Masih jomplangnya angka literasi dengan inklusi ini menunjukkan masih banyak masyarakat Indonesia yang baru sekadar mengakses jasa keuangan, namun belum betul-betul memahami cara kerja dan risikonya.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
HUMAS POLRES METRO JAKARTA BARAT
Polres Metro Jakarta Barat menunjukkan barang bukti yang diamankan dari kasus investasi bodong alat kesehatan yang mengatasnamakan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), di Jakarta, Rabu (8/6/2022).
Kesenjangan tingkat literasi dan inklusi keuangan di Indonesia tak kunjung menipis. Tingkat inklusi keuangan selama sembilan tahun terakhir masih sekitar 1,5-2 kali lipat di atas tingkat literasi keuangan.
Mengutip Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 2013 hingga 2019, kesenjangan literasi dan inklusi keuangan tak juga menipis. Pada 2013, selisih antara tingkat literasi dan inklusi keuangan sebesar 37,9 persen yang berasal dari tingkat literasi berada pada level 21,8 persen dan inklusi keuangan pada level 59,7 persen.
Pada 2016, selisih keduanya juga masih lebar, yakni 38,1 persen yang berasal dari tingkat literasi sebesar 29,7 persen dan inklusi sebesar 67,8 persen. Tiga tahun berselang, kondisi tak banyak berubah dengan selisih keduanya mencapai 38,2 persen dengan tingkat literasi 38,2 persen dan tingkat inklusi 76,2 persen.
Tahun ini, OJK juga sudah menjalankan survei tiga tahunan itu. Meski data survei selengkapnya baru akan dirilis secara resmi akhir bulan ini, anggota Dewan Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, sudah membocorkan garis besar hasil survei itu, yakni literasi keuangan pada level 49,9 persen dan tingkat inklusi pada posisi 84,2 persen. Artinya, selisih keduanya mulai mengecil kendati masih tinggi, yakni 34,3 persen.
Masih jomplangnya angka literasi dengan inklusi ini menunjukkan masih banyak masyarakat Indonesia yang baru sekadar mengakses jasa keuangan, tetapi belum betul-betul memahami cara kerja dan risikonya. Dampaknya, konsumen belum betul-betul memahami secara utuh keseluruhan mekanisme layanan jasa keuangan, tempat di mana mereka menjadi nasabahnya.
Rendahnya literasi keuangan ini juga rentan dimanfaatkan penjahat kerah putih berkedok jasa keuangan. Ketidaktahuan masyarakat akan layanan jasa keuangan menjadi celah yang dimanfaatkan bagi para pelaku penipu berkedok investasi bodong dan pinjaman daring ilegal atau kerap disebut pinjol ilegal untuk mengeruk keuntungan secara tak bertanggung jawab dari nasabah.
Literasi keuangan yang rendah tecermin dari ketidakmampuan masyarakat membedakan layanan jasa keuangan yang legal dengan penipu berkedok layanan jasa keuangan yang pastinya palsu.
Data Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi mencatat, sejak 2018 hingga 2022, kerugian nasabah akibat penipuan berkedok investasi mencapai Rp 16,7 triliun. Satgas bukannya berpangku tangan. Sejak 2018 hingga September 2022, Satgas telah menutup 5.468 entitas pinjol ilegal dan penipuan berkedok investasi. Namun, mereka tetap saja tumbuh bak jamur di musim hujan yang terus saja bermunculan.
Selain pemblokiran, salah satu solusi untuk melindungi konsumen dari jebakan penipuan berkedok investasi tak lain adalah edukasi terus-menerus supaya nasabah bisa membedakan layanan jasa keuangan yang legal dengan yang palsu. Semakin melek masyarakat akan literasi keuangan, semakin banyak pula konsumen yang terlindungi atau terhindar daripenipuan ini.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Spanduk ajakan untuk mewaspadai praktik pinjaman online (pinjol) ilegal menghiasi pintu masuk Pasar Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu (14/11/2021). Saat ini setidaknya telah ada lebih dari 19.700 pengaduan pinjol ilegal ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bukan hanya soal bunga tinggi yang tidak disadari oleh nasabah, praktik penagihan utang di pinjol juga seringkali menerapkan intimidasi.
Kedalaman pasar
Tak cuma soal perlindungan konsumen, masih rendahnya literasi keuangan juga berdampak pada rendahnya penetrasi atau dangkalnya kedalaman pasar keuangan kita.
Lembaga riset ekonomi Indonesia Financial Group Progress mencatat, rasio aset industri asuransi terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2020 hanya 8,5 persen. Adapun rasio aset industri dana pensiun terhadap PDB bahkan lebih kecil, yakni 2,7 persen. Dibandingkan keduanya, rasio perbankan masih lebih baik, yakni 59,5 persen dan pasar modal 45,2 persen.
Masih rendahnya rasio aset terhadap PDB ini menunjukkan penetrasi pasar industri jasa keuangan masih kecil. Artinya, pasar keuangan kita masih dangkal. Dunia usaha dan pemerintah menjadi tak punya banyak alternatif pilihan untuk mencari pendanaan. Pasar keuangan Indonesia pun rentan guncangan faktor global yang bisa memicu gejolak sistem keuangan. Dangkalnya pasar keuangan ini juga membuat kontribusi sektor keuangan terhadap PDB rendah sehingga tidak banyak mendorong laju pertumbuhan ekonomi.
Dangkalnya pasar keuangan kita lagi-lagi salah satunya bersumber dari masih rendahnya literasi keuangan. Dengan memahami produk layanan jasa keuangan, semakin banyak pula masyarakat yang akan secara sadar menaruh uangnya di layanan jasa keuangan. Tentu semakin kuat dan semakin dalam pula sistem pasar keuangan Indonesia.
Hal tersebut sudah sangat disadari OJK. Akselerasi literasi dan inklusi keuangan terus dilakukan, baik lewat medium media sosial maupun kunjungan ke daerah. Selain itu, OJK juga sudah menginisiasi Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah yang sudah beroperasi di 450 daerah di 34 provinsi dan 416 kabupaten/kota. Tim ini tak hanya mendorong perluasan inklusi keuangan, tetapi juga mengedukasi masyarakat. Setiap Oktober juga selalu dijadikan OJK sebagai bulan inklusi keuangan yang dimanfaatkan untuk memperluas inklusi dan literasi keuangan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F14%2Fc3037154-6429-4358-b0fc-d2dc19e69175_jpg.jpg){kind=logo}
