Pengusaha Bersiasat Menahan Imbas Resesi dan Depresiasi Rupiah
Di tengah potensi pelemahan ekspor akibat krisis ekonomi di sejumlah negara, pengusaha dan pemerintah berupaya menjaga kinerja bisnis dan ekspor. Beberapa pengusaha mulai terbebani imbas depresiasi rupiah.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Resesi, depresiasi rupiah, dan krisis biaya hidup masyarat global akibat inflasi tinggi memberikan tekanan dan juga keuntungan tersendiri bagi pengusaha Indonesia. Mereka yang menghadapi tekanan bersiasat untuk mempertahankan bisnis agar tidak tergerus imbas ketidakpastian ekonomi global tersebut.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, Rabu (28/9/2022), mengatakan, krisis biaya hidup masyarakat global bisa merugikan atau menguntungkan pengusaha Indonesia. Gapki justru melihat ada keuntungan yang bisa diambil oleh para eksportir minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya.
CPO dan produk turunannya, terutama minyak goreng, merupakan produk primer yang dibutuhkan masyarakat global. Begitu juga dengan biodiesel yang menjadi sumber energi alternatif sejumlah negara.
”Kami yakin CPO dan produk turunannya itu tetap akan dibutuhkan masyarakat global di tengah krisis biaya hidup yang mereka alami. Biodiesel juga bisa menjadi alternatif sumber energi saat harga bahan bakar minyak tinggi,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
CPO dan produk turunannya, terutama minyak goreng, merupakan produk primer yang dibutuhkan masyarakat global. Kami yakin CPO dan produk turunannya itu tetap akan dibutuhkan masyarakat global di tengah krisis biaya hidup yang mereka alami.
Selain itu, lanjut Eddy, sejumlah negara yang ekonominya masih tumbuh prositif, terutama India, juga masih membutuhkan CPO dan produk turunannya. China juga sudah mulai membuka sejumlah wilayahnya untuk menggeliatkan kembali perekonomian.
Depresiasi rupiah terhadap dollar AS juga memberikan keuntungan tersendiri bagi eksportir CPO dan produk turunannya di tengah penurunan harga CPO. Hal itu bisa mengompensasi penurunan harga CPO global.
Pada perdagangan Rabu, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS di pasar spot ditutup melemah 0,94 persen di level Rp 15.267 per dollar AS. Pelemahan juga terjadi pada kurs tengah Bank Indonesia (BI) atau Jisdor. Nilai tukar rupiah Jisdor tembus Rp 15.243 per dollar AS, lebih tinggi daripada perdagangan Selasa lalu yang berada pada level Rp 15.155 per dollar AS.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani berpendapat, kinerja ekspor Indonesia pada tahun ini banyak didominasi komoditas CPO, batubara, dan besi baja yang harganya juga meningkat. Sejauh ini, perlambatan ekonomi global tidak berpengaruh terhadap komoditas-komoditas itu.
Namun, jika dilihat dari sisi ekspor barang-barang jadi atau konsumsi (consumer goods), permintaan di negara-negara dengan inflasi tinggi, seperti Amerika Serikat dan kawasan Uni Eropa, memang turun. China juga lebih kurang sama. Akan tetapi, permintaan China semakin membaik setelah sejumlah wilayahnya dibuka.
Jika dilihat dari sisi ekspor barang-barang jadi atau konsumsi ( consumer goods), permintaan di negara-negara dengan inflasi tinggi, seperti di Amerika Serikat dan kawasan Uni Eropa, memang turun.
Menurut Shinta, perlambatan ekonomi global tidak berpengaruh terhadap kinerja ekspor komoditas utama, seperti CPO, batubara, dan besi baja, karena ada efek kenaikan harga. Namun, perlambatan ekonomi itu tetap berefek negatif terhadap ekspor consumer goods.
”Hanya saja perlambatan ekonomi itu tidak semata-mata dipengaruhi oleh krisis di negara tersebut, tetapi juga kebijakan lockdown, penurunan insentif pandemi Covid-19, dan efek normalisasi permintaan yang tertunda,” ujarnya.
Beban pengusaha
Kendati begitu, lanjut Shinta, banyak pengusaha yang saat ini terbebani imbas pelemahan rupiah terhadap dollar AS. Ada dua beban depresiasi rupiah yang saat ini dialami para pengusaha. Pertama, peningkatan beban perdagangan atau rantai pasok di sisi impor.
Ini khususnya terjadi pada perusahaan-perusahaan perdagangan yang memiliki frekuensi impor relatif tinggi. Pelemahan nilai tukar rupiah itu tidak hanya menggelembungkan harga komoditas impor, tetapi juga biaya-biaya lain. Misalnya, biaya logistik, asuransi, dan transaksi dagang.
Kedua, dalam bentuk peningkatan beban pinjaman luar negeri, khususnya perusahaan-perusahaan yang memiliki pinjaman asing dari negara-negara yang mengalami krisis inflasi tinggi. Mereka harus menanggung biaya bunga yang lebih tinggi di tengah tren peningkatan suku bunga acuan.
”Beban-beban itu pasti akan menekan kecukupan dan kelancaran arus kas perusahaan sehingga kalau tidak dikelola dengan baik, kinerja perusahaan bisa terganggu,” katanya.
Banyak pengusaha yang saat ini terbebani imbas pelemahan rupiah terhadap dollar AS.
Menurut Shinta, di tengah kondisi tersebut, perusahaan-perusahaan di Indonesia menggulirkan sejumlah strategi. Bagi yang terimbas depresiasi rupiah, mereka mendiversifikasi impor dengan cara mencari negara importir yang bisa memberikan harga yang lebih bersaing atau stabil atau mencari suplai dari dalam negeri.
Kalau tidak ada suplai alternatif, satu-satunya strategi yang diterapkan adalah meningkatkan efisiensi usaha dan menaikkan harga jual. Adapun bagi perusahaan yang terbebani utang luar negeri, mereka ada yang meminta keringanan atau penurunan bunga, mengonversi utang menjadi saham, melakukan efisiensi usaha, mengatur arus kas, dan menaikkan harga jual produk.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga berupaya menjaga agar kinerja ekspor Indonesia tetap tumbuh positif. Salah satunya melalui misi dagang ke sejumlah negara.
Pada 26 September 2022, misalnya, Indonesia dan Jepang berhasil menyepakati kontrak dagang cangkang kernel kelapa sawit senilai 138,2 juta dollar AS di Tokyo, Jepang. Pertemuan bisnis antara pengusaha Jepang dengan enam perusahaan cangkang kernel kelapa sawit Indonesia itu difasilitasi Kemendag dan Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia (Apcasi).
”Hal itu merupakan upaya pemerintah dengan pengusaha nasional untuk meningkatkan ekspor Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil cangkang kernel kelapa sawit yang dapat digunakan sebagai bahan biomasa. Pada 2021, sebesar 87,1 persen tujuan ekspor cangkang kernel kelapa sawit adalah negara Jepang,” kata Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag Didi Sumedi melalui siaran pers di Jakarta.
Ketua Apcasi Dikki Akhmar menambahkan, peluang perdagangan dan investasi produk turunan sawit untuk biomassa tidak hanya berupa cangkang kernel kelapa sawit. Ada juga beberapa alternatif lain, seperti tandan sawit kosong (empty fruit bunch).