Rolls-Royce, perusahaan asal Inggris yang fokus pada bisnis mesin dan teknologi kedirgantaraan sipil, power system, dan pertahanan, kini harus berjibaku menjadi perusahaan yang mendukung karbon netral.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
Rolls-Royce, perusahaan yang paling sering dikaitkan dengan jajaran mobil mewahnya, sebenarnya kini hanya mengoperasikan tiga bisnis inti, yaitu mesin dan teknologi kedirgantaraan sipil, power system, dan alat-alat pertahanan. Sisi produksi mobil motor sudah sepenuhnya dimiliki oleh BMW. Di Indonesia, Rolls-Royce dikenal publik karena mesin dan teknologinya untuk pesawat terbang sejak puluhan tahun.
Rolls-Royce, perusahaan asal Inggris ini, telah beroperasi lebih dari 100 tahun. Di luar berbagai dinamika perusahaan, Rolls-Royce masih harus menghadapi tekanan global untuk mendukung program karbon netral. President Rolls-Royce untuk Southeast Asia, Pacific, dan South Korea Bicky Bhangu menyempatkan berbincang dengan sejumlah jurnalis, termasuk Kompas, Senin (18/10/2022), di Jakarta. Berikut cuplikan wawancaranya terkait bagaimana Rolls-Royce berjibaku dengan dinamika global.
Di tengah tekanan karbon netral yang terjadi di mana-mana, apa strategi yang dilakukan oleh Rolls-Royce?
Kami telah mengumumkan komitmen perusahaan menjadi pemimpin industri manufaktur vital yang mendukung karbon netral. Sebanyak 80 persen dari investasi riset dan pengembangan kami diperuntukkan untuk inovasi teknologi dan mesin yang ramah lingkungan. Beberapa contoh produknya adalah lokomotif kereta yang bertenaga hibrida, listrik dan bahan bakar fosil; microgrid; reaktor modular kecil; dan vertical aerospace. Target kami, perusahaan bisa mencapai karbon netral pada 2050, baik dari produk yang dihasilkan maupun dalam operasional manufaktur kami.
Bagaimana potensi pasar mesin dan teknologi ramah lingkungan Rolls-Royce di Asia Pasifik, khususnya Indonesia?
Setelah COP26, mata seluruh dunia sebenarnya tertuju kepada upaya-upaya mencapai karbon netral. Potensi pasar mesin dan teknologi ramah lingkungan tentu besar. Namun, implementasinya membutuhkan strategi pemerintah tingkat nasional dan strategi perusahaan. Semua strategi itu harus dipersiapkan sejak dini.
Menurut IATA (The International Air Transport Association), Indonesia termasuk pasar aviasi terbesar keenam dunia pada tahun 2030. Tidak ada salahnya, sejak sekarang, Pemerintah Indonesia menyiapkan strategi nasional dan pelaku industri juga. Jika tidak dipersiapkan, akan ketinggalan.
Apa saja tantangan implementasi mesin dan teknologi ramah lingkungan di Asia Tenggara?
Kami butuh kejelasan dari pemerintah, mulai dari regulasi sampai komitmen pelaksanaan, termasuk kejelasan skema pembiayaan hijau dan anggaran pemerintah. Sikap itu diikuti oleh pelaku industri. Inggris ataupun Uni Eropa bisa cepat mengimplementasikan mesin dan teknologi ramah lingkungan karena komitmen itu.
Indonesia pernah memiliki peta jalan ekonomi digital/perdagangan secara elektronik (e-dagang) dan ini ternyata menghasilkan banyak perusahaan e-dagang. Beberapa di antaranya telah menjadi perusahaan rintisan bidang teknologi bervaluasi 1 miliar dollar AS atau unicorn. Hal serupa seharusnya diterapkan di ranah isu karbon netral.
Tantangan berikutnya adalah pendidikan STEM atau science, technology, engineering, and math. Belum semua sekolah sampai universitas sudah optimal menerapkan pendidikan STEM.
Rolls-Royce telah mengembangkan dan membuat teknologi mesin untuk pesawat listrik. Sejauh mana perkembangan inovasi itu dan apa saja tantangannya?
Kami akan kembangkan untuk pesawat jet medium yang mampu mengangkut 82-100 orang penumpang. Mungkin, pesawat terbang yang pas sejauh ini menggunakan model tenaga hibrida antara tenaga listrik dan tenaga berbahan bakar energi fosil supaya jangkauan penerbangannya bisa jauh. Adanya sistem teknologi elektrifikasi yang kami sematkan pada pesawat terbang itu mendukung efisiensi energi. Turbin gas salah satunya dipakai untuk membangkitkan listrik yang energinya bisa disalurkan ke seluruh badan pesawat dan menghasilkan daya dorong.
Namun, kami akui, pengembangan seperti itu, apalagi pesawat terbang listrik, punya tantangan besar, yaitu tingkat kepadatan energi yang seimbang. Bagaimana pesawat terbang bertenaga listrik bisa punya tingkat kepadatan energi yang seimbang dengan pesawat terbang berbahan bakar fosil.
Bagaimana pendapat Anda terhadap industri penerbangan pascapandemi Covid-19?
Industri penerbangan memang terpukul karena adanya pembatasan sosial selama pandemi Covid-19. Pendapatan merosot tajam. Namun, pelaku industri penerbangan, khususnya di subsektor perawatan suku cadang pesawat, tetap laku. Pendapatan penerbangan kargo lebih dahulu pulih dibandingkan penerbangan penumpang.
Apakah Rolls-Royce tidak berkeinginan membangun pabrik manufaktur di Indonesia?
Kami memilih tidak membuka investasi pabrik manufaktur di Indonesia. Sebaliknya, kami fokus memperkenalkan teknologi dan mesin ramah lingkungan kami ke pasar Indonesia.