Presiden: Inflasi Berisiko akibat Ekonomi Tahun Depan yang Lebih Tak Bisa Diprediksi
Pemerintah daerah diminta bersama-sama pemerintah pusat mengatasi inflasi. Selain menjaga pasokan pangan strategis, instrumen fiskal dan moneter perlu segera dimanfaatkan.
Oleh
NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menilai pengendalian inflasi di Indonesia harus dilakukan secara bersama, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Instrumen fiskal dan moneter dikelola secara beriringan. Selain itu, biaya transportasi dan persediaan bahan pangan strategis perlu dikelola. Hal itu karena ekonomi tahun depan yang diperkirakan tak bisa lebih diprediksi lagi kondisinya.
Hal ini disampaikan Presiden dalam pengarahan kepada Gubernur, Bupati, dan Wali Kota serta para menteri di Jakarta, Kamis (29/9/2022). Pengarahan ini terkait dengan pengendalian inflasi di daerah, penyasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem, dan tindak lanjut aksi afirmasi bangga buatan indonesia.
Hadir dalam acara ini, antara lain, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Menko Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah.
Selain mengingatkan ketidakpastian global dan risiko krisis pangan, energi, dan finansial, Presiden menambahkan, setelah tahun ini yang dinilai sulit, tahun depan lebih tidak bisa diprediksi. Hal ini membawa masalah inflasi yang dihadapi semua negara.
”Karena itu, kita harus kompak dan bersatu dari pusat, provinsi, kabupaten, kota sampai ke bawah dan semua kementerian/lembaga, seperti saat kita kemarin menangani Covid-19. Urusan inflasi juga harus bersama-sama. Setuju?” tutur Presiden yang disambut seruan setuju dari para kepala daerah.
Karena itu, kita harus kompak dan bersatu dari pusat, provinsi, kabupaten, kota sampai ke bawah dan semua kementerian/lembaga, seperti saat kita kemarin menangani Covid-19. Urusan inflasi juga harus bersama-sama. Setuju?
Presiden menambahkan, negara lain lebih mengutamakan kenaikan tingkat suku bunga dalam mengatasi inflasi. Harapannya, dengan mengerem kredit, uang di masyarakat juga ditahan dan inflasi bisa turun.
Namun, menurut Presiden, teori-teori tersebut tidak menjamin inflasi turun. Karena itu, di Indonesia, instrumen fiskal dan moneter akan berjalan beriringan. ”Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Kemenko, semua berjalan beriringan dan rukun tanpa mengintervensi independensi BI,” ujarnya.
Lebih penting lagi, menjaga harga-harga komoditas pangan startegis masyarakat dinilai lebih penting. Harga beras, cabai merah, bawang merah, telur, serta tahu tempe menjadi penting.
Dicontohkan, ketika harga cabai merah tinggi karena produksi berkurang, para kepala daerah bisa mengajak petani menanam cabai.
Selain itu, untuk memastikan pasokan cabai merah cukup, pasokan bisa diambil dari daerah lain yang menghasilkan komoditas ini. Adapun biaya transportasinya ditanggung APBD melalui dana transfer umum atau belanja tak terduga. Dengan demikian, pasokan komoditas tersebut bisa memadai dan harga turun.
”Ini sebetulnya hal yang tidak sulit. Hanya kita mau kerja detail atau enggak,” ucap Presiden lagi.
Presiden juga meminta para kepala daerah tidak ragu menggunakan alokasi belanja tak terduga dan dana transfer umum. Sebab, sudah ada Peraturan Menteri Keuangan dan Surat Edaran dari Menteri Dalam Negeri. Presiden juga menyatakan sudah menyampaikan hal ini kepada Kejaksaan Agung dan KPK.
Pengendalian terus-menerus
Sebelumnya, dalam laporannya, Luhut mengatakan, harga pangan strategis masih perlu diperhatikan kendati sejauh ini inflasi indeks harga konsumen Agustus melambat menjadi 4,69 persen (yoy). Peningkatan persediaan di sentra-sentra produk komoditas dan tambahan upaya untuk mengendalikan inflasi pusat dan daerah tetap perlu dilakukan secara menerus.
Penyaluran bantuan sosial, seperti bantuan langsung tunai bahan bakar minyak (BLT BBM) dan bantuan subdisi upah (BSU) terus berjalan. BLT BBM tahap pertama dengan total anggaran Rp 5,6 triliun telah disalurkan 96,6 persen kepada 19,95 juta keluarga penerima manfaat.
Di sisi lain, penyaluran bantuan sosial, seperti bantuan langsung tunai bahan bakar minyak (BLT BBM) dan bantuan subdisi upah (BSU) terus berjalan. BLT BBM tahap pertama dengan total anggaran Rp 5,6 triliun telah disalurkan 96,6 persen kepada 19,95 juta keluarga penerima manfaat. Sementara BSU baru disalurkan kepada lebih dari 7 juta pekerja atau 48,3 persen.
Adapun realisasi penggunaan 2 persen dari dana transfer umum dan belanja tidak terduga relatif masih rendah di daerah. Rata-rata penggunaan alokasi ini di tingkat provinsi baru 11,23 persen, menurut Luhut, sedangkan di tingkat kabupaten/kota rata-rata 15,69 persen.
Realisasi penyaluran bansos tingkat provinsi juga dinilai masih cukup rendah, yakni rata-rata 46,01 persen, sedangkan kabupaten/kota 39,82 persen. Luhut menilai, penyaluran bansos perlu dipercepat untuk mengendalikan inflasi dan menjaga daya beli masyarakat.
Di NTT, menurut Wakil Gubernur NTT Josef A Nae Soi, pengendalian inflasi sudah dilakukan dengan memfasilitasi distribusi komoditas dari satu daerah ke daerah lain. Dia mencontohkan, komoditas bawang yang tidak ada di Sumba Timur dipasok dari Melaka. Pemda menanggung biaya transportasinya.
Hal ini sudah diterapkan dua pekan. ”Manfaatnya, inflasi turun cukup jauh dari 5,6 persen menjadi 4,9 persen,” ujarnya kepada Kompas.