Pertumbuhan PDB dan Ekspor Melambat di Tengah Lonjakan Inflasi
ADB memperkirakan ekonomi RI pada 2022 tumbuh 5,4 persen dan pada 2023 turun menjadi 5 persen. Tingkat inflasi RI juga bakal melonjak, yakni sebesar 4,6 persen pada 2022 dan 5,1 persen pada 2023.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
KOMPAS/IWAN SETYAWAN
Lanskap Jakarta yang dipadati permukiman dan gedung-gedung bertingkat, Rabu (10/12/2021). Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan ekonomi RI pada 2022 dan 2023 masing-masing tumbuh 5,4 persen dan 5 persen.
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi dunia semakin tidak menentu seiring pelemahan tiga ekonomi terbesar dunia. Bank Pembangunan Asia atau ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi dan ekspor di kawasan Asia pada 2022 dan 2023 melambat di tengah lonjakan inflasi.
Dalam laporan terbarunya bertajuk ”Softening Growth Amid a Darkened Global” yang dirilis pada Rabu (21/9/2022), ADB merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi kawasan Asia pada 2022 dan 2023. Pada 2022, ekonomi kawasan tersebut diperkirakan tumbuh 4,3 persen di bawah perkiraan pertumbuhan yang dirilis ADB pada April 2022 yang sebesar 5,2 persen.
Kemudian pada 2023, pertumbuhan ekonomi kawasan Asia dikoreksi turun dari 5,3 persen menjadi 4,9 persen. ADB bahkan menaikkan perkiraan inflasi kawasan itu dari 3,7 persen menjadi 4,5 persen pada 2022 dan 3,1 persen menjadi 4 persen pada 2023.
Revisi ke bawah proyeksi itu mempertimbangkan sejumlah faktor, seperti masih berlanjutnya perang Rusia-Ukraina, pengetatan moneter bank-bank sentral, serta kenaikan harga pangan dan energi. ADB juga menyebut kuncitara (lockdown) untuk mengendalikan Covid-19 di sejumlah negara, terutama China, turut memengaruhi perlambatan ekonomi.
Kepala Ekonom ADB Albert Park mengatakan, ekonomi negara-negara berkembang di kawasan Asia sebenarnya mulai pulih dari imbas pandemi Covid-19. Namun, masih ada sejumlah risiko yang menghadang.
Perlambatan perekonomian dunia yang cukup signifikan akan melemahkan permintaan ekspor kawasan Asia. Pengetatan moneter di sejumlah negara maju jauh lebih besar dari perkiraan semula sehingga dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan.
”Negara-negara di kawasan Asia juga perlu menahan laju inflasi yang disebabkan oleh gangguan rantai pasok global yang memicu kenaikan harga pangan dan energi,” ujarnya melalui siaran pers.
Perlambatan perekonomian dunia yang cukup signifikan akan melemahkan permintaan ekspor kawasan Asia. Negara-negara di kawasan Asia juga perlu menahan laju inflasi yang disebabkan oleh gangguan rantai pasok global yang memicu kenaikan harga pangan dan energi.
SUMBER: ADB
Proyeksi pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan Asia pada 2022 dan 2023.
Pertumbuhan ekonomi tiga ekonomi besar dunia, yakni Amerika Serikat, China, dan kawasan Uni Eropa, bakal turun. Dalam periode 2015-2019, ketiga ekonomi besar dunia itu berkontribusi sekitar 55 persen dari produk domestik bruto (PDB) dunia.
Ekonomi Amerika Serikat diperkirakan tumbuh 1,9 persen pada 2022 dan 1 persen pada 2023. Adapun perekonomian China yang semula diperkirakan tumbuh 5 persen pada 2022 bakal tumbuh 3,3 persen.
Dalam laporan itu, ADB juga merevisi naik perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 dari 5 persen menjadi 5,4 persen. Namun, pada 2023, proyeksi pertumbuhan ekonomi RI dikoreksi turun dari 5,2 persen menjadi 5 persen.
Tingkat inflasi di Indonesia juga akan melonjak pada September 2022 dan tetap tinggi hingga Desember 2022 karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Oleh karena itu, ADB merevisi proyeksi inflasi di Indonesia dari 3,6 persen menjadi 4,6 persen pada 2022 dan 3 persen menjadi 5,1 persen pada 2023.
Kendati inflasi tinggi, permintaan domestik dan eksternal akan tetap kuat sepanjang sisa tahun ini. Namun, volatilitas pasar keuangan dan gelombang kecil Covid-19 masih ada serta pertumbuhan ekonomi global memburuk. Sumber-sumber persoalan itu masih akan berlanjut hingga 2023 bebarengan dengan perketatan ekonomi makro Indonesia.
SUMBER: ADB
Proyeksi inflasi negara-negara di kawasan Asia pada 2022 dan 2023.
Ekonom senior ADB untuk Indonesia, Henry Ma, menuturkan, ketidakpastian global dapat memengaruhi kinerja ekspor Indonesia dan penerimaan negara. Fase windfall atau durian runtuh mulai berakhir karena harga komoditas mulai mengalami normalisasi.
”Normalisasi harga komoditas global telah terjadi sejak semester II-2022. Hal ini akan berimbas pada perlambatan ekspor pada paruh kedua tahun ini dan paruh pertama tahun depan,” ujarnya.
Normalisasi harga komoditas global telah terjadi sejak semester II-2022. Hal ini akan berimbas pada perlambatan ekspor pada paruh kedua tahun ini dan paruh pertama tahun depan.
Sementara itu, Ketua Presidium Himpunan Pengusaha Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur mengakui, kinerja ekspor mebel dan kerajinan pada 2022 dan 2023 tidak akan sebaik tahun 2021. Pada 2021, ekspor mebel dan kerajinan tumbuh signifikan, yakni sebesar 27,23 persen dibandingkan dengan tahun 2020 menjadi 3,47 miliar dollar AS.
Pertumbuhan itu merupakan capaian tertinggi ekspor produk mebel dan kerajinan nasional selama sepuluh tahun terakhir. Pada Januari-Juni 2022, pertumbuhan kinerja ekspor mebel dan kerajinan melemah menjadi 9,83 persen, jauh di bawah target ekspor tahunan yang sebesar 13,41 persen.
Menurut Sobur, hal itu disebabkan oleh pelemahan daya beli masyarakat global akibat lonjakan inflasi. Kondisi ini menyebabkan permintaan mebel dan kerajinan di pasar global, terutama dari Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa, melemah sejak April 2022.
”Cukup banyak pembeli yang membatalkan dan menunda pembelian. Hal ini mengingat produk mebel dan kerajinan merupakan kebutuhan sekunder dan bahkan tersier sehingga tidak menjadi prioritas. Masyarakat dunia lebih selektif dalam pengeluarannya,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.