OJK akan terus berupaya untuk menjaga pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai dengan sasaran pemerintah, yaitu mencapai tingkat pertumbuhan.
Oleh
ANASTASIA JOICE TAURIS SANTI
·2 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pengendara antre untuk mengisi BBM di SPBU yang berada di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Senin (3/10/2022). Badan Pusat Statistik mengumumkan tingkat inflasi pada September 2022 sebesar 1,17 persen, sedangkan secara tahunan, inflasi tercatat 5,95 persen. Sejumlah komoditas utama penyumbang inflasi antara lain harga BBM, beras dan angkutan dalam kota.
JAKARTA, KOMPAS — Kekhawatiran akan resesi global semakin tampak nyata. Ada kemungkinan, resesi tersebut terjadi lebih cepat daripada yang selama ini diperkirakan. Seberapa besar resesi yang akan terjadi dan berapa lama hal itu akan terjadi masih belum dapat diprediksi. Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan tetap baik.
”Kita pahami bahwa resesi global hampir pasti akan terjadi, setidaknya pada 2023. Kalau tidak, lebih cepat lagi. Prakiraan dari perekonomian Indonesia untuk tahun ini dan tahun depan tetap akan tumbuh pada tingkat yang tidak berbeda dengan perkiraan, yaitu di atas 5 persen. Oleh karena itu, kita harus melihat dua kondisi itu dalam perspektif yang lengkap,” kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar optimistis dalam jumpa pers Rapat Dewan Komisioner September, Senin (3/10/2022), di Jakarta.
Mahendra memastikan, OJK akan terus berupaya untuk menjaga pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai dengan sasaran pemerintah, yaitu mencapai tingkat pertumbuhan. Mahendra belum dapat merinci terkait dengan relaksasi yang akan diberikan oleh OJK.
Salah satu kebijakan OJK yang mungkin akan diperpanjang adalah restrukturisasi kredit perbankan. Perpanjangan ini dilakukan karena kondisi perekonomian Indonesia yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19, juga tantangan global.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menambahkan, ada beberapa komponen yang masih harus dipertimbangkan untuk memperpanjang kebijakan tersebut.
”Kami sedang melakukan analisis akhir. Saya yakin, kalau melihat ekonomi yang belum lepas dari Covid-19 dan tantangan global, tampaknya akan diperpanjang,” ujar Dian.
Namun, kebijakan ini tidak akan diberlakukan secara massal, tetapi dengan sasaran tertentu, seperti mempertimbangkan secara sektoral, geografis, juga jenis kreditornya.
”Kita tidak ingin kebijakan normalisasi kredit membahayakan pertumbuhan ekonomi. Mandat kita jelas, menjaga stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, ada kontribusi signifikan terhadap ekonomi,” kata Dian.
Terus pulih
Kinerja perekonomian yang solid turut menjaga kinerja di pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) relatif lebih baik jika dibandingkan dengan bursa di kawasan. Hingga akhir September 2022, IHSG turun 1,92 persen sepanjang September. Sementara dari awal tahun, indeks menguat 6,98 persen dengan investor nonresiden membukukan pembelian bersih sebesar Rp 69,47 triliun.
Di pasar surat berharga negara (SBN), para investor nonresiden keluar dari pasar surat utang pada September lalu, mencatatkan arus dana keluar sebesar Rp 18,84 triliun. Dengan begitu, rata-rata imbal hasil SBN naik sebesar 30,10 basis poin sepanjang September pada seluruh tenor.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Inarno Djajadi mengatakan, penghimpunan dana di pasar modal masih tinggi, yakni sebesar Rp 175,34 triliun dengan 48 emiten baru.