Kembali Surplus, Peran APBN Perlu Dimaksimalkan untuk Redam Guncangan
Fungsi APBN sebagai ”shock absorber” untuk menahan efek guncangan ekonomi perlu lebih dioptimalkan. Pemerintah diharapkan lebih berhati-hati dalam mengurangi belanja di tengah upaya menekan defisit fiskal.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara per Agustus 2022 kembali mencatat surplus untuk delapan bulan berturut-turut. Meski kesehatan fiskal relatif bisa terjaga, peran APBN sebagai shock absorber untuk meredam efek guncangan ekonomi global dan menjaga momentum pemulihan masih perlu dimaksimalkan.
Sampai 31 Agustus 2022, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencatat surplus sebesar Rp 107,4 triliun atau 0,58 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Surplus terjadi karena pendapatan negara tumbuh 49,8 persen secara tahunan hingga Rp 1.764,4 triliun, sedangkan belanja negara tumbuh 6,2 persen mencapai Rp 1.657 triliun.
Surplus APBN sudah terjadi selama delapan bulan berturut-turut dan terus mengalami tren pertumbuhan. Pada Juni 2022, APBN mengalami surplus Rp 73,6 triliun atau setara 0,39 persen dari total PDB. Pada Juli 2022, surplus APBN tercatat sebesar Rp 106,1 triliun atau setara dengan 0,58 persen dari PDB.
Dari segi pendapatan negara, kinerja APBN ditopang oleh penerimaan pajak yang tercatat tumbuh 58,1 persen secara tahunan senilai Rp 1.171,8 triliun, penerimaan kepabeanan dan cukai yang tumbuh 30,5 persen atau senilai Rp 206,2 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) senilai RP 386 triliun atau tumbuh 38,9 persen.
Sementara itu, dari segi belanja negara, belanja pemerintah pusat tumbuh 8,3 persen mencapai Rp 1.178,1 triliun, sedangkan transfer ke daerah tumbuh 1,3 persen senilai Rp 478,9 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, Senin (26/9/2022), mengatakan, kinerja APBN sepanjang Agustus relatif terjaga ditopang pendapatan negara dan belanja yang positif. Dengan capaian surplus APBN, penerbitan surat utang yang jauh lebih rendah, defisit yang lebih rendah, APBN dinilai mampu menghadapi tantangan ekonomi global saat ini.
”Itu menjadikan strategi APBN kita sangat sesuai dengan tantangan saat ini, yang berasal dari cost of fund (biaya dana) yang tinggi, guncangan di sektor keuangan, maupun tren kenaikan suku bunga dan penguatan dollar AS,” kata Sri dalam konferensi pers APBN Kita secara daring di Jakarta.
Meski demikian, di tengah kondisi ekonomi global yang masih tidak pasti dan dibayangi inflasi tinggi, potensi resesi, dan pengetatan moneter, pemerintah tetap waspada. Terlebih, di tengah kebutuhan untuk membiayai subsidi, kompensasi, serta pemberian bantuan sosial (bansos) tambahan untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Dengan capaian surplus APBN, penerbitan surat utang yang jauh lebih rendah, defisit yang lebih rendah, APBN dinilai mampu menghadapi tantangan ekonomi global saat ini.
”Pemulihan ekonomi domestik yang cukup baik jadi modal kita untuk menjaga momentum pemulihan. Tetapi, kita juga tetap harus waspada. APBN harus dijaga kesehatannya karena ke depan guncangan-guncangan masih akan terus terjadi,” katanya.
Meredam guncangan
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal menilai, surplus APBN untuk delapan kalinya ini menunjukkan kesehatan fiskal yang relatif dapat terjaga, terlebih dalam rangka mencapai target pemerintah untuk menekan defisit APBN di bawah 3 persen pada tahun 2023.
Meski demikian, menurutnya, peran APBN sebagai shock absorber untuk meredam dampak guncangan ekonomi dan menjaga momentum pemulihan ekonomi seharusnya masih bisa dimaksimalkan. Ia menyoroti langkah pemerintah yang memilih menaikkan harga BBM bersubsidi ketika peran APBN untuk meredam kenaikan harga sedang sangat dibutuhkan.
”Dengan penerimaan negara yang lagi tinggi karena windfall atau durian runtuh dari commodity boom (ledakan harga komoditas), seharusnya ada ruang untuk mempertahankan harga BBM bersubsidi, tetapi ternyata ruang itu tidak dimanfaatkan, sehingga dampaknya inflasi menjadi lebih tinggi,” kata Faisal.
Menurutnya, langkah pemerintah untuk menjaga kesehatan fiskal tetap dibutuhkan untuk mengantisipasi kondisi perekonomian di tahun 2023 yang diperkirakan akan lebih buruk. Namun, untuk saat ini, fungsi APBN untuk menahan guncangan itu perlu dioptimalkan dengan cara mengoptimalkan penyaluran bansos untuk menjaga daya beli masyarakat.
Perlu dilakukan assessment dan skala prioritas untuk menentukan kapan sebaiknya suatu insentif dicabut, sektor mana yang insentifnya mau dikurangi. Tidak bisa dipukul rata.
”Pemerintah memilih bansos untuk menjalankan fungsi shock absorber, maka dengan segala kelemahannya, itu yang perlu dioptimalkan. Khususnya, dari aspek ketepatan sasaran penerima bansos yang sampai sekarang masih jadi tantangan,” ujar dia.
Ke depan, ia berharap pemerintah lebih berhati-hati ketika mengurangi belanja negara, khususnya insentif. ”Perlu dilakukan assessment dan skala prioritas untuk menentukan kapan sebaiknya suatu insentif dicabut, sektor mana yang insentifnya mau dikurangi. Tidak bisa dipukul rata,” katanya.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, peran APBN sebagai shock absorber sudah dilakukan melalui penyesuaian dan pengalihan sebagian subsidi dan kompensasi yang selama ini tidak tepat sasaran ke dalam program perlindungan sosial.
”Kita juga mempertahankan beberapa harga agar tidak berubah, sehingga seluruh lapisan masyarakat mendapat perlindungan dari kondisi pasar global saat ini. Kita bisa lihat, Indonesia termasuk negara yang masih bisa menjaga level inflasinya. Daya beli masyarakat masih bisa kita jaga dalam level yang cukup terkendali,” kata Febrio.
Untuk memastikan efektivitas belanja negara ke depan di tengah keterbatasan ruang fiskal, Febrio mengatakan, ketepatan sasaran dalam pengeluaran insentif akan ditingkatkan. ”Kita akan terus memantau pemanfaatan insentif yang sudah ada dan bagaimana dampaknya. Dengan demikian kita harap peran APBN tetap kuat, tetapi belanja subsidi, insentif dan kompensasi yang ditanggung APBN juga semakin tepat sasaran,” ujar dia.