam ponsel berbentuk robocall dengan scammers yang terus-menerus menelepon untuk meninggalkan pesan penipuan, seperti terkait keterlambatan pembayaran untuk pinjaman.
”Ada pula informasi pemasaran digital melalui SMS dan panggilan ponsel terus-menerus. Ada konsumen yang punya persepsi bahwa itu mengganggu dan termasuk dianggap spam. Ada pula konsumen yang merasa baik-baik saja karena informasinya sesuai kebutuhan,” ujar Ruby menjelaskan situasi yang terjadi di masyarakat saat ini.
Oleh pengembang aplikasi, situasi tersebut dimanfaatkan untuk menciptakan solusi berwujud aplikasi antispam. Misalnya, aplikasi Truecaller, Teltech, dan Get Contact. Mereka menerapkan aneka layanan tambahan berbayar kepada warga yang telah menginstal aplikasi mereka. Model ini bisa dikatakan komersial.
Hanya saja, Ruby menilai aplikasi seperti itu sebenarnya tidak mendukung prinsip perlindungan data pribadi. Sebab, pada saat warga menginstal, sistem mereka langsung melakukan crowdsource atau pengumpulan data semua nomor ponsel. Artinya, mereka memiliki basis data nomor ponsel warga yang besar.
Mulanya, mereka beralasan teknik itu bertujuan untuk memudahkan mana panggilan masuk yang benar-benar spam dan menipu atau bukan. Teknik yang sama bisa menghasilkan false positive alias tidak akurat mendeteksi karena pemilik ponsel bisa saja memberi nama yang ”aneh” atau ”unik” terhadap nomor tertentu, tetapi oleh sistem Truecaller dan sejenisnya dianggap pelaku kejahatan.
Aplikasi seperti itu sebenarnya tidak mendukung prinsip perlindungan data pribadi. Sebab, pada saat warga menginstal, sistem mereka langsung melakukan crowdsource atau pengumpulan data semua nomor ponsel.
The New York Times melalui artikel ”Did You Receive a Text Message From Yourself? You’re Not Alone”, (6/4/2022), menuliskan, solusi yang lebih praktis adalah dengan menggunakan alat gratis untuk meminimalkan gangguan dari teks spam. Di iPhone, warga dapat membuka aplikasi Pengaturan, mengetuk pesan, dan mengaktifkan opsi untuk ”menyaring pengirim yang tidak dikenal”. Itu menempatkan pesan dari nomor yang tidak ada dalam buku telepon Anda ke dalam folder pesan terpisah.
Di ponsel Android, warga dapat membuka aplikasi pesan, memasukkan pengaturan pesan spam, dan mengaktifkan ”blokir pengirim yang tidak dikenal”. Perangkat iPhone dan Android juga menyertakan kemampuan untuk membuka pengaturan pesan dan memblokir nomor tertentu agar tidak menghubungi. Solusi seperti itu tidak menyedot data pribadi. Sementara, menurut Ruby, solusi yang ditawarkan oleh operator telekomunikasi seluler berada di ranah ”abu-abu”.
Dia menambahkan, fenomena spam ponsel sudah saatnya perlu mendapat kejelasan solusi dari pemerintah. Apabila spam ponsel menjurus ke tindak pidana, pemerintah bersama aparat penegak hukum seharusnya lekas menindak, mengecek apakah nomor ponsel yang dipakai oleh pemilik yang terverifikasi data tunggal kependudukan atau tidak.
Pemilik jenama tetap harus menghormati hak konsumen sehingga penawaran program pemasaran apa pun tetap butuh persetujuan konsumen.
Di sisi lain, apabila warga menemukan SMS dan panggilan telepon berisi informasi marketing terus-menerus, dan menganggapnya sebagai ”spam” karena mengganggu kenyamanan, mereka seharusnya disediakan fasilitas untuk melapor. Operator telekomunikasi seluler yang bekerja sama dengan jenama pemilik informasi marketing itu juga harus segera menindaklanjuti. Misalnya, segera menghapus/menonaktifkan distribusi informasi marketing.
”Dalam konteks surel pemasaran, di bagian bawah surel selalu tersedia opsi ’menolak’ atau permintaan menonaktifkan dan tidak berlangganan. Mirip dengan ini,” kata Ruby.
Praktisi dan konsultan pemasaran dari Inventure, Yuswohady, menambahkan, di tengah era pemasaran digital yang semakin terpersonalisasi, konsumen semakin ”repot”. Spam ponsel salah satu kondisi yang semua warga berpotensi mengalaminya. Pemilik jenama tetap harus menghormati hak konsumen sehingga penawaran program pemasaran apa pun tetap butuh persetujuan konsumen.
Pesan moral yang juga masih relevan adalah pencegahan spam ponsel. Warga harus berhenti membagikan nomor ponsel kepada pihak yang tidak sepenuhnya dipercaya. Itu termasuk kasir -kasir di toko ritel yang meminta nomor ponsel dengan iming-iming warga bisa mendapatkan diskon, atau aplikasi dan laman yang meminta nomor ponsel ketika mendaftar untuk sebuah akun.