Respons Kebijakan Kurang Efektif, Kepuasan Publik Menurun
Pemerintah harus mengoptimalkan ruang fiskal yang terbatas dengan lebih berhati-hati menetapkan alokasi belanja. Program perlindungan sosial untuk meredam dampak krisis terhadap masyarakat rentan harus menjadi prioritas.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menurunnya kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah sulit dihindari di tengah imbas ketidakpastian ekonomi dunia. Kehadiran negara, yang diharapkan dapat menjadi tameng atau peredam guncangan saat krisis, kurang dirasakan masyarakat akibat ruang gerak yang terbatas, respons kebijakan yang kontraproduktif, serta tidak efektif.
Hasil jajak pendapat oleh Litbang Kompas menunjukkan, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin menurun cukup signifikan dalam waktu sepuluh bulan terakhir.
Sebagai perbandingan, pada Januari 2022, tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah adalah 73,9 persen, turun menjadi 67,1 persen pada Juni 2022, dan kembali merosot ke 62,1 persen pada Oktober 2022. Dari berbagai sektor, penilaian terburuk ada pada kinerja di bidang ekonomi, dengan tingkat kepuasan 50,8 persen.
Dua isu utama yang menjadi sorotan ketidakpuasan publik adalah kinerja pemerintah dalam mengendalikan harga barang dan jasa (62 persen responden merasa tidak puas) serta kinerja pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja dan mengurangi angka pengangguran (55 persen responden merasa tidak puas).
Menurut Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri, faktor eksternal berupa kondisi perekonomian yang tidak pasti akibat residu dampak pandemi Covid-19, ketegangan geopolitik, serta ancaman resesi global memberi tantangan yang tidak mudah bagi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf di periode kedua ini.
Berbagai gejolak ekonomi itu juga membuat ruang gerak pemerintah lebih terbatas. Apalagi, di tengah pengetatan kebijakan fiskal dan moneter saat ini. Dari segi fiskal, pemerintah harus menjaga defisit APBN di bawah 3 persen untuk mengendalikan utang dan menjaga kesehatan fiskal. Konsekuensinya, belanja lebih dibatasi, termasuk untuk program perlindungan sosial dan berbagai insentif.
Dari segi moneter, Bank Indonesia harus ikut menaikkan suku bunga acuan untuk merespons kebijakan bank sentral negara-negara maju serta untuk mengendalikan inflasi. Ini memberi tekanan pada masyarakat dan pelaku usaha yang memiliki pinjaman kredit di perbankan, serta bisa berdampak pada naiknya harga barang dan jasa di pasaran.
Yose menilai, di tengah ruang gerak yang terbatas itu, pemerintah sudah berupaya keras untuk menjaga agar kondisi ekonomi domestik tidak terlalu terpuruk di tengah gejolak ekonomi global. Namun, ia mencatat ada beberapa kebijakan yang salah langkah, kontraproduktif, dan berujung merugikan perekonomian.
”Meski kondisi kita tidak terlalu buruk dan relatif terkendali, memang perekonomian saat ini sedang bermasalah. Di satu sisi, kita harus fair mengakui bahwa pemerintah sebenarnya tidak hanya diam dan mengambil beberapa tindakan. Apakah langkahnya itu tepat atau tidak, itu isu lain,” katanya, Kamis (20/10/2022).
Salah langkah
Ia mencontohkan, keputusan pemerintah melarang ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) pada awal tahun ini yang justru menurunkan penerimaan pajak negara. Padahal, potensi pemasukan yang tinggi dari ekspor komoditas itu seharusnya bisa diputar untuk menambah anggaran perlindungan sosial dan menjaga masyarakat rentan dari tekanan inflasi.
”Kita ini dirugikan sekaligus diuntungkan (oleh krisis). Tapi pemerintah malah ’membakar’ channel yang menguntungkan itu demi populisme semata, untuk menunjukkan bahwa pemerintah tegas (terhadap pengusaha). Padahal pemasukan itu bisa kita gunakan untuk memberi kompensasi kepada masyarakat dalam menghadapi ancaman imbas resesi,” katanya.
Di satu sisi, kita harus fair mengakui bahwa pemerintah sebenarnya tidak hanya diam dan mengambil beberapa tindakan. Apakah langkahnya itu tepat atau tidak, itu isu lain.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal mengkritisi keputusan pemerintah untuk memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang membuat harga BBM melonjak dan inflasi melejit.
”Seharusnya pemerintah hadir sebagai tameng dan peredam guncangan (shock absorber) saat krisis, tapi pemerintah memutuskan melepas tameng itu. Wajar kalau ada penurunan dari sisi kepuasan publik,” kata Faisal.
Meski pemerintah juga menyediakan kompensasi dan bantuan sosial bagi masyarakat setelah memangkas subsidi BBM, dampaknya tidak dirasakan oleh masyarakat karena masalah klasik buruknya pendataan dan penyaluran bansos di lapangan. ”Masalah ketepatan sasaran, data yang buruk, dan kebijakan yang diburu-buru itu mengurangi efektivitas program,” ujarnya.
Dari sisi penciptaan lapangan kerja, ia menyoroti belum cukup banyaknya pekerjaan yang layak. ”Ini bukan hanya perkara banyak-banyakan lapangan kerja, tetapi apakah lapangan kerja yang ada itu sudah layak untuk meningkatkan taraf hidup warga. Bisa saja pengangguran turun, tapi masyarakat bekerja dengan income lebih rendah atau terserap di sektor informal,” katanya.
Kita cenderung melihat ekonomi secara makro, seolah semua baik-baik saja, tapi luput melihat apa yang sebenarnya dirasakan masyarakat di akar rumput.
Berhati-hati
Menurut dia, pemerintah harus mengoptimalkan ruang gerak fiskal yang terbatas saat ini dengan lebih selektif dan berhati-hati dalam menetapkan alokasi belanja. Program perlindungan sosial untuk meredam guncangan krisis terhadap masyarakat dengan perekonomian rentan harus menjadi prioritas di atas program lainnya yang tidak mendesak.
”Kehadiran pemerintah sebagai shock absorber harus betul-betul dimaksimalkan. Memang tahun depan, ekonomi kita diprediksi masih aman. Tapi itu saja tidak cukup. Boleh saja melakukan normalisasi kebijakan (fiskal), tapi ekonomi di grassroot harus jadi pertimbangan terbesar. Perlu ekstra hati-hati dalam mengurangi belanja bansos dan insentif,” ujar Faisal.
Pemerintah diharapkan tidak terjebak pada indikator makro semata dalam menilai kondisi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi bisa saja terjaga di kisaran 5 persen, Indonesia bisa saja diproyeksikan lepas dari resesi, sementara tekanan biaya hidup yang dirasakan masyarakat sehari-hari semakin berat di tengah inflasi yang bertahap naik dan pendapatan yang stagnan.
”Warga tidak peduli berapa persen pertumbuhan ekonomi, yang penting mereka masih bisa makan. Selama ini, kita cenderung melihat ekonomi secara makro, seolah semua baik-baik saja, tapi luput melihat apa yang sebenarnya dirasakan masyarakat di akar rumput,” ucap Faisal.