Industri Asuransi Dituntut Lebih Kuat Hadapi Risiko Resesi
Industri asuransi didorong lebih kuat menghadapi ancaman resesi global mengingat banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi dan belum terprediksi.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Resesi yang mengancam sejumlah negara di dunia pada 2023 menjadi perhatian semua kalangan, tak terkecuali industri asuransi. Dengan berbagai kemungkinan yang belum terprediksi, industri asuransi didorong untuk lebih kuat menghadapi krisis yang lebih besar dibandingkan dengan saat masa pandemi Covid-19.
Pengamat asuransi Irvan Rahardjo berpendapat, industri asuransi harus siap dengan berbagai skenario buruk menghadapi ancaman resesi global. Datangnya resesi akan membuat masyarakat lebih mengutamakan uang tunai sehingga bisa menimbulkan klaim polis asuransi secara massal sebelum jatuh tempo. ”Dalam keadaan krisis, cash is the king, kecenderungan penebusan polis secara massal akan sangat mungkin terjadi,” ujarnya.
Menurut dia, industri asuransi harus mampu menjaga kepercayaan pemegang polis dan meyakinkan mereka bahwa kondisi keuangan akan aman ketika menghadapi krisis global. Nasabah akan melihat peristiwa gagal bayar, seperti asuransi Jiwasraya dan Bumiputera, sebagai kekhawatiran yang kemungkinan bakal terjadi saat resesi global terjadi.
Selain meningkatkan literasi masyarakat, industri asuransi juga perlu melakukan inovasi untuk lebih menjangkau masyarakat yang lebih luas.
Selain itu, kata Irvan, penting untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan nasabah. Berdasarkan survei nasional Sekretariat Dewan Nasional Keuangan Inklusif (S-DNKI) pada tahun 2020, tingkat inklusi masyarakat mencapai 81,4 persen, tetapi literasi keuangan masih rendah.
”Selain meningkatkan literasi masyarakat, industri asuransi juga perlu melakukan inovasi untuk lebih menjangkau masyarakat yang lebih luas,” kata Irvan kepada Kompas, Jumat (14/10/2022).
Dari sisi industri asuransi, saat ini mulai memperlihatkan perkembangan signifikan. Meski dalam keadaan yang masih terkontraksi, sejumlah industri asuransi masih bisa tumbuh positif. Salah satunya BRI Life yang mampu mencatatkan pertumbuhan dalam berbagai aspek.
Direktur Utama BRI Life Iwan Pasila menyebutkan, pendapatan premi baru ekuivalen yang disetahunkan (APE) BRI Life mencatatkan pertumbuhan 42 persen (tahun ke tahun/yoy). Sementara pendapatan premi bruto (GWP) tumbuh lebih dari 40 persen secara tahunan.
”APE kami hingga triwulan III-2022 telah mencapai 2,45 triliun. Sementara GWP mencapai Rp 6,9 triliun,” kata Irvan, saat konferensi pers jelang HUT Ke-35 BRI Life, di Jakarta, Jumat.
Kendati menunjukan pertumbuhan positif, Iwan tetap melihat ancaman resesi global sebagai ketidakpastian yang akan menghadang industri asuransi. Ia mengingatkan pentingnya edukasi kepada para pemegang polis untuk tidak terburu-buru melakukan pengajuan klaim polis asuransi saat resesi terjadi.
Selain itu, pihaknya terus mengedukasi dan memberikan literasi kepada pemegang polis. Meyakinkan pemegang polis bahwa kondisi keuangan masih sehat ketika ada kemungkinan pengajuan klaim polis secara massal. ”Memastikan premi nasabah diinvestasikan kepada korporasi tepercaya menjadi hal penting dilakukan,” ujar Iwan.
Direktur Keuangan BRI Life Lim Chet Ming menyebutkan, total aset BRI Life hingga September 2022 mencapai Rp 21 triliun atau meningkat lebih dari 20 persen secara tahunan. Sementara keadaan keuangan juga baik dengan risk-based capital (RBC) pada tingkat 505 persen.
Dari sisi investasi, hingga akhir September 2022, BRI Life tumbuh 22 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. ”Pertumbuhan ditopang portofolio unitlink yang memberikan hasil investasi atas dana pemegang polis sebesar Rp 190,3 miliar. Sementara untuk non-unitlink mengalami kontraksi,” kata Lim.