Kenaikan Tarif Cukai 2023 Ancam Kelangsungan Usaha dan Masa Depan Pekerja Pabrik Rokok
Kenaikan tarif cukai hasill tembakau pada 2023 ancam kelangsungan industri. Gelombang pemutusan hubungan kerja juga diprediksi bakal sulit dibendung sehingga berpotensi meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan.
Pabrik rokok di Sidoarjo, Jawa Timur.
SURABAYA, KOMPAS — Industri hasil tembakau di Jawa Timur khawatir kelangsungan usahanya terancam apabila pemerintah menaikkan tarif cukai pada 2023. Gelombang pemutusan hubungan kerja pada industri hasil tembakau juga diprediksi bakal sulit dibendung sehingga berpotensi meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan.
Kekhawatiran itu mengemuka dalam pertemuan perwakilan industri hasil tembakau Jawa Timur dengan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim di Surabaya, Rabu (12/10/2022). Kalangan pelaku usaha meminta pemerintah mengkaji besaran kenaikan tarif dan memikirkan dampak kebijakan tersebut terhadap dunia industri serta ketenagakerjaan.
”Kontribusi industri pengolah hasil tembakau sangat besar terhadap perekonomian nasional, baik dari besaran cukai yang telah disetorkan sebagai penerimaan negara setiap tahunnya maupun dari sisi penyerapan tenaga kerja karena industri ini merupakan padat karya,” ujar Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur Adik Dwi Putranto.
Adik memprediksi, kondisi ekonomi nasional secara makro pada tahun depan belum bisa pulih seperti sebelum pandemi Covid-19. Bahkan, lebih ekstrem lagi, dia mengatakan bahwa tahun depan kondisi ekonomi masih sulit diprediksi alias gelap. Kondisi itu bisa diperparah seiring datangnya tahun politik.
Baca juga: Penerimaan Cukai Dinilai Bisa Lebih Optimal
”Jika ada kenaikan cukai, pasti akan mengerek inflasi. Dan ketika inflasi naik, daya beli semakin turun sehingga produksi juga merosot. Untuk itu, kami sudah berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo meminta agar kenaikan cukai pada 2023 sebesar nol persen untuk menjaga kestabilan ekonomi,” ujarnya.
Pelaku usaha, terutama industri pengolah hasil tembakau, di Jatim sangat berkepentingan dengan tarif cukai karena ”Bumi Majapahit” ini menjadi provinsi dengan produksi tembakau terbesar di Indonesia. Industri hasil tembakau di Brang Wetan, julukan lain bagi Jatim, juga sangat banyak.
Jika ada kenaikan cukai, pasti akan mengerek inflasi. Dan ketika inflasi naik, daya beli semakin turun sehingga produksi juga merosot.
Jumlah tenaga kerja yang terkait dengan pertembakauan mencapai jutaan orang. Di sektor hulu, misalnya, terdapat petani tembakau, buruh tani, serta penyedia sarana produksi pertanian. Adapun di sektor hilir terdapat pedagang, industri hasil tembakau, pekerja pabrik, hingga para pedagang.
Tak sanggup
Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Jatim Sulami Bahar mengatakan, kondisi industri rokok saat ini sudah tidak kuat lagi menanggung beban biaya produksi yang terus meningkat akibat inflasi dan imbas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Disisi lain, situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih berdampak terhadap penjualan produk di pasaran.
Sulami meminta pemerintah memperhatikan industri hasil tembakau. Apabila harus ada kenaikan tarif cukai, dia berharap angkanya maksimal 6-7 persen. Berdasarkan pada pengalaman tahun 2022, dengan kenaikan tarif cukai sebesar 12 persen, produksi rokok golongan 1 mengalami penurunan sebesar 7 persen.
Baca juga: Dua Wajah Cukai Rokok
Dikatakan, jika tarif cukai kembali naik tinggi, dampaknya nanti akan terjadi penurunan produksi yang semakin besar. Awalnya industri hasil tembakau akan mengurangi jam kerja karyawan.
”Kalau sudah tidak sanggup, ya, larinya ke PHK (pemutusan hubungan kerja). Kami prediksi yang kena PHK bisa sampai 30 persen dari total karyawan,” kata Sulami Bahar yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Kadin Jatim.
Gapero Jatim meminta tidak ada kenaikan tarif cukai hasil tembakau dan tidak ada simplifikasi tarif cukai, baik untuk tarif cukai Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IA dan IB. Selain itu, tidak ada penggabungan volume produksi antara Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan SPM.
Sulami menambahkan pihaknya sudah mengirim surat kepada Gubernur Jatim, Badan Kebijakan Fiskal, Menteri Keuangan, hingga Presiden RI. Gapero juga sudah rapat dengan BKF serta Bea dan Cukai. Artinya, semua ikhtiar sudah dilakukan oleh industri hasil tembakau agar tidak ada kenaikan tarif cukai tahun depan.
Selain berdampak langsung pada industri hasil tembakau, kenaikan tarif cukai menyebabkan kenaikan peredaran rokok ilegal. Penelitian Universutas Brawijaya Malang menunjukkan kenaikan tarif cukai sebesar 1 persen berbanding lurus dengan pertumbuhan 6,8 persen rokok ilegal dan menyebabkan pertumbuhan produksi rokok legal minus 0,4 persen.
Legal Market Sales PT Mustika Tembakau Indonesia Onny Wiryandono mengatakan, pihaknya sangat keberatan dengan rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau karena tahun 2022 ini perusahaan rokok golongan III yang berlokasi di Sidoarjo ini sudah banyak melakukan pengurangan pegawai akibat kenaikan cukai sebesar 12 persen.
”Sehingga di tahun depan kami tidak mau ada kenaikan cukai yang nantinya berdampak pada pengurangan pegawai lebih banyak lagi. PT Mustika Tembakau Indonesia telah mengurangi pegawainya sebanyak 109 dari total karyawan kami yang berjumlah 300 orang pada 2022 ini,” ucap Onny.
”Saat ini, pabrik golongan tiga sudah ada beberapa yang gulung tikar, tetapi di tempat kami tetap bertahan dengan melakukan pengurangan pegawai. Saat ini produksi kami turun sebesar 40 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya,” ujar Onny.
Sementara itu, General Manager Research and Development PT Tri Sakti Purwosari Makmur (KTNG) Oloan Sianturi mengatakan, situasi ekonomi saat ini membuat industri hasil tembakau sangat sulit dan tidak menguntungkan. Daya beli masyarakat masih rendah dan inflasi cukup tinggi.
Hal itu berpengaruh pada produksi yang mengalami penurunan sebesar 7 persen. Kondisi ini diperparah dengan adanya kenaikan bahan baku yang cukup tinggi, seperti harga cengkeh dan tembakau yang mengalami kenaikan 15-20 persen akibat iklim yang tidak bersahabat.
”Sehingga ketika bicara kenaikan cukai, pasti akan sangat memberatkan. Tingkat daya beli masyarakat rendah dan biaya produksi tinggi. Kami berharap pemerintah tetap membuat keseimbangan, satu sisi memikirkan pendapatan negara dan sisi lain memikirkan kami,” kata Oloan.
Pemilik PT Surya Hutama Anugerah, Sandee Surya, yang juga menjabat Divisi Kepemerintahan Asosiasi Pengusaha Vapor Indonesia (APVI) mengeluhkan industri vapor yang merupakan pemain baru dalam industri pertembakauan juga harus mengikuti kebijakan tarif cukai hasil tembakau. Industri vapor dikenakan kenaikan cukai sebesar 17 persen sehingga tarif cukai saat ini mencapai 57 persen.
”Akibat kenaikan cukai sebesar 17 persen saja, industri vapor secara nasional tutup 30 perusahaan. Kalau tahun ini terjadi kenaikan lagi, saya tidak tahu apa yang akan terjadi. Oleh karena itu, kami berharap kenaikan cukai di tahun depan nol persen,” ucapnya.
Baca juga: Belanja Rokok Rp 382.000 Per Bulan, Lebih Tinggi dari Membeli Makanan Bergizi