Stabilitas Keuangan Diuji Tren Inflasi dan Kenaikan Suku Bunga
Dalam beberapa waktu ke depan stabilitas keuangan negara akan diuji dua tantangan, yakni lonjakan inflasi dunia, serta arus modal keluar akibat kenaikan suku bunga bank sentral utama dunia.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tren kenaikan suku bunga bank sentral utama dunia yang diprediksi akan terjadi hingga tahun depan menjadi salah satu ujian dari ketahanan stabilitas keuangan nasional. Pemerintah terus mengantisipasi dampak dari arus aliran modal keluar akibat tren kenaikan suku bunga, salah satunya dengan belanja anggaran yang terukur sehingga berdampak positif pada perekonomian nasional.
Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Akuntansi Pelaporan Keuangan Tahun 2022, di Jakarta, Kamis (22/9/2022), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan dalam beberapa waktu ke depan stabilitas keuangan negara akan diuji dua tantangan utama, yakni lonjakan inflasi dunia akibat gangguan pasokan pangan dan energi, serta arus modal keluar akibat kenaikan suku bunga bank sentral utama dunia.
”Tantangan tersebut akan memengaruhi asumsi yang digunakan pemerintah dalam menyusun APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Akuntabilitas pengelolaan keuangan negara harus dijaga dalam situasi yang extraordinary seperti ini,” kata Sri Mulyani.
Langkah agresif Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, dalam menaikkan suku bunga acuan bakal berpengaruh terhadap ekonomi global.
Kementerian/lembaga serta pemerintah daerah diharapkan terus berupaya meningkatkan kualitas belanja atau mengutamakan belanja prioritas dalam rangka meningkatkan pelayanan publik sekaligus mendukung percepatan pemulihan ekonomi. Setiap penggunaan uang negara mesti terukur dari sisi capaian serta manfaat untuk stabilitas perekonomian nasional.
Sri Mulyani menambahkan, langkah agresif Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, dalam menaikkan suku bunga acuan bakal berpengaruh terhadap ekonomi global. Dia menyebut kenaikan itu akan menekan pertumbuhan ekonomi AS yang bakal merembet ke harga-harga komoditas.
”Mungkin itu akan memengaruhi jelas terhadap proyeksi ekonomi dunia, pasti, karena dia ekonomi terbesar. Dan juga bisa memengaruhi terhadap harga-harga komoditas, itu yang nanti harus kita antisipasi terus,” kata Sri Mulyani.
The Fed menaikkan lagi suku bunga sebesar 0,75 persen untuk meredam inflasi. Langkah ini belum berhenti dan kenaikan suku bunga masih akan dilakukan dalam dua pertemuan menjelang akhir tahun 2022.
Dengan kenaikan terbaru itu, suku bunga acuan di AS sekarang berkisar 3-3,25 persen, tertinggi sejak 2008. Hingga akhir 2022 masih ada dua pertemuan Komite Kebijakan Pasar Terbuka (FOMC) The Fed dengan ancang-ancang kenaikan lanjutan 1-1,25 persen.
Normalisasi kebijakan melalui kenaikan suku bunga acuan The Fed membuat arus aliran modal asing yang keluar dari negara berkembang semakin kencang. Tren peningkatan suku bunga acuan bank sentral dunia yang dibarengi dengan tren inflasi membuat Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi 60 negara akan kesulitan membiayai anggaran atau membayar utang mereka.
Sri Mulyani menyatakan, dalam kondisi saat ini, setiap negara, terutama negara-negara berkembang, perlu memperkuat ketahanan untuk menghadapi risiko arus keluarnya modal asing. Untungnya di periode pandemi, Indonesia mampu menurunkan rasio kepemilikan investor asing dalam obligasi pemerintah yang sebelum pandemi mencapai 38,5 persen menjadi 15 persen pada akhir Agustus 2022.
Dengan demikian, keluarnya aliran modal investor asing dari pasar keuangan diyakini tidak akan terlalu mengganggu stabilitas sistem keuangan nasional. Di samping itu, Sri Mulyani juga optimistis Indonesia akan mampu menghadapi dampak kenaikan suku bunga The Fed dengan neraca dagang yang masih surplus dan cadangan devisa yang stabil.
”Terkait kenaikkan suku bunga The Fed, proyeksi terhadap The Fed yang diperkirakan suku bunganya bisa mencapai di atas 4 persen tahun depan, sudah dimasukkan di dalam perkiraan dinamika dari tantangan-tantangan perekonomian global yang berdampak pada perekonomian nasional,” kata Sri Mulyani.
Bank Indonesia sendiri dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) Kamis ini memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin, ke level 4,25 persen, sebagai bagian dari respons kenaikan suku bunga The Fed. Ini dilakukan untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 2-4 persen pada paruh kedua 2023.
Sejalan dengan kenaikan suku bunga acuan BI, seri obligasi negara ritel (ORI) seri ORI022 yang akan ditawarkan pada akhir bulan ini diproyeksi akan menjadi incaran para investor ritel.
Economic Research Analyst PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Ahmad Nasrudin, mengungkapkan, penyerapan ORI022 yang tetap tinggi melanjutkan tren penawaran SBN ritel. Ia menambahkan, semenjak melakukan penawaran SBN ritel pertama pada 2006, frekuensi penawaran terus bertambah setiap tahunnya.
”Mengamati data tersebut, saya melihat potensi penyerapan ORI022 tetap tinggi. Platform teknologi finansial menjadi salah satu kunci untuk mendorong investor ritel berinvestasi ke pasar surat utang pemerintah,” imbuh Ahmad.
Dari sisi kupon, pemerintah merilis ORI021 dengan menawarkan kupon 4,9 persen pada Februari 2022, ketika Bank Indonesia belum mengetatkan kebijakan moneter secara resmi baik melalui kenaikan giro wajib minimum (GWM) dan suku bunga acuan. Ahmad menilai kenaikan GWM dan suku bunga akhir-akhir ini menjadi alasan pemerintah akan menawarkan kupon yang lebih tinggi untuk menarik minat investor.
BI telah mengambil kebijakan menaikkan GWM rupiah secara bertahap bagi perbankan. Setelah mengerek GWM rupiah pada 1 Juni 2022, BI kembali meningkatkan GWM mulai 1 Juli 2022 bagi Bank Umum Konvensional (BUK) menjadi 7,5 persen dan Bank Umum Syariah (BUS) menjadi 6 persen. Kemudian, mulai 1 September 2022, GWM rupiah kembali dinaikkan bagi BUK menjadi 9 persen dan bagi BUS menjadi 6,5 persen.