Hilirisasi tidak bisa dikebut. Perlu waktu untuk menarik investasi, mendirikan pabrik, mengembangkan kapasitas dan daya saing industri hilir, serta menyesuaikan kebijakan di hilir untuk mendorong ekspor produk turunan.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha membutuhkan waktu lebih kurang 10 tahun untuk mencapai hilirisasi yang optimal. Rencana pemerintah untuk menyetop ekspor timah mentah dan mendorong hilirisasi timah dalam waktu dekat pun diharapkan dilakukan secara bertahap untuk memberi ruang dan waktu pengembangan yang cukup bagi pelaku usaha.
Pejabat Sementara Wakil Ketua Umum Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Carmelita Hartoto, Minggu (25/9/2022), mengatakan, industri hulu timah telah memberi manfaat positif bagi ekonomi negara serta kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Namun, penyerapan logam timah untuk kebutuhan domestik masih sangat kecil.
Selama ini, logam timah lebih banyak diekspor ke luar negeri karena kapasitas industri hilir timah yang belum berkembang di dalam negeri. Ia mengatakan, meskipun dalam sepuluh tahun terakhir terjadi peningkatan transaksi perdagangan logam timah domestik dari 900 ton menjadi 3.500 ton, jumlahnya masih tergolong kecil dan jauh dari total produksi logam timah nasional.
Indonesia adalah eksportir logam timah terbesar di dunia. Pada tahun 2020, di tengah kondisi pandemi Covid-19, Indonesia bisa mengekspor hingga 65.000 ton logam timah. Sementara pada tahun 2021, jumlah ekspor logam timah meningkat menjadi 74.000 ton. Penyerapan untuk kebutuhan dalam negeri sendiri masih 5 persen dari produksi logam timah nasional.
Ia mengatakan, hilirisasi tambang tidak bisa cepat dilakukan. Dibutuhkan waktu untuk menarik investasi, mendirikan pabrik, mengembangkan kapasitas dan daya saing industri hilir, serta menyesuaikan kebijakan di sisi hilir untuk mendorong ekspor produk turunan timah yang sudah diolah.
Oleh karena itu, larangan ekspor timah tidak bisa langsung dilakukan dalam waktu dekat. Sebelumnya beredar wacana bahwa pemerintah akan mulai melarang ekspor timah mentah mulai tahun 2023.
”Pelaku usaha butuh persiapan yang matang dan modal yang cukup. Setidaknya diperlukan waktu kurang lebih 10 tahun jika ingin mencapai hilirisasi yang optimal. Oleh karena itu, hilirisasi timah perlu dilakukan secara bertahap,” kata Carmelita saat dihubungi.
Menurutnya, ada beberapa opsi kebijakan bertahap yang bisa diambil pemerintah. Misalnya, melalui tetap memperbolehkan ekspor jenis produk timah tertentu, seperti timah murni batangan (ingot) dengan kadar timah (Sn) 99,9 persen, timah solder dengan kadar Sn 99,7 persen, atau barang timah lainnya dengan kadar timah 96 persen, sebagaimana diatur di Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 33 Tahun 2015 tentang Ketentuan Ekspor Timah.
Setidaknya diperlukan waktu kurang lebih 10 tahun jika ingin mencapai hilirisasi yang optimal. Oleh karena itu, hilirisasi timah perlu dilakukan secara bertahap.
Kebijakan lainnya bisa melalui penerapan kuota ekspor, atau kombinasi antara pembatasan kuota dan jenis timah tertentu. ”Kebijakannya seperti apa terserah pemerintah. Kami mengusulkan bertahap agar memberi waktu bagi investor di hilir untuk membangun manufaktur serta untuk mengurangi dampak penurunan devisa ekspor yang mendadak, sebelum eksportir hilir timah menemukan pasarnya di luar negeri,” katanya.
Infrastruktur dan insentif
Saat ini masih ada ketimpangan antara pengembangan industri timah di hulu dan hilir. Industri hulu timah telah berkembang pesat, sementara hilir timah belum. Carmelita mengatakan, infrastruktur dan insentif untuk mendorong hilirisasi timah perlu dikembangkan dari sekarang.
Pasalnya, masih ada beberapa kendala usaha yang membuat hilirisasi timah tidak berkembang. Selain kebiasaan untuk mengekspor timah dalam bentuk batangan mentah, pelaku usaha juga kekurangan insentif fiskal, seperti pembebasan pajak atau kemudahan izin beroperasi, untuk melakukan hilirisasi.
Oleh karena itu, dibutuhkan peta jalan yang komprehensif untuk menyelaraskan kebijakan lintas sektor yang dapat mendukung hilirisasi tersebut. ”Persiapan infrastruktur dan insentif bisa menarik investor, serta menjamin timah terserap di pasar domestik,” kata Carmelita.
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Eksportir Timah Indonesia Jabin Sufianto, untuk mendorong hilirisasi, pemerintah juga harus memperhatikan kebijakan pajak ekspor di Indonesia. Menurutnya, saat ini, ekspor di Indonesia masih lebih besar dibandingkan pajak impor. Hal itu dapat menghambat ekspor produk hilir dan pengembangan hilirisasi.
Kami mengusulkan bertahap agar memberi waktu bagi investor di hilir untuk membangun manufaktur serta untuk mengurangi dampak penurunan devisa ekspor yang mendadak.
”Pajak ekspor 11 persen, sementara pajak impor bisa hanya 0 persen. Bahkan, ada impor yang bebas biaya pajak. Ini memberatkan pelaku usaha untuk melakukan hilirisasi,” katanya.
Ia juga meminta agar sebelum melarang ekspor timah mentah dan melakukan hilirisasi, bursa timah perlu dioptimalkan terlebih dahulu. Terlebih, mengingat volume ingot mentah di Indonesia yang besar dan berdaya saing di dunia. ”Volume ingot yang besar ini dapat menjadi bargaining power untuk Indonesia. Oleh karena itu, dalam mengolah timah, jangan semua diurai ke bawah menjadi produk retail, pasarnya sedikit,” kata Jabin.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan, pemerintah akan berhati-hati sebelum menerapkan larangan ekspor timah. Apalagi, ketergantungan masyarakat terhadap industri hulu timah terhitung tinggi, khususnya di Provinsi Bangka Belitung sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia.
”Baik dari segi penerimaan daerah, lapangan kerja, maupun struktur sosial-ekonomi masyarakat sangat bergantung pada timah. Jangan sampai terjadi guncangan karena kita tidak siap,” katanya.
Saat ini, Kementerian ESDM masih melakukan kajian dengan menampung masukan dari dunia usaha serta berkoordinasi dengan kementerian lain dalam rangka mengembangkan ekosistem hilirisasi timah di dalam negeri.