Dibayangi Rencana Pemotongan Produksi, Harga Minyak Mentah Kembali Naik
Harga minyak mentah dunia masih fluktuatif. Apalagi, OPEC+ dikabarkan akan mempertimbangkan pengurangan produksi minyak hingga 1 juta barel per hari.
Oleh
MEDIANA, ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berdasarkan laman Bloomberg, harga minyak mentah jenis Brent kembali naik ke level 89 dollar AS per barel setelah dalam beberapa pekan terakhir bertahan di kisaran 85 dollar AS per barel. Kenaikan harga dipicu, salah satunya, oleh rencana anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk memotong produksi minyak hingga 1 juta barel per hari.
Mengutip AFP, Selasa (4/10/2022), OPEC bersama sejumlah negara produsen minyak non-OPEC yang dipimpin Rusia (kemudian dikenal sebagai OPEC+) berencana menyelenggarakan pertemuan pada Rabu (5/10/2022) di Wina, Austria, waktu setempat. Sejumlah analisis memperkirakan pertemuan tersebut akan membahas rencana pemotongan produksi minyak hingga 1 juta barel per hari mulai November 2022.
”Ada banyak desas-desus tentang bagaimana aliansi (OPEC+) akan menanggapi prospek ekonomi yang memburuk dan harga yang lebih rendah,” kata Craig Erlam, analis di platform perdagangan OANDA.
Menurut Erlam, ada sinyal pemotongan produksi minyak yang lebih besar dalam waktu dekat. Pertanyaannya adalah apakah rencana pemotongan itu mampu mengimbangi merosotnya permintaan minyak yang ditimbulkan oleh resesi global. Setelah sempat mendekati level 140 dollar AS per barel sejak serangan Rusia ke Ukraina, harga minyak terus merosot hingga di bawah 90 dollar AS per barel.
Dampak di Indonesia
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan, saat dihubungi, di Jakarta, Selasa, berpendapat, sektor hulu dan hilir dipastikan akan terdampak dengan fluktuatifnya harga minyak mentah dunia. Perusahaan hulu minyak dan gas bumi (migas) akan benar-benar memperhitungkan rencana kerja mereka selama satu tahun yang disepakati Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
”Ketika harga minyak turun, maka akan berpengaruh terhadap kinerja dan optimalisasi produksi migas sehingga pengusaha akan berhitung ulang tentang nilai keekonomian. Jika kurang ekonomis, mereka akan mengurangi kegiatan produksi yang bisa berdampak terhadap lifting migas nasional. Jika harga cukup tinggi, mereka akan semangat mengoptimalkan produksi migas nasional,” ujar Mamit.
Dari sisi hilir, kata Mamit, fluktuasi harga minyak mentah berdampak terhadap harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM). Untuk BBM bersubsidi, yakni pertalite dan biosolar, kenaikan harga minyak mentah berpotensi menyebabkan anggaran subsidi dan kompensasi energi membengkak.
Untuk BBM non-subsidi, situasi naik turunnya harga minyak mentah seperti sekarang akan mendorong fluktuasi harga jual eceran BBM makin sering terjadi. Dengan demikian, masyarakat perlu terbiasa dengan naik turunnya harga BBM non-subsidi di masa mendatang.
”Tidak ada yang benar-benar mampu memproyeksikan harga minyak mentah dunia. Ini menjadi tantangan bagi Indonesia yang sekarang telah menjadi negara pengimpor bersih (net importer) minyak, semisal dalam merumuskan harga acuan minyak di APBN untuk setahun anggaran,” ujar Mamit.
Menurut Mamit, dengan situasi semacam ini, salah satu opsi yang bisa dicoba Indonesia adalah menyiapkan skema petroleum fund yang dananya berasal dari kegiatan hulu migas. Dana ini disimpan sebagai dana cadangan atau bantalan jika tiba-tiba terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia sehingga penyesuaian harga tidak memberatkan masyarakat.
Dana seperti itu juga bisa digunakan untuk riset dan pengembangan teknologi di hulu migas dan energi terbarukan. Dampaknya pun bisa menyasar ke devisa negara. Penyusunan petroleum fund sebaiknya dimasukkan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
”Pada saat bersamaan, pemerintah perlu memperbaiki mekanisme kriteria penyaluran subsidi energi supaya realisasinya tepat sasaran,” kata Mamit.