PLN dan PT Bukit Asam Tbk, BUMN tambang batubara, bekerja sama dalam percepatan pengakhiran dini PLTU Jabar 2 Palabuhan Ratu. Masa operasi dipangkas dari 24 tahun menjadi 15 tahun ke depan. Skema pendanaan disiapkan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·6 menit baca
Tuntutan penyediaan energi bersih menjadi isu global yang dirasa semakin mendesak, termasuk bagi Indonesia, yang juga berkomitmen dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Pengakhiran dini pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU berbasis batubara menjadi salah satu elemen pendukung upaya itu. Pengakhiran dini bakal dimulai dari PLTU Jawa Barat 2 Palabuhan Ratu.
Regulasi tentang pengakhiran PLTU tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang ditetapkan dan diundangkan pada 13 September 2022. Dalam perpres disebutkan, PLTU baru dilarang dibangun kecuali yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum berlakunya perpres. Juga PLTU yang memenuhi persyaratan, yakni terintegrasi proyek strategis nasional (PSN) dan berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca minimal 35 persen dalam 10 tahun sejak PLTU beroperasi. Operasi PLTU paling lama hingga 2050.
Upaya pengakhiran dini PLTU semakin dekat setelah PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) bekerja sama dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA), perusahaan negara di sektor tambang batubara, dalam percepatan pengakhiran dini PLTU Palabuhan Ratu. Komitmen itu tertuang dalam principal framework agreement yang ditandatangani dalam rangkaian Stated-Owned Enterprises (SOE) International Conference di Bali, Selasa (18/10/2022).
Direktur Perencanaan Korporat dan Pengembangan Bisnis PLN Hartanto Wibowo di sela-sela Gala Dinner Program G20 Kompas: Indonesia untuk Dunia, di Jakarta, Rabu malam, mengatakan, secara teknis masa operasi PLTU Palabuhan Ratu akan berakhir 24 tahun mendatang. Namun, dengan adanya transisi energi, tenggatnya dipercepat menjadi 15 tahun.
”Jadi, waktunya akan 10 tahun lebih pendek karena dengan cara seperti inilah kita akan mengurangi karbon dioksida. Kolaborasi dua, badan usaha milik negara (BUMN) akan mencari dan mendiskusikan skema-skema yang memungkinkan. Termasuk mengenai pendanaannya nanti akan seperti apa,” kata Hartanto.
Ia menambahkan, kolaborasi percepatan pengakhiran dini PLTU tersebut juga melibatkan diskusi dengan pihak lain, termasuk PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang menjadi country platform mekanisme transisi energi (energy transition mechanism/ETM). Selain itu juga dengan institusi internasional sehingga diharapkan upaya pengakhiran dini PLTU berjalan mulus.
Direktur Utama PTBA Arsal Ismail menjelaskan, kerja sama dengan PLN dalam pengakhiran dini PLTU sejalan dengan visi PTBA menjadi perusahaan energi dan kimia kelas dunia yang peduli lingkungan. Berbagai aspek pun dipertimbangkan dalam kerja sama itu, mulai dari lingkungan hingga keekonomian. ”Kerja sama ini menguntungkan semua pihak, baik PLN maupun PTBA,” katanya, dikutip dari laman PTBA, Rabu (19/10/2022).
Dengan adanya pemangkasan masa operasi dari 24 tahun menjadi 15 tahun di PLTU Palabuhan Ratu, ada potensi pemangkasan emisi CO2 ekuivalen sebesar 51 juta ton atau senilai Rp 220 miliar. Adapun keikutsertaan PTBA didasari sejumlah pertimbangan strategis. Salah satunya, PLTU itu menjadi tulang punggung pasokan listrik di bagian selatan Pulau Jawa.
Berdasarkan lokasi geografis, tata kelola PLTU Palabuhan Ratu relatif lebih mudah diintegrasikan dengan sistem rantai pasok PTBA. Adapun kebutuhan batubara PLTU berkapasitas 3 x 350 megawatt (MW) itu ialah 4,5 juta ton per tahun atau 67,5 juta ton selama 15 tahun. Itu selaras dengan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) untuk pemanfaatan cadangan batubara PTBA.
Peta jalan
Hartanto mengatakan, PLN telah membuat peta jalan dalam upaya mendukung pemerintah mewujudkan Perjanjian Paris. Target jangka pendek Indonesia ialah memenuhi nationally determined contribution (NDC) pada 2030, sedangkan jangka panjang ialah target pencapaian emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Pengakhiran dini PLTU pun menjadi salah satu langkah PLN dalam memenuhi target itu.
”Kami akan menggantinya dengan pembangkit energi terbarukan. PLTU yang pensiun secara natural, artinya secara umur teknis akan habis, sebanyak 3,2 gigawatt (GW), sedangkan PLTU dengan pengakhiran dini sebanyak 3,5 GW. Jadi, secara total 6,7 GW sampai dengan 2040,” ujar Hartanto.
Sebelumnya, Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Wanhar, dalam sosialisasi Perpres No 112/2022, Jumat (7/10/2022), mengatakan, keluarnya perpres membuat pemerintah kian mantap dalam program pensiun dini PLTU. Peta jalan pun disusun.
Wanhar menambahkan, Perpres No 112/2022 sejalan dengan target NZE 2060. Pihaknya akan menyinergikan perpres dengan peta jalan NZE serta meninjau ulang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN).
”Kami ingin memberi batasan, semacam kuota, berapa PLTU yang masih mungkin beroperasi kami persilakan (untuk tetap beroperasi). Itu sehubungan dengan target kita pada 2025 (bauran energi terbarukan mencapai 23 persen). Sebab, jangan jampai PLTU PLN pensiun jorjoran, tetapi (PLTU) non-PLN-nya bertambah. Jadi, bagaimana antara RUKN dan perpres tak saling bertentangan,” ujarnya.
Batubara
Kendati tuntutan energi bersih kian mendesak, tak dimungkiri, penyediaan listrik saat ini masih bergantung pada batubara. Apalagi, Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor batubara sehingga harganya kompetitif dibandingkan sumber energi lainnya. Energi terbarukan, misalnya, yang masih tergolong mahal dan membutuhkan investasi tak sedikit.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga akhir 2021, dari total kapasitas pembangkit listrik 73.736 megawatt (MW), kapasitas PLTU masih dominan, sekitar 50 persen. Pada bauran energi, penyediaan listrik dengan batubara juga dominan, yakni lebih dari 65 persen.
Oleh karena itu, di tengah keandalan dan keekonomisan batubara yang masih dibutuhkan, transisi energi yang berkelanjutan dan terjangkau mesti disiapkan bertahap dan dikawal bersama. Sejumlah pengembangan pun telah dilakukan, seperti co-firing atau mencampur biomassa dengan batubara dan gasifikasi batubara menjadi dimetil eter (DME).
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin, di sela-sela Indonesia Tin Conference 2022, di Jakarta, Rabu (19/10/2022), mengatakan, bisnis batubara saat ini masih baik, dengan permintaan di atas 600 juta ton. Akan tetapi, teknologi yang lebih bersih terus diupayakan.
”Kita ikut semangat global untuk lebih bersih, tapi realitasnya kita memerlukannya (batubara). Karena itu, kita upayakan (pengembangan) teknologinya dulu agar bisa lebih mengurangai emisi karbon,” kata Ridwan.
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira mengemukakan, transisi energi memang menjadi tantangan ke depan. Dalam prosesnya, segala tahapannya mesti diperhatikan. Terlebih, batubara merupakan sumber daya alam yang melimpah di Indonesia dan mesti dioptimalkan. Strategi transisi energi haruslah tepat. Adapun perusahaan pemasok batubara sudah berkomitmen ke arah energi yang lebih bersih.
”Di asosiasi, kami juga mendorong anggota untuk berinvestasi dan akselerasi. Tinggal bagaimana tantangan ke depan yang mesti dihadapi. Bagaimanapun, akan butuh insentif serta kebijakan yang tepat agar orang mau berinvestasi. Begitu juga offtaker-nya. Jadi, harus komprehensif,” ucap Anggawira.
Mesti terjangkau
Pengamat ekonomi energi yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung, Yayan Satyakti, menilai, kebutuhan energi dan komitmen beralih pada energi hijau tampak bertolak belakang. Pasalnya, pada masa pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19, kebutuhan energi meningkat, sedangkan penyediaannya mau tak mau masih dari energi fosil. Di sisi lain, transisi energi menjadi keniscayaan.
”Yang paling rasional itu dari dulu, ya, gas (energi fosil, tetapi menghasilkan emisi lebih rendah). Apabila gas dipacu, bisa ada pipanisasi gas perkotaan sehingga tak tergantung pada elpiji. Buat saya, yang penting perlu dilihat aspek ekonomisnya. Inovasi-inovasi yang dikembangkan harus mampu dijangkau masyarakat,” katanya.