Bisnis Layanan ”Video on Demand” Masih Hadapi Masalah Pembajakan, Monetisasi, dan Regulasi
Pembajakan, kesulitan monetisasi, dan ketidakpastian regulasi pemerintah masih mewarnai perkembangan bisnis platform layanan konten video beraliran langsung atau ”video on demand”.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren penonton layanan konten video beraliran langsung atau video on demand diyakini akan terus bertambah. Kemudahan akses menjadi pemicu. Meski demikian, industri ini masih bergulat dengan masalah pembajakan, kesulitan monetisasi, dan ketidakpastian regulasi pemerintah.
President Director Clarity Research Indonesia Bettina Cavenagh, yang dijumpai di sela-sela diskusi ”Indonesia in View” di Jakarta, Kamis (6/10/2022), mengatakan, penyedia layanan konten video on demand muncul di Indonesia sejak 2013, dimulai dari pemain lokal, regional, hingga global. Pada kurun tahun 2016–2019, pemain regional marak, di antaranya Viu dan Iflix. Sejak saat itu sampai sekarang, pemain global berdatangan masuk Indonesia, seperti HBO Go, Disney Plus, dan Amazon Prime Video.
Mereka menangkap animo masyarakat Indonesia yang semakin terbiasa dengan komunikasi melalui internet. Sayangnya, tidak semua di antara penyedia layanan konten video on demand tersebut bertahan. Sebagai contoh, Hooq dan Tribe.
Jika dilihat dari sisi layanan konten video on demand dengan mekanisme berlangganan atau subscription video on demand (SVOD), Bettina menyampaikan, jumlah warga Indonesia yang berlangganan mengalami kenaikan dari tahun 2016 hingga 2021. Tahun 2016, jumlah pengguna SVOD sekitar 200.000, kemudian tahun 2021 mencapai 11,5 juta pengguna.
Akan tetapi, perolehan pendapatan masih rendah. Pada tahun 2021, khususnya, total pendapatan SVOD diperkirakan 172 juta dollar AS. ”Monetisasi memang masih menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi mereka. Ketika rerata pendapatan per pengguna (ARPU) SVOD dibandingkan dengan layanan televisi berbayar/televisi kabel, ARPU bulanan SVOD tahun 2021 masih berkisar 1,67 dollar AS atau sekitar Rp 26.212,32 dan ARPU bulanan layanan televisi berbayar/televisi kabel 9 dollar AS atau Rp 141.624,” ujar Bettina.
Permasalahan lain yang masih dihadapi oleh penyedia layanan konten video on demand adalah pembajakan dan ketidakpastian regulasi. Dia mengatakan, meski Pemerintah Indonesia berusaha melakukan blokir konten, masih ada laman-laman yang menyediakan konten bajakan.
Dari sisi regulasi, Pemerintah Indonesia mewajibkan seluruh penyelenggara sistem elektronik melakukan pendaftaran. Kebijakan ini termasuk menyasar penyedia layanan video on demand. Namun, pelaksanaan wajib pendaftaran itu diwarnai oleh dinamika.
”Belum lagi ketidakjelasan kelanjutan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik. Ada pula Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang belum jelas seperti apa peraturan turunannya, sementara di antara penyedia layanan berasal dari luar negeri,” kata Bettina.
Chief Executive Officer Asia Video Industry Association (AVIA) Louis Boswell berpendapat, ongkos produksi konten orisinal semakin mahal. Apalagi, jika produksi menggunakan teknologi terkini. Ditambah lagi, para rumah produksi bersama penyedia platform harus berkompetisi mencari talenta yang andal. Di sisi lain, konsumen di Indonesia semakin haus konten-konten original yang kreatif dan berkualitas.
”Namun, tidak semua di antara pengguna itu memiliki daya beli yang bagus. Ada kecenderungan konsumen konten video on demand tidak bersedia membayar biaya berlangganan. Akibatnya, sampai saat ini penyedia platform layanan video on demand di Indonesia masih berjuang mencari model bisnis yang tepat agar tetap bisa bertahan,” ujar Louis.
Sementara itu, Managing Director Vidio Monika Rudijono mengatakan, pengalaman di Vidio menunjukkan penonton konten video streaming meningkat selama pandemi Covid-19. Pembatasan sosial membuat warga lebih banyak berada di rumah sehingga mereka cenderung memilih hiburan berupa konten video streaming. Namun, setelah pembatasan sosial melonggar, kebiasaan itu tetap berlanjut.
Tidak semua di antara pengguna itu memiliki daya beli yang bagus. Ada kecenderungan konsumen konten video on demand tidak bersedia membayar biaya berlangganan.
”Jumlah penonton konten video streaming di Vidio tetap naik seusai pandemi Covid-19. Kehadiran aplikasi konten video streaming tidak mengganggu pangsa pasar konten penyiaran di televisi terestrial ataupun televisi berbayar. Aplikasi kami malah tersedia di sistem televisi berbayar dan di dalam aplikasi kami tersedia 50 lebih kanal stasiun televisi terestrial, seperti SCTV,” ujarnya.
Menurut Monika, isu terbesar yang dihadapi pelaku industri konten video streaming di Indonesia adalah pembajakan. Isu ini telah mengemuka sebelum pandemi Covid-19. Beberapa konten olahraga atau konten original yang diproduksi mengalami pembajakan, lalu hasilnya disebarluaskan di media sosial dan aplikasi pesan instan.
”Sejauh ini kami menetapkan metode berlangganan agar pengguna kami bisa mendapatkan konten premium, termasuk konten orisinal yang kami produksi sendiri. Itu pun biaya berlangganan (kami rasa) masih terjangkau, seperti paket platinum seharga Rp 29.000 per bulan. Isu terbesar tetap pembajakan (bukan biaya berlangganan),” katanya. Vidio juga memiliki mekanisme bebas biaya berlangganan, tetapi pelanggan harus siap dengan adanya sisipan iklan.