Ruang Fiskal Menyempit, Belanja Negara Diarahkan ke Dalam
Di saat krisis, APBN harus memainkan peran yang efektif sebagai peredam guncangan (shock absorber). Salah satu caranya adalah mendorong penyerapan produk dalam negeri lewat belanja barang dan jasa pemerintah.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kondisi fiskal yang terbatas perlu dimaksimalkan untuk menggerakkan perekonomian domestik dan menjaga resiliensi Indonesia di ambang resesi global. Untuk itu, belanja pemerintah harus lebih tajam diarahkan ke dalam negeri untuk menggerakkan sektor riil. Instansi yang realisasi penyerapan produk lokalnya rendah bakal diganjar sanksi.
Di saat krisis, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus memainkan peran yang efektif sebagai peredam guncangan (shock absorber). Apalagi, ketika ruang fiskal semakin menyempit akibat menurunnya potensi penerimaan negara dan kembalinya defisit APBN di bawah 3 persen. Setiap peser kas negara perlu dibelanjakan secara berhati-hati.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata mengatakan, salah satu caranya adalah mendorong penyerapan produk lokal lewat belanja barang dan jasa pemerintah. Itu dapat mendorong perputaran uang di dalam negeri, menggerakkan sektor riil, dan menjaga resiliensi perekonomian Indonesia di tengah kondisi ekonomi dunia yang serba tak pasti.
Sayangnya, per 10 Oktober 2022, realisasi penyerapan produk dalam negeri oleh pemerintah pusat dan daerah melalui instrumen APBN dan APBD baru 44 persen dari komitmen awal senilai Rp 654,3 triliun. Sementara, realisasi serapan produk dalam negeri oleh badan usaha milik negara (BUMN) sedikit lebih baik, yakni 72 persen dari komitmen Rp 296 triliun.
“Ini masih jadi sumber kegalauan kita, kita harus meningkatkan (penyerapan produk dalam negeri) lebih besar lagi. Kalau kita bisa mengarahkan uang negara ini kepada belanja yang bisa menghidupkan ekonomi kita sendiri, di situ fungsi APBN kita berjalan,” kata Isa di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Jakarta, Rabu (12/10/2022).
Dari total belanja APBN 2022 senilai Rp 2.714,2 triliun, potensi penyerapan produk dalam negeri diperkirakan sebesar Rp 357,8 triliun (13,1 persen) yang terdiri dari belanja modal (Rp 202,6 triliun), belanja barang (Rp 154,9 triliun), dan belanja bantuan sosial (Rp 234 miliar).
Sementara, dari total belanja APBD 2022 senilai Rp 1.193,8 triliun, potensi untuk penyerapan produk dalam negeri adalah Rp 389,24 triliun. Terdiri dari belanja modal (Rp 179 triliun), belanja barang dan jasa (Rp 199 triliun), dan belanja bansos (Rp 11,2 triliun).
Isa mengatakan, potensi itu sudah termasuk belanja modal fisik melalui mekanisme tender daring lewat e-Tendering dan e-Catalog untuk kebutuhan pembangunan gedung, bangunan, jalan, dan infrastruktur lainnya. Produk industri kecil dan menengah (IKM) dan usaha mikro kecil menengah (UMKM) akan dipermudah untuk masuk ke dalam katalog belanja pemerintah.
Namun, kurasi standar kelayakan dan kualitas tetap dilakukan sebelum produk bersangkutan dimasukkan dalam katalog. “Ajakan untuk belanja produk dalam negeri ini sebenarnya sudah isu lama, tapi selalu melemah karena dihadapkan pada kualitas barang yang kurang. Sekarang keberpihakan kita dorong, tapi produsen juga harus menjamin kualitas barang,” katanya.
Kalau kita bisa mengarahkan uang negara ini kepada belanja yang bisa menghidupkan ekonomi kita sendiri, di situ fungsi APBN kita berjalan.
Keberpihakan
Sindiran terhadap kementerian/lembaga yang masih sering membeli barang impor untuk memenuhi kebutuhan pengadaan barang dan jasa beberapa kali disampaikan Presiden Joko Widodo. Dalam sejumlah kesempatan, ungkapan “bodoh” sampai-sampai terlontar.
Saat membuka acara Investor Daily Summit 2022 di Jakarta, Selasa (11/10/2022), Presiden kembali meminta agar APBN dan APBD yang susah-payah dikumpulkan dari pajak, royalti, bea ekspor, dan penerimaan negara bukan pajak, tidak dibelanjakan untuk membeli produk impor.
Ia meminta agar jajaran pemerintah di pusat dan daerah memaksimalkan belanja produk dalam negeri. Menurutnya, kalau komitmen penyerapan produk dalam negeri bisa mencapai 100 persen, kondisi itu akan berdampak pada peningkatan kapasitas produksi di kalangan pelaku UMKM (Kompas, 11/10/2022).
Sementara itu, Anggota VII Badan Pemeriksa Keuangan Hendra Susanto menegaskan pentingnya keberpihakan terhadap penyerapan produk lokal dibanding langkah “penghematan” seperti membeli barang impor yang biasanya lebih murah.
“Ketika dibeli negara, produk itu otomatis akan berkembang, dan bergulir menguatkan industri dalam negeri. Ketimbang kalau kita membeli dari negara lain, pajaknya masuk ke mereka, keuntungannya ke mereka, tenaga kerja yang diuntungkan juga tenaga kerja mereka,” kata dia.
Ke depan, akan ada mekanisme “stick and carrot” atau pemberian insentif dan disinsentif atas realisasi serapan setiap kementerian/lembaga dan BUMN. Dalam pemeriksaannya, BPK akan memberi rekomendasi terhadap instansi yang realisasi serapan produk lokalnya rendah. “Yang sudah oke, kita beri reward, yang belum kita beri punishment. Nanti teknisnya diatur dengan Kemenkeu,” ujar Hendra.
Subsidi BBM
Di sisi lain, ada beberapa komponen belanja tertentu yang serapannya sulit ditingkatkan dari dalam negeri karena sumbernya masih bergantung pada impor dari negara lain. Sebagai contoh, alokasi belanja subsidi dan kompensasi bahan bakar minyak (BBM) yang masih bergantung pada impor dan fluktuasi harga minyak dunia.
Ada beberapa komponen belanja tertentu yang serapannya sulit ditingkatkan dari dalam negeri karena sumbernya masih bergantung pada impor dari negara lain.
“Itu cukup besar komponen luar negerinya, karena kita bukan penghasil minyak yang besar, kita masih lebih banyak impor. Ini bisa dikurangi, andai saja kita bisa cepat berganti ke penggunaan energi baru yang dihasilkan dari dalam negeri. Tapi perlu dicatat untuk saat ini masih sulit,” kata Isa.
Di APBN 2023, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi energi sebesar Rp 212 triliun. Anggaran itu berpotensi meningkat, terutama menyusul keputusan negara-negara pengekspor minyak yang tergabung di OPEC untuk memangkas produksi minyak sebanyak 2 juta barrel mulai November 2022, yang bisa berdampak pada naiknya harga minyak dunia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, ada kemungkinan subsidi BBM bisa membengkak seiring dengan pergerakan harga minyak dunia tersebut. “Kebijakan ini tentu kontras dengan harapan negara berkembang agar energi bisa berkeadilan dan terjangkau. Ini catatan buat Indonesia, karena akan sangat berpengaruh pada subsidi energi,” kata dia.
Dampak dari keputusan OPEC itu tengah dicermati oleh Kemenkeu. Saat ditanyakan mengenai dampak dari keputusan OPEC itu terhadap alokasi anggaran subsidi BBM tahun mendatang, Isa mengatakan, perlu ada penyesuaian jika harga terus terkerek tinggi.
“Kita masih terus mencermati tren harga BBM ini, kita belum bisa membuat spekulasi. Karena meski mungkin naik, perkiraan kami, kenaikan itu juga tetap ada batasnya,” ujar Isa.