Target Kurang Realistis, Butuh Kerja Lebih Keras untuk Tekan Kemiskinan
Ikhtiar menekan kemiskinan secara ekstrem bisa dipersulit dengan potensi meningkatnya garis kemiskinan seiring kenaikan inflasi. Dibutuhkan langkah terobosan berlapis untuk menurunkan angka kemiskinan sampai 7,5 persen.
Oleh
AGNES THEDOORA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Target pemerintah untuk menekan tingkat kemiskinan hingga 7,5 persen dinilai kurang realistis di tengah ancaman resesi dunia dan belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang semakin ketat. Registrasi Sosial-Ekonomi atau Regsosek sebagai ”senjata” andalan pemerintah adalah langkah terobosan yang penting, tetapi tidak cukup untuk menekan angka kemiskinan secara ekstrem.
Sejalan dengan pembenahan data sasaran penerima bantuan sosial lewat Regsosek, diperlukan langkah terobosan lain untuk menciptakan lapangan kerja yang layak, meningkatkan standar pendapatan masyarakat, serta menjaga daya beli warga lewat instrumen perlindungan sosial (perlinsos) yang lebih kuat.
Ikhtiar pemerintah untuk menekan angka kemiskinan secara drastis itu terlihat dalam postur APBN Tahun 2023 yang disahkan di Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis (29/9/2022). Pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan pada tahun depan akan turun di kisaran 7,5 persen sampai 8,5 persen.
Itu merupakan target angka kemiskinan paling ambisius yang pernah disasar pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sebagai gambaran, tingkat kemiskinan terakhir per Maret 2022 adalah 9,54 persen atau 26,16 juta orang. Sementara angka kemiskinan paling rendah di Indonesia sejauh ini adalah 9,22 persen (24,79 juta orang), yang dicapai pada September 2019.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal, Minggu (2/10/2022), target kemiskinan 7,5 persen sampai 8,5 persen itu akan sulit dicapai di tengah kondisi perekonomian global yang masih tak tentu serta ruang fiskal yang semakin terbatas akibat ditekannya defisit APBN di bawah batas 3 persen, yaitu 2,84 persen.
”Terus terang, tidak realistis. Tanpa ada kenaikan inflasi tahun ini pun, target itu sudah jauh lebih tinggi daripada kondisi prapandemi. Padahal, scarring effectpandemi masih besar. Belum lagi efek inflasi yang terus naik akibat gejolak ekonomi dunia, juga inflasi yang didorong oleh kebijakan pemerintah sendiri, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi,” katanya.
Sebelumnya, ditemui seusai pengesahan Rancangan APBN 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah yakin mampu mencapai target angka kemiskinan dengan bantuan program Regsosek, yang pengumpulan datanya akan dimulai 15 Oktober-14 November 2022 ini.
Dengan Regsosek, kondisi sosial-ekonomi seluruh masyarakat bisa terpetakan dan penyaluran bantuan sosial lebih tepat sasaran. ”Dengan data tersebut, semua instrumen di APBN kita bisa jauh lebih terfokus kepada kelompok miskin atau daerah miskin,” kata Sri Mulyani (Kompas, 30/9/2022).
Tidak cukup
Faisal menilai, Regsosek merupakan terobosan yang penting. Namun, itu saja tidak cukup untuk menurunkan angka kemiskinan secara ekstrem dari 9,54 persen menjadi 7,5 persen. Sebab, pengentasan rakyat dari kemiskinan tidak hanya bergantung pada perlinsos yang sifatnya jangka pendek untuk menambal daya beli masyarakat.
Scarring effectpandemi masih besar. Belum lagi efek inflasi yang terus naik akibat gejolak ekonomi dunia, juga inflasi yang didorong oleh kebijakan pemerintah sendiri, seperti kenaikan harga BBM bersubsidi.
”Ini bukan hanya masalah mengutak-atik intervensi bansos, melainkan juga bagaimana instrumen jangka panjang melalui penciptaan lapangan kerja yang layak dan peningkatanincomemasyarakat untuk benar-benar mengentaskan (rakyat dari) kemiskinan. Itu juga harus jadi perhatian,” ujarnya.
Ia khawatir, dengan normalisasi kebijakan fiskal tahun depan, belanja APBN akan banyak dipangkas, termasuk stimulus dan insentif yang sifatnya produktif untuk usaha mikro dan kecil. ”Ada berlapis-lapis kebijakan yang harus ditempuh untuk menekan angka kemiskinan secara ekstrem, tetapi ruang fiskal kita terbatas,” kata Faisal.
Di sisi lain, instrumen perlinsos juga butuh perbaikan ekstra di luar upaya pembenahan data lewat Regsosek. Masih ada persoalan sulitnya akses dan distribusi bansos, khususnya ke kelompok miskin ekstrem serta masyarakat terluar dan terpencil.
Ada pula aspek lain, seperti jumlah penerima manfaat dan nilai bantuan langsung tunai (BLT) yang disalurkan. Ekonom Core Indonesia, Yusuf Randy Manilet, mengatakan, postur perlinsos di APBN 2023 belum cukup antisipatif untuk menghadapi tantangan tahun 2023 yang berat.
Ia menyoroti jumlah penerima bansos yang tetap sama, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) yang masih sebanyak 10 juta kelompok penerima manfaat (KPM). ”Padahal, selama pandemi, jumlah orang miskin bertambah. Dengan jumlah KPM yang masih sama, bisa dilihat kalau instrumen perlinsos kita belum cukup adaptif,” kata Yusuf.
Ikhtiar menekan angka kemiskinan juga dapat dipersulit dengan potensi meningkatnya garis kemiskinan seiring kenaikan inflasi. Menurut Faisal, dengan inflasi yang mencapai 4,69 persen (Agustus) dan oleh Bank Indonesia diperkirakan mencapai 5,88 persen (September), batas garis kemiskinan akan meningkat.
”Semakin banyak orang yang sebelumnya hanya di sekitar garis kemiskinan akan jatuh ke bawah garis kemiskinan. Dengan inflasi tahun ini dan kenaikan harga BBM, bisa jadi (jumlah orang miskin) lebih tinggi dari kondisi pandemi,” katanya.
Ikhtiar menekan angka kemiskinan juga dapat dipersulit dengan potensi meningkatnya garis kemiskinan seiring kenaikan inflasi.
Dalam laporan ”Reforms for Recovery: East Asia and Pacific Economic”, Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan ekstrem dan kelas masyarakat berdasarkan standar paritas daya beli (purchasing power parities/PPP) atau keseimbangan kemampuan berbelanja tahun 2017, menggantikan PPP 2011.
Berdasarkan standar itu, garis kemiskinan ekstrem naik dari 1,9 dollar AS per hari atau sekitar Rp 28.969 menjadi 2,15 dollar AS per hari atau Rp 32.781. Dampaknya, 13 juta warga kelas menengah-bawah di Indonesia turun kelas menjadi masyarakat miskin.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, seperti biasa, garis kemiskinan akan rutin dievaluasi setiap tahun sesuai standar indeks biaya hidup yang diterapkan Badan Pusat Statistik (BPS). Ia meyakini, perubahan batas garis kemiskinan oleh Bank Dunia tidak akan banyak berdampak pada target pemerintah tahun depan.
”Kita memang lakukan evaluasi garis kemiskinan setiap tahun, kita pastikan sesuai dengan minimum standar hidup terbaru,” katanya.
Sementara, menurut Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata, evaluasi garis kemiskinan akan dibahas lintas kementerian. Standar yang ditetapkan Bank Dunia akan menjadi salah satu pertimbangan, tetapi ia belum bisa memastikan jika Indonesia akan mengikuti standar Bank Dunia.
Selama ini, BPS memang menggunakan penghitungan garis kemiskinan yang berbeda dengan Bank Dunia. ”Ini akan jadi bahan evaluasi dan diskusi di kabinet. Mau berubah ataupun tidak, pasti akan tetap ada review terhadap Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS),” ujar Isa.