Sejumlah lembaga berupaya mengolah, membuka bisnis, dan mendistribusikan makanan dari pihak yang kelebihan ke pihak yang kekurangan. Selain menekan volume sampah makanan, upaya itu dinilai bisa memutus rantai kelaparan.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Melimpahnya sampah makanan di Tanah Air menggerakkan hati sejumlah pihak untuk membuka bisnis, mengolah kembali, dan membagikan makanan berlebih kepada masyarakat yang membutuhkan. Agar kelebihan makanan tidak menjadi sampah, diperlukan kerja sama berbagai pihak untuk membangun jembatan, yakni antara pihak yang kelebihan makanan dan orang yang memerlukannya.
Hasil analisis Kompas menemukan, setiap orang di Indonesia rata-rata membuang makanan senilai Rp 2,1 juta per tahun. Jika dijumlahkan, nilai sampah makanan di Indonesia mencapai Rp 330 triliun per tahun.
Sementara itu, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyatakan, ada 130 juta ton sampah makanan per tahun. Hal ini berdampak pada percepatan pemanasan bumi serta hilangnya kesempatan bagi puluhan juta orang untuk mendapatkan akses pangan.
Calvin Rudolph, Chief Operating Officer Surplus, platform digital penyedia layanan jual beli makanan berlebih, Senin (10/10/2022), berpendapat, populasi orang di Indonesia dan dunia meningkat, tetapi ketahanan pangan tidak signifikan atau bahkan semakin menurun.
Oleh karena itu, usaha menekan agar sampah makanan tidak semakin tinggi merupakan langkah urgen. Menurut Calvin, Surplus menyediakan layanan jual beli makanan berlebih dengan diskon 50 persen dari harga awal. Saat ini terdapat lebih dari 70.000 pengguna aplikasi Surplus.
Usaha rintisan yang berdiri sejak Maret 2021 itu membantu pemilik usaha kuliner dalam menjual makanan yang belum habis. Dengan demikian, makanan yang belum terjual tidak terbuang sia-sia dan menjadi sampah makanan. Sementara pihak lain, yakni konsumen, akan mendapatkan makanan dengan harga lebih murah sekaligus membantu pengurangan sampah makanan.
Hingga saat ini, kata Calvin, sudah ada lebih dari 2.000 pelaku usaha kuliner yang tergabung di aplikasi Surplus. Usaha itu antara lain Flash Coffee, Super Furry, dan Beau Bakery. Sementara hotel yang sudah tergabung antara lain Marriott International, Swiss-Belhotel International, dan Artotel.
Untuk menyeleksi makanan berlebih yang masih layak dijual, Surplus memiliki tim verifikasi yang berfungsi langsung untuk memvalidasi produk makanan tersebut. ”Kami minta sertifikat higienis terkait makanan dari para mitra atau prosedur standar operasi (SOP) apabila tidak memiliki sertifikat tersebut,” ujar Calvin.
Aplikasi ini juga sudah mendapatkan penghargaan dari Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) atas inisiasinya mengedepankan isu food waste bersama dengan mal Sarinah dalam peluncuran program Sarinah Bebas Food Waste di Jakarta serta dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atas konsep sustainable food tourism.
”Sebagai inovasi ke depan, Surplus akan terus mengembangkan fitur-fitur terbaru agar memudahkan pengguna untuk menyelamatkan makanan berlebih,” kata Calvin.
Memiliki visi yang sama dalam hal mengurangi sampah makanan, FoodCycle Indonesia yang merupakan organisasi non-pemerintah dan nirlaba di bidang bank makanan, bekerja sama dengan yayasan atau komunitas yang bergerak di bidang sosial kemanusiaan, menjadi jembatan bagi mereka yang kelebihan makanan dengan mereka yang kekurangan makanan.
General Manager FoodCycle Indonesia Cogito Ergo Sumadi Rasan mengatakan, FoodCycle Indonesia telah mendistribusikan lebih dari 700 ton makanan berlebih kepada lebih dari 191.000 orang melalui 99 yayasan atau komunitas yang disebut dengan front line organization (FLO). ”Perusahaan atau individu yang membantu sudah lebih dari 70 donor,” kata Cogi.
Saat ini, program FoodCycle Indonesia sudah tersebar di wilayah Jabodetabek, Bandung, Semarang, Solo, Purwokerto, Boyolali, Yogyakarta, Surabaya, Banyuwangi, Pasuruan, Lumajang, Bali, Medan, dan Bandar Lampung.
Kukuh Napaki dari Public Relation FoodCycle Indonesia mengatakan, lembaga yang berdiri sejak 2017 ini belum memiliki aplikasi yang bisa diakses publik. Namun, FoodCycle Indonesia sudah memiliki situs web dan media sosial, seperti Instagram, Facebook, LinkedIn, dan Youtube, yang dapat diakses oleh publik. Aktivitas penggalangan dana juga hanya untuk masyarakat tertentu, yakni mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan, khususnya makanan.
”Dengan adanya layanan ini, masyarakat kalangan bawah yang belum pernah merasakan makanan enak dan bergizi dapat menikmatinya. Selain itu, layanan ini juga dapat memutus rantai kelaparan,” ujar Kukuh.
Perlu diperluas
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menyampaikan apresiasinya terhadap sinergi industri ritel dan pangan dalam mendukung upaya pencegahan pembuangan makanan berlebih melalui gerakan Sarinah Bebas Food Waste yang berkolaborasi dengan Surplus.
Arief mengatakan, gerakan menyelamatkan makanan tersebut perlu diperluas untuk mendukung ketahanan pangan di Indonesia. ”Permasalahan sampah makanan ini memang merupakan bagian dari tanggung jawab NFA. Namun, perlu sinergi dan kontribusi seluruh pemangku pangan nasional untuk menekan angka food loss and waste (FLW) di Indonesia,” katanya.
Senada dengan Arief, ekonom Segara Institute, Piter Abdullah mengatakan, fenomena penyelamatan makanan yang mirip dengan di Jepang ini harus dilestarikan. ”Fenomena ini dulu tidak ada bisnisnya, apalagi aplikasinya. Dengan adanya aplikasi yang peduli terhadap makanan berlebih, penjual dan pembeli bisa mendapatkan untung. Nanti pasti ada banyak usaha yang mengikuti fenomena ini,” ujar Piter.