Google Buka Program Akselerasi Bisnis bagi ”Start Up” Ekonomi Sirkular
Ekonomi sirkular adalah kunci untuk mencapai karbon netral. Setengah dari karbon emisi berasal dari konsumsi energi dan setengahnya lagi berasal dari produksi ditambah pembuangan material.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Google meluncurkan Google for Start Ups Accelerator: Circular Economy yang pertama untuk kawasan Asia Pasifik dan Amerika Utara. Program ini merupakan program akselerasi kapasitas usaha yang khusus ditujukan bagi perusahaan rintisan dan organisasi nirlaba yang bergerak memanfaatkan teknologi digital untuk kegiatan ekonomi sirkular.
Google for Start Ups Accelerator: Circular Economy akan diisi kegiatan pendampingan dan dukungan teknis, baik dari insinyur Google maupun pakar di luar Google. Total durasi pembelajaran selama 10 minggu mulai Februari 2023. Pendaftaran dibuka mulai 4 Oktober sampai 14 November 2022.
Managing Director GTech Sustainability Google Estee Cheng, dalam wawancara virtual dengan sejumlah media nasional dari negara Asia Pasifik, Selasa (4/10/2022), mengatakan, dampak perubahan iklim merupakan kondisi yang harus dihadapi masyarakat sekarang. Bagi Google, pendekatan ekonomi sirkular adalah satu dari tiga cara prioritas perusahaan untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan menuju perusahaan yang mendukung lingkungan berkelanjutan.
Menurut Forum Ekonomi Dunia (WEF), pada tahun 2022, permintaan global akan sumber daya alam diproyeksikan menjadi 1,75 kali lipat dari yang dapat diregenerasi oleh ekosistem bumi dalam setahun. Sementara menurut Bank Dunia, sebagian besar dari sumber daya alam yang diekstrak dan digunakan akhirnya menjadi limbah dan menambah lebih dari 2 miliar ton limbah padat yang dihasilkan setiap tahun.
Kawasan Asia Pasifik dinilai sebagai kawasan yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sebanyak 90 persen dari semua plastik di lautan berasal dari sungai dan sungai di kawasan tersebut.
”Ekonomi sirkular adalah kunci untuk mencapai karbon netral. Setengah dari karbon emisi berasal dari konsumsi energi dan setengahnya lagi berasal dari produksi ditambah pembuangan material, seperti besi, aluminium, plastik, dan makanan,” ujar Estee saat menjelaskan mengapa program akselerasi Google memilih tema ekonomi sirkular.
Head of Startup Ecosystem SEA, SAF, and Greater China Region Google Thye Yeow Bok menjelaskan, dalam program Google for Start Ups Accelerator: Circular Economy, Google akan lebih banyak berperan sebagai fasilitator dan pendamping teknis. Peserta bisa menggunakan teknologi-teknologi Google sebagai bagian dari pengembangan inovasi mereka.
Melalui program ini pula, Google berusaha menjembatani perusahaan rintisan bidang teknologi kepada investor potensial. Thye menyebutkan, Google menargetkan bisa memperoleh 10–15 perusahaan rintisan dan organisasi nirlaba asal Asia Pasifik dan Amerika Utara sebagai peserta program ini.
Ketika ditanya mengapa baru sekarang Google membuka program akselerasi untuk kawasan Asia Pasifik dan Amerika Utara, dia menuturkan bahwa saat ini merupakan momentum yang pas. Mengutip laporan ”The Landscape for Impact Investing in Southeast Asia” yang dikeluarkan Global Impact Investing Network dan Intellecap (2018), total investasi berdampak (impact investing) di Asia Tenggara mencapai 6,7 miliar dollar AS pada 2017–2019. Sementara dalam kurun waktu 2007–2016, total investasi berdampak di Asia Tenggara mencapai 11,3 miliar dollar AS.
Investasi berdampak merupakan investasi yang dilakukan ke dalam perusahaan dengan tujuan untuk menghasilkan dampak sosial dan lingkungan yang positif dan terukur, di samping pengembalian finansial.
Bendahara Asosiasi Modal Ventura untuk Start Up Indonesia (Amvesindo) Edward Ismawan Chamdani saat dihubungi terpisah mengatakan, di Indonesia, beberapa perusahaan modal ventura lokal dan regional telah memfokuskan strategi penyuntikan investasi mereka kepada perusahaan rintisan yang bergerak dalam ekonomi sirkular. Fenomena ini telah terjadi 3-4 tahun terakhir.
”Inisiatif program akselerasi seperti itu diharapkan bisa menjangkau perusahaan rintisan bidang teknologi yang berasal dari luar Jawa. Berdasarkan pengamatan kami, kesiapan pendiri perusahaan rintisan ataupun paparan terhadap mereka itu masih kurang. Padahal, ide mereka, termasuk inovasi ekonomi sirkular, tak kalah bagus,” ujar Edward.
Untuk penyertaan investasi berdampak, Edward menambahkan, standar pengukuran performa perusahaan modal ventura yang diminta ke perusahaan rintisan mengikuti standar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) atau Environmental, Social, and Governance (ESG). Sebab, standar itu juga dipakai oleh perusahaan besar yang menggelontorkan dana ke perusahaan modal ventura.
”Target meraih untung tetap diminta perusahaan modal ventura, tetapi tidak seagresif biasanya (investasi ke perusahaan rintisan umum),” katanya.
Berdasarkan laporan ANGIN bertajuk ”Investing in Impact in Indonesia 2020”, aktivitas investasi berdampak di Indonesia telah berkembang signifikan sejak 2013. Baik investor berdampak maupun investor arus utama terus meningkatkan kegiatan investasi mereka di Indonesia, seiring maraknya kemunculan wirausaha sosial.
Berdasarkan laporan itu pula, pada tahun 2020 terdapat 66 investor yang mengklaim diri sebagai investor berdampak. Pada tahun yang sama, terdapat 107 investor arus utama yang mulai berinvestasi ke usaha rintisan di bidang ekonomi hijau. Contoh pemilik modal di belakang aktivitas investasi berdampak di Indonesia adalah CocaCola, Unilever, Ford Foundation, Rockefeller Foundation, dan DFAT Australia.