Suku Bunga Naik, Pelaku Usaha Bersiap Naikkan Harga Barang dan Jasa
Kenaikan harga barang dan jasa menjadi langkah pertama yang akan ditempuh pelaku usaha untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga Bank Indonesia dan berbagai peningkatan biaya usaha. Daya beli masyarakat harus dijaga.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Warga antre berbelanja aneka kebutuhan pokok di Pasar Swalayan Hari Hari Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Senin (20/4/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia berdampak luas pada semua sektor usaha, khususnya yang berskala kecil dan menengah. Untuk mengantisipasi beban biaya yang semakin berat di tengah kenaikan harga bahan baku, logistik, dan energi, pengusaha pun bersiap menaikkan harga barang dan jasa di pasaran.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani, Jumat (23/9/2022), mengatakan, secara akumulatif, kenaikan suku bunga saat ini sudah hampir 1 persen. Itu bukan satu-satunya beban bagi pelaku usaha karena saat ini juga terjadi kenaikan beban produksi dan operasional lain karena efek akumulasi tren inflasi.
Oleh karena itu, menurut dia, akan sulit jika pelaku usaha tidak menaikkan harga produk dan jasanya di pasaran dengan adanya kenaikan beban biaya itu. Apalagi, untuk industri yang sebelumnya sudah berusaha menahan kenaikan harga meski di tengah tren inflasi yang tinggi di tingkat produsen.
”Strategi yang diambil pelaku usaha ketika terjadi krisis yang mengimpit seperti ini selalu sama, yaitu meningkatkan efisiensi usaha,” katanya.
Dampak terbesar akan dirasakan oleh pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) atau industri kecil-menengah (IKM) yang umumnya dikenakan suku bunga pinjaman yang lebih tinggi karena profil risikonya serta rentan terkena gagal bayar atau default ketika terjadi kenaikan bunga kredit.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Sebuah iklan penawaran properti terpasang di kawasan Babakan, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (23/9/2022). Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin sehingga menjadi 4,25 persen. Kenaikan suku bunga tersebut berpotensi mengancam penjualan properti yang mayoritas menggunakan fasilitas kredit perbankan.
”Semua usaha lintas sektoral akan terkena dampaknya. Namun, yang paling rentan adalah UMKM yang secara finansial kecukupan modalnya terbatas sehingga belum tentu bisa menanggung beban kenaikan suku bunga pinjaman,” ujar Shinta.
Sebelumnya, rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) sehingga menjadi 4,25 persen. Keputusan ini didasarkan pada meningkatnya tekanan internal berupa inflasi di dalam negeri dan tekanan eksternal seiring agresivitas bank sentral AS dalam menaikkan suku bunga (Kompas, 23/9/2022).
Sebelumnya, BI juga sempat menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 3,75 persen pada Agustus 2022. Saat itu, kenaikan dilakukan untuk memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi dan inflasi volatile food (komponen bergejolak).
Strategi yang diambil pelaku usaha ketika terjadi krisis yang mengimpit seperti ini selalu sama, yaitu meningkatkan efisiensi usaha.
Bisa dipahami
Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia Edy Misero mengatakan, pada dasarnya pelaku usaha dapat memahami alasan di balik kenaikan suku bunga BI tersebut. ”Memang dalam kondisi ekonomi global dan domestik seperti ini, harus ada penyesuaian. Tidak bisa kita meminta pemerintah harus menjamin semua, jangan ada yang naik atau turun. Tinggal bagaimana kita pintar-pintar mengantisipasinya saja,” ujar Edy.
Senada dengan Shinta, ia pun mengatakan, kenaikan harga barang dan jasa menjadi langkah paling pertama yang akan ditempuh pelaku UMKM setelah terjadi kenaikan berbagai biaya operasional dan produksi. Sebelum kenaikan suku bunga pinjaman ini, pelaku usaha juga sudah terlebih dulu terbebani oleh kenaikan harga bahan baku, biaya logistik dan harga BBM.
Indeks Harga Produsen (IHP) terbaru, yakni pada triwulan II-2022, menunjukkan, inflasi IHP atau di level produsen sudah mencapai 11,77 persen. IHP menggambarkan tingkat perubahan ongkos produksi di kalangan produsen. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama, Indeks Harga Konsumen (IHK) mencatat inflasi 4,35 persen.
Selisih yang cukup jauh antara inflasi di tingkat produsen dan konsumen itu menunjukkan, sampai triwulan II-2022, pelaku usaha masih menekan kenaikan harga di pasaran. ”Jadi, memang harga harus mulai disesuaikan. Tapi, sewajarnya saja, jangan berlebihan juga. Kalau kita bisa menyesuaikan kenaikan harga di pasar dengan realistis, seharusnya tidak ada masalah,” katanya.
Jadi, memang harga harus mulai disesuaikan. Tapi sewajarnya saja, jangan berlebihan juga.
Jaga daya beli
Oleh karena itu, dampak dari kenaikan suku bunga pinjaman ini terhadap harga produk dan jasa perlu diantisipasi pemerintah dengan menjaga daya beli masyarakat. Antisipasi untuk menjaga keberlangsungan UMKM juga diperlukan dalam bentuk kemudahan akses bantuan permodalan.
”Akan jadi masalah kalau kita sudah tidak mampu meng-adjust lagi karena pasar sudah tidak sanggup menerima naiknya harga-harga, kata Edy.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Gedung Bank Indonesia di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis (17/3/2022). Rapar Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,50 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75 persen, dan suku bungan Lending Facility sebesar 4,25 persen.
Senada, menurut Shinta, upaya pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat menjadi penting karena itu akan ikut menjaga keberlangsungan usaha. Apalagi, di tengah rencana pelaku usaha menaikkan sejumlah harga barang dan jasa.
”Semoga efek negatif terhadap daya beli masyarakat bisa lebih terkontrol oleh stimulus seperti penyaluran bantuan sosial. Jadi, dampak totalnya terhadap perekonomian nasional secara agregat juga tidak akan terlalu terasa,” kata Shinta.